Saya tetap menjadi anak yang tertutup, sejak pulang dari Medan, kami tidak pernah membicarakan tentang ayah lagi. Saya menjalani hidup sebagaimana mestinya, mungkin karena saya masih kecil saya tidak begitu memikirkanya. Meskipun tanpa disadari sebenarnya peristiwa itu sangat membekas dalam hati saya.
3. Krisis Terjadi di Masa Remaja
Meskipun dimasa kecil, peristiwa itu tidak terlalu memberi pengaruh besar terhadap hidup saya, tapi masa remaja saya berubah drastis.Â
Entah mengapa saya menjadi orang yang tidak percaya diri, dan sulit bersosialisasi. Nampaknya masa-masa krisis ketika orang tua saya bercerai lalu ayah meninggal mendadak mulai mempengaruhi kepribadian saya.
Entah mengapa saya merasa marah kepada keadaan, saya sedih melihat teman-teman saya memiliki keluarga yang utuh dan bahagia.Â
Saya juga marah pada ibu saya. Karena berpisah dari ayah, kami harus mengalami keadaan ekonomi yang sulit, bahkan saya marah kepada Tuhan.Â
Sejak saya masuk ke Sekolah Menengah Pertama, saya sudah mulai malas datang ke gereja, karena menurut saya Tuhan itu tidak adil.Â
Teman-tema saya hidupnya baik-baik saja, ayah dan ibunya akur, kebutuhannya tercukup dan mereka terlihat bahagia. Berbeda dengan keadaan keluarga saya.
Pernah disuatu kali ketika ibu sedang mengomel, saya berteriak kepadanya, "ini semua karena mama, mama lahirin saya tapi gak bisa ngurus!" Jika diingat lagi kata-kata itu sangat kejam. Tapi itulah yang terjadi, seluruh perasaan yang sejak kecil saya pendam meluap ketika saya remaja.Â
Dulu pernah hidup seorang bernama ayub dan kisahnya dituliskan dalam Alkitab. Ketika itu Ayub dalam berada di titik krisis, ia berkata: "Mengapa aku tidak mati waktu aku lahir, atau binasa waktu aku keluar dari kandungan?" (Ayub 3:11). Perasaan menyesal telah dilahirkan itulah yang saya rasakan saati itu.
Tiba-tiba muncul keinginan untuk mati saja, timbul juga perasaan tidak berguna, dan berbagai perasaan negatif lainnya. Di sekolah saya menjadi anak yang kurang bergaul dan tidak luwes.