Mohon tunggu...
Jefrianus Tamo Ama
Jefrianus Tamo Ama Mohon Tunggu... Praktisi Hukum

Jadilah orang yang berguna dan bermanfaat untuk keluarga dan masyarakat. _____________________________________________________________________________ Pada website ini, akan berfokus memuat karya tulis tentang: Hukum, kebijakan, dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Membuat Keputusan Dalam Organisasi Nonkelembagaan Pemerintah & Lembaga Pemerintahan Dengan Berlandaskan Pertimbangan Nilai Moral & Etika

22 September 2025   10:01 Diperbarui: 22 September 2025   10:17 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SEBUAH PENGANTAR, Dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya di lingkungan organisasi dan lembaga pemerintahan birokrasi, pertimbangan moral dan etika merupakan aspek yang paling mendasar dan tidak dapat diabaikan. Hal ini menjadi semakin penting dalam organisasi yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip humanisme dan kepedulian terhadap lingkungan hidup. Nilai-nilai tersebut tidak hanya menjadi dasar pembentukan karakter organisasi, tetapi juga menjadi penopang keberlangsungan dan legitimasi lembaga di mata publik.

Sebelum masuk lebih dalam ke pokok pembahasan, penulis merasa perlu untuk memberikan semacam prolog reflektif sebagai pengantar yang menjelaskan latar belakang pengangkatan tema ini. Gagasan ini lahir dari penghayatan serta realitas sosial yang penulis amati secara langsung di tengah kehidupan masyarakat saat ini, terutama dalam konteks dinamika organisasi dan lembaga birokrasi pemerintahan.

Di tengah arus globalisasi dan pesatnya perkembangan teknologi informasi, telah terjadi pergeseran paradigma yang sangat cepat, bahkan cenderung mengabaikan aspek-aspek fundamental seperti nilai moral, etika humanistik, dan pertimbangan lingkungan dalam proses pengambilan keputusan. Ketika ketiga prinsip tersebut tidak lagi dijadikan pedoman, maka organisasi dan lembaga birokrasi akan mudah terjebak dalam praktik-praktik yang menyimpang dan tidak berkelanjutan.

Pengabaian terhadap etika dan moral bukan hanya mencederai kepercayaan publik, tetapi juga menjadi akar dari berbagai keruntuhan struktural maupun kultural dalam sebuah sistem organisasi atau pemerintahan. Di sinilah letak urgensinya mengapa penulis merasa terdorong untuk mengangkat dan mengkaji tema ini lebih lanjut, sebagai bentuk kepedulian terhadap masa depan organisasi dan pemerintahan yang lebih etis, humanis, dan berkelanjutan. Oleh sebab itu berikut akan membahas sekaligus untuk menjawab tema yang penulis angkat.

Author's Edits
Author's Edits

MASUK PADA PEMBAHASAN, Dalam suatu organisasi maupun lembaga birokrasi pemerintahan, pertimbangan moral dan etika merupakan bagian yang paling esensial dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan yang diambil tidak semata-mata didasarkan pada efisiensi dan kepentingan fungsional belaka, melainkan juga harus mempertimbangkan nilai-nilai moral yang berlaku serta etika profesional yang mendasari sistem kerja organisasi tersebut.

Sebagaimana dalam dunia perusahaan, ketika merekrut seorang karyawan, organisasi tidak hanya fokus pada aspek kompetensi teknis, tetapi juga berusaha membekali individu tersebut dengan pemahaman menyeluruh mengenai visi, misi, nilai-nilai organisasi, serta hak dan kewajiban sebagai bagian dari sistem. Dalam proses ini, prinsip moral dan etika sangat jelas terlihat misalnya dalam bentuk kode etik, pelatihan karakter, atau regulasi internal yang mengatur perilaku kerja (Noor Azaiki.

Etika kerja menjadi dasar untuk menilai tindakan yang benar dan salah, pantas dan tidak pantas, dalam konteks profesional. Karyawan diberi pemahaman mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang perlu dihindari, serta bagaimana menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara adil, jujur, dan berintegritas. Ini bukan hanya menjadi batasan perilaku, tetapi juga tolak ukur dalam setiap pengambilan keputusan dan tindakan profesional di lingkungan kerja.

Dengan demikian, pemahaman terhadap prinsip moral dan etika bukan hanya menjadi pengetahuan normatif semata, tetapi juga alat ukur internal yang menuntun individu dalam bersikap, mengambil keputusan, dan melaksanakan tugas secara konsisten dan bertanggung jawab. Kehadiran nilai-nilai ini sangat penting untuk menjaga kohesi, kepercayaan publik, serta keberlangsungan organisasi atau lembaga birokrasi dalam jangka panjang.

Di akhir-akhir ini dari pengamatan penulis, telah banyak organisasi non pemerintah dan lembaga birokrasi pemerintahan yang mulai runtuh yang di sebabkan kurangnya pembekalan terhadap karyawan dan pegawai pemerintahan terhadap prinsip-prinsip ini. Dalam hal ini yang kemudian ditengah jalan banyaknya institusi pemerintahan dan institusi non pemerintahan yang terjebak keruntahan yang disebabkan kurangnya pembekalan moral dan etika yang kuat. Misalnya dalam rana politik, perekrutan kader partai melalui pendidikan partai, hal ini sangat dibutuhkan sehingga para kader yang terpili menjadi anggota parleman (lembaga legislativ), lembaga pemerintahan (eksekutive) sampai pada birokrasi pemerintahan tidak terjebak pada tindakan-tindakan yang justru melenceng dari prinsip-prinsp moral, etika maupun etika baik dalam tindakan, kebijakan dan keputusannya.

Untuk itu dalam membuat dan mengambil keputusan sangat didorong adanya pertimbangan-pertimbangan yang etis. Hal ini bahwa membuat keputusan adalah keseluruhan proses pencapaian suatu keputusan yang identifikasi awal melalui pengambangan dan penilayan alternatif sampai pada putusannya dengan proses pembuatan keputusan yang diawali dengan perumusan masalah dan mempertimbangkan sebab akibat dari keputusan. Dengan cara mencari penyimpangan-penyimbangan atas keputasan tersebut (Noor Zaiki,.). Selain itu Menurut George R. Terry, pengambilan keputusan merupakan proses pemilihan berdasarkan kriteria tertentu dari dua atau lebih alternatif. Ia juga mengidentifikasi lima dasar yang bisa digunakan dalam proses pengambilan keputusan, yaitu: intuisi, pengalaman, fakta, wewenang, dan rasional. Wewenang ini adalah yang mengandung nilai prinsip pengalan, fakta, wewenagn dan rasionalitas adalah mengandung prinsip nilai moral dan etika sebelum membuat suatu keputusan.

Dalam proses pengambilan keputusan yang efektif dan bertanggung jawab harus memenuhi setidaknya lima prinsip dasar agar keputusan yang dihasilkan benar-benar relevan, rasional, dan dapat diimplementasikan dengan baik (H.F. Nolin). Prinsip-prinsip tersebut antara lain:

(1) Pengambilan keputusan tidak terjadi secara kebetulan.
Keputusan yang baik bukanlah hasil dari kebetulan atau intuisi sesaat, melainkan merupakan hasil dari proses pemikiran yang sistematis dan terencana. Hal ini penting untuk memastikan bahwa keputusan mencerminkan arah, visi, dan tujuan organisasi secara menyeluruh.

(2) Permasalahan harus diidentifikasi dengan jelas.
Langkah awal dalam pengambilan keputusan adalah mengenali dan merumuskan masalah secara spesifik. Ketidakjelasan dalam identifikasi masalah akan menyebabkan ketidaktepatan dalam memilih solusi, bahkan berpotensi memperburuk situasi yang ada.

(3) Keputusan tidak boleh diambil secara sembarangan.
Proses pengambilan keputusan harus dilakukan dengan penuh pertimbangan, tidak tergesa-gesa, dan bebas dari tekanan emosional. Keputusan yang terburu-buru cenderung mengabaikan berbagai aspek penting yang seharusnya dianalisis secara objektif.

(4) Solusi harus didasarkan pada data dan fakta yang dikumpulkan secara sistematis.
Pengambilan keputusan harus berlandaskan pada informasi yang relevan dan valid, yang diperoleh melalui proses pengumpulan data secara sistematis. Hal ini bertujuan agar keputusan memiliki dasar yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan secara logis maupun empiris.

(5) Keputusan yang baik merupakan hasil dari analisis yang mendalam.
Sebelum keputusan ditetapkan, perlu dilakukan analisis terhadap berbagai alternatif solusi, memperhitungkan risiko dan dampaknya, serta menilai sejauh mana keputusan tersebut selaras dengan kapasitas dan tujuan organisasi. Keputusan yang diambil secara matang cenderung lebih efektif dalam pelaksanaannya.

Namun apabila kelima prinsip di atas diabaikan dalam proses pengambilan keputusan, maka organisasi berpotensi menghadapi sejumlah konsekuensi serius, yakni: Yang pertama, Ketidaktepatan keputusan, karena tidak didasarkan pada identifikasi masalah yang jelas dan data yang valid, sehingga solusi yang diambil menjadi tidak relevan atau bahkan salah arah. Ke-dua, Keputusan sulit diimplementasikan, karena tidak memperhatikan sumber daya organisasi, baik dari sisi kemampuan manusia (SDM), keuangan, maupun sarana prasarana yang tersedia. Ke-tiga, Ketidaksinkronan antara pelaksana dan kepentingan organisasi, yang menyebabkan para pelaksana merasa tidak memiliki keterlibatan atau kepemilikan terhadap keputusan, sehingga menurunkan motivasi dan efektivitas kerja. Ke-empat, Timbulnya resistensi atau penolakan terhadap keputusan, karena keputusan dianggap tidak adil, tidak rasional, atau tidak komunikatif, sehingga menimbulkan konflik internal maupun eksternal.

Dalam pengambilan suatu keputusan ada empat macam hal yang harus dilihat berdasarkan kondisidan situasinya (Zaiki Noor.), yakni: (1) Pengambilan keputusan pada peristiwa yang pasti; Dalam situasi ini, seluruh informasi yang dibutuhkan tersedia secara lengkap dan hasil dari setiap alternatif keputusan dapat diprediksi dengan pasti. Tidak ada keraguan atau ketidakjelasan mengenai konsekuensi dari suatu tindakan. Contohnya: Seorang bendahara memutuskan untuk mentransfer dana ke rekening tertentu karena faktur dan perintah pembayaran telah lengkap dan sesuai prosedur. Ia tahu bahwa dana akan sampai ke tujuan karena sistem sudah pasti dan stabil.

(2) Pengambilan keputusan atas peristiwa yang mengandung resiko; Pada situasi ini, hasil dari setiap alternatif belum pasti, tetapi kemungkinan terjadinya masing-masing hasil bisa diperkirakan. Pengambil keputusan bekerja berdasarkan probabilitas atau perkiraan resiko. Contohnya: Manajer investasi memilih untuk menaruh dana di saham A dengan risiko fluktuasi pasar. Ia tahu peluang keuntungan 70% dan kemungkinan kerugian 30% berdasarkan analisis historis pasar.

(3) Pengambilan keputusan atas peristiwa yang tidak pasti; Dalam situasi ini, informasi yang tersedia sangat terbatas atau tidak dapat diandalkan, sehingga konsekuensi dari tindakan tidak dapat diprediksi sama sekali. Pengambil keputusan tidak bisa memperkirakan peluang terjadinya suatu hasil. Contohnya: Sebuah perusahaan rintisan (startup) memutuskan untuk meluncurkan produk baru di pasar yang benar-benar belum dieksplorasi. Tidak ada data atau pengalaman sebelumnya yang bisa dijadikan dasar keputusan.

(4) Pengambilan keputusan atas peristiwa yang timbul karena pertentangan dengan keadaan lain. Jenis ini terjadi ketika pengambil keputusan harus memilih di antara alternatif yang saling bertentangan secara internal, atau berlawanan dengan kepentingan pihak lain. Ini bisa berupa konflik nilai, konflik kepentingan, atau konflik antar kebijakan. Contohnya: Seorang pimpinan lembaga harus memilih antara menaikkan gaji pegawai (untuk meningkatkan kesejahteraan) atau menahan anggaran (untuk menyelamatkan keuangan institusi). Keputusan manapun yang diambil akan menimbulkan ketegangan dengan pihak yang berbeda.

Dalam suatu organisasi yang terorganisir yang memiliki tujuan secara kolektivitas (kebersamaan). Dalam setiap proses pengambilan keputusan, terutama yang menyangkut kepentingan banyak orang seperti dalam organisasi atau birokrasi pemerintahan, keputusan tersebut harus berpijak pada landasan etis yang kuat. Menurut sumber dari Ethical Leadership (Tomas Edison State University), terdapat tiga pendekatan utama yang patut dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan yang berorientasi pada etika, yakni:

Yang Pertama: Pendekatan Hak (The Rights Approach); Pendekatan ini menekankan bahwa keputusan yang diambil harus menghormati hak-hak dasar setiap individu sebagai manusia. Hak-hak tersebut meliputi: Hak atas kehidupan, Hak atas kebebasan berpendapat, Hak atas privasi, Hak atas rasa aman, Dan hak atas perlakuan yang adil. Dalam konteks organisasi, keputusan yang diambil tidak boleh melanggar hak pegawai, pelanggan, atau pemangku kepentingan lainnya. Misalnya, memecat karyawan tanpa proses yang adil merupakan pelanggaran terhadap hak dasar individu.

Ke-dua: Pendekatan Keadilan (The Justice Approach); Pendekatan ini berfokus pada prinsip kesetaraan dan keadilan, baik dalam pembagian manfaat maupun beban. Keputusan yang etis adalah keputusan yang memastikan bahwa semua orang diperlakukan secara adil, tidak memihak, dan tidak diskriminatif. Dalam lembaga birokrasi, promosi jabatan harus dilakukan berdasarkan kompetensi dan prestasi, bukan karena hubungan personal atau tekanan politik. Perlakuan yang adil akan menciptakan kepercayaan dan integritas dalam sistem organisasi.

Ke-tiga: Pendekatan Etika atau Kebajikan (The Virtue or Ethical Approach). Pendekatan ini menekankan bahwa keputusan harus mencerminkan karakter moral dan nilai kebajikan seperti kejujuran, keberanian, kasih sayang, kesetiaan, dan tanggung jawab. Pertanyaannya adalah: "Apakah keputusan ini mencerminkan siapa saya sebagai pribadi yang bermoral?". Dalam hal ini, sepertinya seorang pemimpin yang jujur dan bertanggung jawab akan mengambil keputusan bukan karena tekanan eksternal atau keuntungan pribadi, melainkan karena itu merupakan hal yang benar untuk dilakukan, bahkan jika sulit.

SEBAGAI KESIMPULAN & PENUTUP, Pengambilan keputusan dalam organisasi dan lembaga birokrasi pemerintahan tidak dapat dilepaskan dari dimensi moral dan etika. Di tengah arus globalisasi dan perubahan teknologi yang sangat cepat, banyak organisasi dan institusi birokrasi terjebak dalam pengambilan keputusan yang mengabaikan prinsip-prinsip dasar etika, moralitas, dan kepedulian terhadap lingkungan serta hak asasi manusia. Hal ini berkontribusi pada melemahnya integritas, runtuhnya kepercayaan publik, dan kegagalan implementasi kebijakan.

Melalui kajian ini, ditegaskan bahwa keputusan yang baik tidak hanya dilandasi oleh efisiensi atau rasionalitas semata, tetapi harus berpijak pada: (1) Nilai-nilai moral, seperti kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab; (2) Etika profesional, yang membimbing tindakan dalam lingkungan kerja; (3) Landasan rasional, berdasarkan analisis fakta, data, dan alternatif secara sistematis.

Prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh George R. Terry, H.F. Nolin, dan sumber Ethical Leadership menunjukkan bahwa keputusan yang tidak dirancang secara etis dan matang akan berakibat pada: (1) Ketidaktepatan kebijakan; (2) Ketidaksinkronan internal; (3) Penolakan dari pelaksana atau publik; dan (4) Kegagalan implementasi karena tidak sesuai dengan kapasitas organisasi.

Selain itu, pengambilan keputusan juga harus mempertimbangkan konteks atau situasi, baik dalam kondisi pasti, berisiko, tidak pasti, maupun konflik, sebagaimana dijelaskan oleh Noor Zaiki. Dalam semua situasi tersebut, pendekatan yang menghormati hak (rights approach), menjunjung keadilan (justice approach), dan mencerminkan kebajikan moral (virtue/ethical approach) menjadi sangat krusial. Oleh sebab itu, keputusan yang etis bukan hanya keputusan yang benar secara prosedural, tetapi juga yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral, diterima oleh publik, dan berkontribusi terhadap keberlanjutan serta keadilan sosial dalam organisasi maupun pemerintahan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun