Pada tanggal 19 Agustus 2025, publik dihebohkan dengan kenaikan tunjangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2024-2029 oleh Wakil Ketua DPR, Adies Kadir. Kenaikan tunjangan ini menimbulkan polemik di ruang publik. Pasalnya kinerja DPR dan banyaknya anggota DPR yang terjerat kasus korupsi tidak menjadi refleksi apakah para anggota legislatif tersebut layak atau tidak menerimanya? Tidak hanya itu, kebijakan yang dibuat DPR sering kali merugikan dan menyulitkan masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah.
Dilansir dari kajian BEM Universitas Tarumanegara, berikut rincian tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR):
- Gaji pokok anggota biasa Rp.4.000.000 per bulan, wakil ketua Rp.4.620.000 per bulan, dan ketua DPR Rp.5.040.000 per bulan;
- Tunjangan rumah Rp.50.000.000 per bulan sebagai pengganti rumah dinas yang dihapus;
- Tunjangan beras naik dari Rp.10.000.000 menjadi Rp.12.000.000 per bulan;
- Tunjangan bensin naik dari Rp.4.000.000-Rp.5.000.000 menjadi Rp.7.000.000 per bulan;
- Tunjangan lain-lain:
- Tunjangan jabatan anggota Rp.9.700.000, ketua DPR Rp.18.900.000;
- Tunjangan komunikasi intensif anggota Rp.15.500.000;
- Tunjangan fungsi pengawasan dan anggaran anggota Rp.3.750.000;
- Tunjangan kehormatan anggota Rp.5.580.000;
- Uang sidang/paket Rp.2.000.000;
- Tunjangan PPh Pasal 21 sekitar Rp.2.700.000;
- Tunjangan istri 10% dari gaji pokok, anak 2% per anak (maksimal 2 anak);
Total pendapatan secara keseluruhan bisa mencapai lebih dari Rp.100.000.000 per bulan setelah termasuk tunjangan rumah.
Keputusan kenaikan tunjangan DPR di atas tampak diambil secara sepihak tanpa pertimbangan matang dan keterlibatan publik di dalamnya. Hal ini menujukkan bahwa para anggota legislatif lebih memprioritaskan kepentingan pribadi dibanding dengan kesejahteraan umum yang mendukung sisi rakyat. Padahal dalam proses perencanaan dan perumusan kebijakan publik harusnya perwakilan rakyat memperlihatkan transparansi anggaran dan mengikutsertakan keterlibatan rakyat. Bahkan kebijakan tunjangan DPR tersebut menunjukkan ketidakpedulian para perwakilan rakyat terhadap masyarakat yang tercekik dalam ketimpangan dan kondisi ekonomi.
Dalam sistem ketatanegaraan negara Republik Indonesia, DPR merupakan salah satu lembaga tertinggi yang merupakan lembaga perwakilan rakyat yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang. DPR memiliki tanggung jawab dalam menampung, menyalurkan, dan mempertimbangkan aspirasi rakyat, serta mengawasi kebijakan yang berjalan sehingga tidak merugikan rakyat. Namun dalam praktik politiknya, para anggota legislatif sering mengabaikan aspirasi dan kondisi masyarakat sehingga menimbulkan kekecewaan dari masyarakat itu sendiri.
Amarah Publik Berujung Unjuk Rasa
Kekecewaan dan amarah publik memuncak, sehingga pada Senin, 25 Agustus 2025 aksi demonstrasi terjadi yang melibatkan masyarakat, mahasiswa, pelajar, pedagang, dan ojek online. Dalam aksi ini, massa menuntut adanya pembatalan kenaikan tunjangan gaji DPR, transparansi anggaran, dan pembatalan rencana kenaikan gaji DPR. Kericuhan ini bahkan menjadi tragedi yang memakan korban jiwa. Pasalnya salah satu ojek online, Affan Kurniawan tewas terlindas kendaraan Brimob yang melaju cepat mencoba membubarkan aksi massa. Kejadian tersebut semakin mengundang kemarahan massa sehingga keluarlah tuntutan dari masyarakat yang dikenal dengan "17+8 Tuntutan Rakyat". Angka 17+8 melambangkan Hari Kemerdekaaan Indonesia. Dalam tuntutan ini, berisikan 17 tuntutan rakyat dalam satu minggu dan 8 tuntutan rakyat dalam satu tahun.
Dilansir dari detik.com, berikut merupakan isi 17+8 Tuntutan Rakyat:
17 Tuntutan Jangka Pendek
- Tarik TNI dari pengamanan sipil dan pastikan tidak ada kriminalisasi demonstran.
- Bentuk Tim Investigasi Independen kasus Affan Kurniawan, Umar Amarudin maupun semua korban kekerasan aparat selama demonstrasi 28-30 Agustus 2025 dengan mandate jelas dan transparan.
- Bekukan kenaikan gaji/tunjangan anggota DPR dan batalkan fasilitas baru (termasuk pensiunan).
- Publikasikan transparansi anggaran (gaji, tunjangan, rumah, fasilitas DPR).
- Dorong Badan Kehormatan DPR periksa anggota yang bermasalah (termasuk selidiki melalui KPK).
- Pecat atau jatuhkan sanksi tegas kepada kader DPR yang tidak etis dan memicu kemarahan publik.
- Umumkan komitmen partai untuk berpihak pada rakyat di tengah krisis.
- Libatkan kader dalam ruang dialog publik bersama mahasiswa serta masyarakat sipil.
- Bebaskan seluruh demonstran yang ditahan.
- Hentikan tindakan kekerasan polisi dan taati SOP pengendalian massa yang sudah tersedia.
- Tangkap dan proses hukum secara transparan anggota dan komandan yang melakukan dan memerintahkan tindakan kekerasan dan melanggar HAM.
- Segera kembali ke barak, hentikan keterlibatan dalam pengamanan sipil.
- Tegakkan disiplin internal agar anggota TNI tidak mengambil alih fungsi Polri.
- Komitmen publik TNI untuk tidak memasuki ruang sipil selama krisis demokrasi.
- Pastikan upah layak untuk seluruh angkatan kerja (termasuk namun tidak terbatas pada guru, buruh, nakes, dan mitra ojol) di seluruh Indonesia.
- Ambil langkah darurat untuk mencegah PHK massal dan lindungi buruh kontrak.
- Buka dialog dengan serikat buruh untuk solusi upah minimum dan outsourcing.