Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bohongnya Yudhistira, Jujurnya Iklan Hadisuwarno, Bohongnya Kita

23 Juni 2011   04:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:15 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_115697" align="aligncenter" width="558" caption="bung, sungguh enak melihat wayang, tapi tak enak menjadi wayang (sumber:zonaberita.com)"][/caption] Bung, KETIKA ITU PERANG di Padang Kurukshetra, antara Pandawa vs Kurawa, terus berkecamuk. Makin seru. Masing-masing pihak telah kehilangan ksatria-ksatrianya, tapi belum lagi ada yang menang. Bisma yang bijak gugur, menyusul Gatotkaca yang kuat, tumpas jatuh berkalang tanah tertusuk panah. Tapi perang terus berlanjut. Bahkan aturan-aturan perang pun telah dikesampingkan—kalau sekarang: mereka tak mengindahkan lagi hukum humaniter yang diakui bangsa-bangsa di dunia. Kini, tak hanya siang mereka berperang, bahkan malam juga. Bahkan cara-cara licik sudah halal dilakukan. Yudhistira, Si Sulung Pandawa bersaudara itu, pun—notabene: terpaksa—melakukan hal yang sama: ia berbohong. hahaha, soal jujur-bohong kan memang lagi sedap dibicarakan di negeri ini kan, Bung? Bung, Alkisah, sebagai kita lihat dalam Mahabrata, Drona menjadi Mahasenapati pasukan Kurawa. Ia pimpin pasukannya dengan gagah berani menumpas ksatria-ksatria Pandawa. Bergelimpanganlah korban-korbannya di Padang Kurukshetra. Krishna, yang berada di pihak Pandawa dan menjadi penasehat perang, gusar. Ia tak bisa membiarkan ini terus terjadi—kalau tidak pasukan Pandawa bisa tumpas semua. Krishna mencari akal, bagaimana mengalahkan Drona. Dan Gothcha, ia tahu rahasinya. Menurut analisanya: kelemahan bekas mahaguru Pandawa itu adalah karena ia sangat sayang akan anaknya yang bernama Asatthama. Nah, Krishna berpikir,  jika saja ia mendengar anaknya itu mati, mestilah ia bersedih, dan meletakkan senjata—tak sadar sedang berperang. “Seseorang harus bilang ke Drona, bahwa Asatthama tewas!” sarannya kepada Pandawa Bersaudara. Tak satu pun yang menyetujui saran gila Krishna ini. Arjuna tak sanggup berbohong—terlebih kepada bekas guru yang dihormatinya sampai ujung kakinya itu. Begitu juga dengan saudara yang lain. Suasana menegang. Sementara di sisi lain, Drona terus menghajar pasukan mereka. Akhirnya, Yudhistira berdiri, dan mengambil resiko dari kebohongan yang akan dibuatnya. “Aku akan pikul dosa ini,” katanya. Ia lalu mengajukan syarat: ia mau membohongi Drona, setelah jika ada yang membunuh seekor gajah bernama Aswatthama—gajah perang yang gagah dan hebat. Bhimasena menyanggupi. Ia lalu pergi memukul tumbang seekor gajah perang yang memang bernama sama dengan anak Drona itu. Setelah itu ia berlari ke Medan Perang, ia mendekati Drona sambil berteriak-teriak: “Aku telah membunuh Asswathama. Ia sudah tewas! Asswathama tewas!” Drona terkejut. Ia tak percaya. Ia sangat tahu bahwa anaknya itu juga sakti—tak sembarang orang bisa membunuhnya. Tapi hatinya juga bimbang. Maka ia menembus pasukan musuh demi menemui Yudhistira. Ya, hanya kepada bekas muridnya itulah ia percaya, sebab Yudhistira tak pernah sekalipun menggunkaan mulutnya untuk kebohongan. “Nak, apa benar Asswathama tewas!?” Yudhistira diam. Ia tak sanggung menjawab. Tapi beberapalama kemudian, keluarlah suara dari mulutnya. “Ya,” katanya. Mendengar itu Drona bersimpuh. Ia letakkan senjatanya. Ia menangis, berduka sejadi-jadinya, sedalam-dalamnya. Tak ada lagi semangatnya untuk berperang—sebab separuh dari hatinya telah terbang bersama tewasnya anaknya. “Asswatthama gajah yang kuat dan hebat di medan perang!” lanjut Yudhistira. Tapi Drona sudah tak mendengarkannya lagi—terlebih kata gajah diucapkan secara lirih saja oleh Yudhistira. Melihat Drona yang tak melawan lagi, seorang pasukan Pandawa maju, lalu memenggal kepalanya (tapi ini bukan dalam rangka hukum pancung sebagai dialami oleh Ruyati loh, Bung!). Ia tewas. Padahal aturan perang tak membolehkan itu: musuh yang tak bersenjata, dan tak melawan lagi, tak boleh dibunuh. Bung, Memang sungguh susah berlaku jujur. Selalu saja ada godaan untuk berbohong. Terlebih kebohongan itu demi kekuasaan, kekayaan, nafsu birahi, dlsb. Bahkan seorang Yudhistira sendiri pun—yang kejujurannya tak bisa diragukan lagi—pada akhirnya harus berbohong demi kemenangan. Ya, tentu saja bohongnya Yudhistira, berbeda dengan bohongnya kita—eh, saya saja barangkali. Beda dengan bohongnya kita ketika mencontek, mengambil uang rakyat, tak menepati janji pemilu, memakai waktu kerja untuk urusan pribadi, dlsb. Yudhistira berbohong sebagai jalan terakhir—pun demi memperjuangkan kebenaran yang diyakininya. Kalau kita, eh saya, berbohong sebagai jalan pertama—dan boleh jadi utama. Bung, Sungguh enak melihat wayang, tapi saya yakin mesti tak enak diwayangkan. Medan, 23 Juni 2011 Salaman, Jemie Simatupang NB: Bung, sebagai Anda tau tulisan ini dengan jujur saya katakan (kali ini saya tidak berbohong) disponsori oleh: RUDI HADISUWARNO COSMETICS, ANTI DANDRUFF SERUM, YANG BEKERJA BERDASARKAN FAKTA DAN NYATA BERHASIL. JUJUR: BUKAN RAHASIA LAGI, LOH BUNG. Apalah jadinya tulisan ini tanpa iklan itu? Ya tak jadi apa-apa!  Dan semoga saja penguasa-penguasa kita, juga SBY presiden kita Yth. juga memakai produk ini, agar dia bisa selalu JUJUR dan BEKERJA BERDASARKAN FAKTA agar NYATA BERHASIL mensejahterakan rakyat. Tidak seperti kita, eh saya, yang selalu suka berbohong, hahaha...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun