Dari aksi "Indonesia Darurat", "Indonesia Gelap", hingga "Tolak RUU TNI", terlihat jelas bagaimana para pemimpin dan wakil rakyat seakan-akan menganggap enteng rakyat. Seberapa lantang pun suara kita, jika kita hanyalah rakyat biasa, kita tetap tidak dianggap. Rakyat sebagai penopang keuangan negara melalui pajak seharusnya memiliki privilese dalam menentukan arah kebijakan, tetapi justru kerap diperlakukan seperti orang asing di negeri sendiri.
Jika kita membayangkan, rakyat sebenarnya bisa hidup tanpa pemimpin, meskipun ada risiko hukum rimba. Namun, rakyat Indonesia terbukti mampu mengelola kehidupannya sendiri. Sebaliknya, bagaimana pemimpin bisa menjalankan pemerintahan tanpa pajak dari rakyat? Rakyat memiliki ketangguhan luar biasa. Mereka mencari makan sendiri, mencari kerja sendiri, bahkan sering kali menghadapi ancaman dari negara---mulai dari penggusuran hingga eksploitasi sumber daya alam yang menjadi sandaran hidup mereka.
Hubungan antara pemimpin dan rakyat saat ini dilandasi oleh sikap takabur. Takabur adalah ketika seseorang merasa lebih tinggi, merendahkan orang lain, dan menganggap dirinya lebih pantas dihormati. Akibatnya, pemimpin dengan sikap ini melihat rakyat sebagai entitas remeh yang mudah dikendalikan dan hanya berguna saat pemilu. Contoh sederhana bisa kita lihat di jalan raya---ketika kemacetan terjadi, pejabat dengan pengawalan patwal melaju dengan mudah, sementara rakyat dianggap sebagai penghalang. Namun, saat pemilu tiba, rakyat tiba-tiba menjadi aset berharga yang perlu dirayu.
Gelombang demonstrasi yang terjadi belakangan ini, termasuk penolakan terhadap RUU TNI, mencerminkan kekecewaan rakyat terhadap minimnya transparansi. Para wakil rakyat duduk di meja parlemen dengan dalih mewakili rakyat, tetapi sering kali keputusan mereka lebih berpihak pada kepentingan pribadi. Rakyat tidak pernah benar-benar dilibatkan dalam proses penyusunan kebijakan. Padahal, dalam prinsip demokrasi, kedaulatan sejatinya ada di tangan rakyat. Namun kini, rakyat justru diperlakukan seperti buruh atau bahkan pengemis di negeri sendiri.
Tidak adanya transparansi adalah bentuk nyata dari kesombongan. Rakyat dianggap tidak memahami isu-isu strategis seperti pertahanan dan keamanan, sehingga aspirasi mereka kerap diabaikan. Namun, ketidaktahuan rakyat bukanlah alasan untuk menutup-nutupi kebijakan. Jika kampanye politik bisa dilakukan dengan masif, mengapa sosialisasi kebijakan tidak bisa dilakukan dengan cara yang sama? Keputusan yang diambil secara diam-diam, apalagi di bulan puasa dengan harapan rakyat akan lebih sabar, justru memicu perlawanan yang lebih besar. Bagi rakyat, puasa bukan hanya soal menahan hawa nafsu, tetapi juga mempertahankan hak-hak mereka.
Hak rakyat adalah yang paling tinggi, tetapi justru diremehkan oleh para pemimpin. Lantas, bagaimana rakyat merespons? Rakyat tidak membalas ketakabburan pemimpin dengan takabur terhadap individu-individu yang berkuasa. Sebaliknya, rakyat menjadi terbiasa untuk menyepelekan masalah-masalah yang terus menekan mereka---mulai dari sulitnya mencari pekerjaan, pemutusan hubungan kerja, melonjaknya harga pangan, hingga proyek-proyek negara yang merugikan masyarakat. Rakyat tahu bahwa tidak ada yang bisa diandalkan selain diri mereka sendiri. Inilah bentuk perlawanan yang sejati.
Dari sini kita bisa melihat bahwa kesombongan para pemimpin berdampak langsung pada kehidupan rakyat. Namun, rakyat membalasnya bukan dengan dendam, melainkan dengan ketahanan. Rakyat tetap kuat dan tangguh, karena mereka telah terbiasa menghadapi berbagai kesulitan tanpa mengeluh. Hidup rakyat! Tuhan selalu bersama mereka yang berjuang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI