Mohon tunggu...
Zema
Zema Mohon Tunggu... Penulis - orang biasa

Hidup ini sederhana, perasaan memperumitnya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengatasi Krisis Dalam Diri

29 April 2020   08:00 Diperbarui: 29 April 2020   08:05 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernah suatu kali ayah datang ke rumah, saya belum mengerti apa yang mereka bicarakan, setelah dewasa saya baru mengerti bahwa waktu itu ayah meminta rujuk, tapi sepertinya hati mama sudah tertutup. 

Demikianlah mereka berpisah, entah kenapa saya dan kakak seakan mengerti, kami tidak pernah bertanya "mengapa rumah kita pisah?" atau "mengapa ayah tidak tidur di sini?". Mungkin karena masih kecil, saya tetap menjalani hidup sebagaimana mestinya. 

Saya tidak berkomentar apapun, entah ada kaitannya atau tidak tapi sejak saat itu saya menjadi anak yang sangat tertutup. Kepribadian itu masih saya bawa hingga saya beranjak remaja, saya benar-benar tidak bisa mengekspresikan apa yang saya rasakan, saya juga jarang sekali menceritakan apa yang saya rasakan pada orang lain. Apakah itu bisa disebut masa krisis? 

Saya rasa iya, hanya saja saya saat itu tidak tahu apa itu krisis. Ada suatu kesedihan mendalam yang tidak dapat saya utarakan kepada siapapun. Saya mengalami krisis hanya saja saya menunda perasaan dukacita saya dengan menjalani hidup seperti anak-anak lainnya.

2. Papa Meninggal

Peristiwa krisis kedua dalam hidup saya adalah ketika papa meninggal. Sebuah kisah tragis. Saat itu ayah dan mama sudah berpisah, kemudian ayah menjual rumah kami. 


Bagi kami rumah itu sangat berharaga, kami tumbuh besar di sana, kami suka kamar kami, juga mainan kami masih banyak tertinggal di rumah itu. Tapi apa boleh buat, banyak hal yang terjadi saat saya belum cukup dewasa.

Setelah berpisah kami dan mama tinggal dirumah kontrakan sederhana. Saya tidak ingat kapan terakhir kali saya bertemu dengan ayah tapi saya ingat hari itu saya berdiri menatap rumah yang sudah dihuni oleh orang lain. Ayah tidak pernah lagi datang untuk menjemput saya dan kakak , bahkan sejak saat itu tidak sekalipun saya pernah melihatnya. 

Berbulan-bulan kehidupan tetap berjalan seperti biasa. Dengar-dengar ayah sekarang berada di Jakarta untuk mengobati penyakit kolesterol yang sudah semakin parah.

Berbulan-bulan masih belum ada kabar dari ayah, hingga suatu hari tanpa di duga, datang kabar bahwa ayah sudah meninggal dan saat ini jasadnya ada di Medan, di rumah keluarga besarnya. 

Sore itu mama, kakak dan saya langsung berangkat ke Medan. Sayang sesampainya di sana rupanya jasad ayah sudah dikuburkan. Waktu itu saya sudah duduk di kelas tiga SD, saya dan kakak menangis sejadi-jadinya ketika sampai dikuburan ayah. Mama tidak menangis, entah mengapa, sampai hari ini saya tidak berani menanyakannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun