Mohon tunggu...
Jembar tahta
Jembar tahta Mohon Tunggu... mahasiswa

pejalan sunyi, penikmat karya tuhan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyalakan Semangat Benawa Sekar di Laut Natuna

13 Oktober 2025   10:22 Diperbarui: 13 Oktober 2025   10:41 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Laut di Indonesia tidak hanya sekadar simbol ekonomi dan pariwisata. Namun, laut Indonesia adalah simbol dari kedaulatan negara sebagai negara maritim yang dahulu digadang-gadang menjadi poros maritim dunia. Laut di Indonesia bukanlah pemisah antar pulau, melainkan penghubung bagi belasan ribu pulau di Nusantara. 

Dalam narasi negara kepulauan, laut telah menjadi napas kehidupan rakyat Indonesia. Ketika kita menarasikan laut sebagai napas dan alat kedaulatan bangsa, terasa miris melihat Laut Natuna yang tak henti-hentinya dilanda kompromi. 

Masih banyak konflik yang terjadi dan melibatkan berbagai negara. Tumpang tindih klaim oleh Tiongkok menjadi pemicu utama terganggunya kedaulatan maritim Indonesia.

Dalam kondisi Laut Natuna yang masih tumpang tindih, mungkin ada yang kurang tepat dalam penerapan konsep kedaulatan maritim kita. Situasi ini menunjukkan bahwa Indonesia perlu memiliki strategi yang lebih tegas dan adaptif terhadap dinamika di kawasan tersebut. 

Sebab, laut bagi Indonesia bukan sekadar wilayah, tetapi juga wujud kedaulatan. Setiap persoalan yang menyangkut kedaulatan seharusnya direspons dengan langkah cepat dan tegas, karena hal itu berkaitan langsung dengan marwah bangsa.

Berbicara mengenai marwah maritim Nusantara, kita tidak bisa melepaskan diri dari kebesaran Majapahit. Kerajaan ini menjadi simbol kejayaan maritim di masa lampau, ketika Nusantara mampu menguasai jalur perdagangan dan menjaga stabilitas lautnya dengan strategi diplomasi dan kekuatan armada yang kuat. 

Spirit maritim Majapahit seharusnya menjadi cermin bagi Indonesia masa kini dalam menjaga dan menegaskan kedaulatan laut, terutama di wilayah strategis seperti Natuna.

Sejarawan Majapahit Agus Sunyoto menggambarkan bahwa angkatan laut Majapahit merupakan kekuatan maritim yang paling disegani di Asia Tenggara. Ia menuturkan bahwa Majapahit memiliki ratusan kapal perang besar (jong) yang dipersenjatai dengan cetbang dan bedil besar, menunjukkan kemajuan teknologi bahari Nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa. 

Menurutnya, keganasan armada laut Majapahit tidak hanya terletak pada kekuatan militernya, tetapi juga pada kedigdayaan spiritual bangsa pelaut Nusantara yang memandang laut sebagai ruang kosmik penuh makna. 

Dalam salah satu ceramahnya di Lesbumi PBNU, Agus Sunyoto menegaskan bahwa "armada Majapahit itu bukan hanya menguasai laut, tapi menaklukkan imajinasi laut; dari Tumasik hingga Maluku, semua tahu betapa berdaulatnya samudra bagi orang Majapahit."

Fokus kita seharusnya tidak hanya pada upaya menguasai laut, tetapi juga menaklukkan imajinasi tentang laut. Imajinasi ini dapat dimaknai bahwa ketika laut secara de facto, de jure, dan secara hukum internasional merupakan wilayah Indonesia, maka kita juga harus menaklukkan seluruh narasi dan persepsi negara lain mengenai Laut Natuna. 

Jika kita hanya menjadi penonton dalam pertarungan imajinasi kepemilikan, bukan tidak mungkin kedaulatan kita sedang digoyang secara perlahan. 

Dalam konteks ini, penguasaan laut tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga kultural dan simbolik---bagaimana Indonesia mampu membangun narasi maritimnya sendiri di tengah dinamika geopolitik yang kompleks.

Kesadaran akan laut sebagai jati diri bangsa sebenarnya sudah diformulasikan sejak masa Majapahit melalui konsep benawa sekar. Istilah ini, sebagaimana dijelaskan oleh sejarawan Agus Sunyoto, merupakan simbol kejayaan bahari dan kedalaman spiritual bangsa pelaut Nusantara. 

Secara etimologis, benawa berarti kapal besar, sedangkan sekar bermakna bunga atau keindahan. Keduanya menggambarkan bahtera yang indah dan suci---metafora dari peradaban laut yang beradab. 

Dalam Negarakertagama pupuh 14--17, disebutkan ekspedisi Majapahit hingga ke Maluku, menunjukkan bahwa laut bukan sekadar jalur perdagangan, tetapi juga arena peneguhan kedaulatan dan kebudayaan. 

Catatan Tome Pires dalam Suma Oriental turut menguatkan fakta bahwa armada laut Majapahit sangat kuat dan terorganisir, menandakan bahwa kedaulatan maritim sudah menjadi bagian dari struktur politik dan spiritual kerajaan tersebut.

Dari sinilah, benawa sekar dapat dimaknai sebagai lambang harmoni antara kekuatan dan keindahan, antara kekuasaan dan spiritualitas. Kapal bukan hanya alat perang atau perdagangan, tetapi juga bahtera budaya yang membawa nilai keselarasan antara manusia, alam, dan Tuhan. 

Tradisi bahari yang masih hidup hingga kini---seperti sedekah laut dan larung sesaji---merupakan jejak kultural pandangan dunia maritim Majapahit yang memuliakan laut sebagai sumber kehidupan dan kedaulatan. 

Jika kita berkaca pada kondisi Laut Natuna saat ini, orientasi Indonesia cenderung terbatas pada keamanan dan pertahanan, belum menyentuh aspek kultural dan spiritual seperti yang pernah dilakukan Majapahit. 

Padahal, dengan memperkuat kehidupan ekonomi dan budaya maritim di Natuna, Indonesia dapat menegaskan bahwa laut bukan hanya simbol kedaulatan, tetapi juga sarana soft power. 

Pendekatan ini memungkinkan Indonesia menjaga wilayah tanpa konflik terbuka dengan negara besar seperti Tiongkok, sambil menghidupkan kembali roh maritim Nusantara sebagai identitas bangsa yang sejati.

Dalam menghadapi dinamika Laut Natuna, Indonesia seharusnya tidak hanya bersandar pada kebijakan pertahanan yang reaktif, tetapi membangun paradigma maritim yang lebih berjiwa. 

Laut harus kembali dipandang sebagai ruang budaya dan spiritual, bukan sekadar arena geopolitik. Kita perlu menyalakan kembali "roh Majapahit" dalam diri bangsa---yakni keberanian untuk menegaskan kedaulatan tanpa kehilangan kearifan, serta kemampuan menaklukkan laut bukan hanya dengan kapal dan senjata, tetapi dengan narasi, kebudayaan, dan daya cipta bangsa. 

Laut Natuna dapat menjadi laboratorium kebangkitan maritim modern, tempat Indonesia membangun keseimbangan antara kekuatan keras dan kekuatan lunak, antara realitas politik dan imajinasi kebangsaan.

Refleksi ini menuntun pada kesadaran bahwa laut bukan sekadar batas negara, melainkan ruang hidup bangsa. Di atas ombak Natuna, seharusnya kita melihat cermin diri: apakah kita masih bangsa pelaut yang berdaulat dan berbudaya, atau sekadar penjaga garis di peta dunia? 

Meneladani Majapahit berarti mengembalikan laut pada hakikatnya sebagai napas peradaban Nusantara---tempat diplomasi, ekonomi, dan spiritualitas bertemu dalam satu harmoni. 

Jika kedaulatan laut bisa dirawat dengan kecerdasan budaya dan keberanian politik, maka Indonesia bukan hanya menjaga Natuna, tetapi juga menjaga martabat dirinya sebagai bangsa maritim sejati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun