Mohon tunggu...
Rut Sri Wahyuningsih
Rut Sri Wahyuningsih Mohon Tunggu... Penulis - Editor. Redpel Lensamedianews. Admin Fanpage Muslimahtimes

Belajar sepanjang hayat. Kesempurnaan hanya milik Allah swt

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Event Tahunan, Harga Pangan Meroket

12 April 2021   23:16 Diperbarui: 12 April 2021   23:29 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok.Rut Sri Wahyuningsih

Ramadan,  Hari Raya Idul Fitri , mudik dan arus baliknya adalah even tahunan, semestinya tak lagi ditemukan hambatan yang berarti dalam menjalaninya. Namun, faktanya selalu ada pengulangan terutama harga-harga barang kebutuhan pokok. Baru menjelang Ramadan saja harga sudah meroket, padahal keimanan masih naik turun. Bukannya lebih afdhol jika pemerintah mempersiapkan suasana tenang dalam menghadapi even tahunan ini?

Seperti yang dikatakan Abdullah Mansuri, Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) bahwa hari-hari saat ini ritmenya memang merangkak naik dengan persentase yang berbeda untuk setiap bahan pokok yang dijual. Dan kenaikan ini karena suplai dan demand. Kenaikan ini hampir pasti terjadi 10 tahun terakhir (CNBC Indonesia.com, 11/4/2021).

Sebagai pedagang tentu Abdullah tak berdaya menguasai harga pasar, di sisi lain ia tak mau kehilangan pelanggan karena ikut menaikkan harga tapi di sisi lain ia akan tekor habis-habisan jika tetap dengan harga normal, belum lagi dengan ancaman langkanya pasokan barang, cuaca dan permainan kotor para penimbun dan spekulan pasar. 

Abdullah menyakini, kenaikan harga ini masih akan terus terjadi hingga sepekan saat awal Ramadhan. Setelah itu, harga-harga akan kembali normal, dan mulai kembali naik saat lima hari sebelum lebaran atau hari raya Idul Fitri. Hal ini karena persiapan lebaran, masyarakat berbelanja dengan kapasitas besar dan stok di rumah. "Imbauan kami, jangan stok barang di rumah karena berbahaya kepada harga pasokan," pesannya.

Ramadan, bagi kaum Muslim terutama di Indonesia, tidak hanya bermakna ibadah, bagian dari syariat yang dibebankan kepada mereka sebagai konsekwensi dari keimanan mereka. Maka, dalam praktiknya salah satu syariat Allah ini telah berilftitasi dengan budaya setempat, dimana masyarakat secara turun temurun mengadakan selamatan agengan ( megengan=jawa.pen). Memasak sejumlah makanan kemudian saling berbagi. 

Semua dalam rangka mengucapkan syukur karena telah dipertemukan dengan Ramadan dan sekaligus mempersiapkan hati untuk menghadapi ibadah puasa selama sebulan penuh. Di mata kaum kapitalis ini adalah celah manfaat yang mendatangkan keuntungan berlipat-lipat kali sebagaimana pahala yang dijanjikan Allah swt. Bedanya, mereka hanya melihat dari kacamata manfaat materi duniawi. 

Tak peduli bahwa pahala yang afdhol adalah pahala akhirat. Maka Harga pangan meroket merupakan kejadian berulang dan wajar bagi mereka menjelang bulan Ramadan. Bisa jadi sepanjang Ramadan hingga menjelang hari raya Idul Fitri. Sebetulnya pada hari-hari besar kaum Muslim yang lainnya seperti Maulud Nabi , Tahun Baru Hijriyah atau Idul Adha harga barang juga naik, namun tak terlalu signifikan karena hanya dirayakan oleh beberapa wilayah di Indonesia. 

Sementara Ramadan dan Idul Fitri selain berdekatan juga inilah momen yang ditunggu-tunggu untuk silahturahmi kepada sanak saudara di kampung setelah selama 1 tahun tidak bertemu. Karena tuntutan pekerjaan. 

Pertanyaannya, haruskah harga naik melambung jauh melampaui harga normalnya? Dimana peran penting negara untuk menyediakan pasokan memadai dan menghilangkan semua penghambat pasar yang adil?

Hal ini bisa dilihat dari apa yang diambil negara sebagai kebijakan, maslahat rakyat tak dijadikan tumpuan. Sebagaimana dilansir CNN Indonesia, 18 November 2020, Indonesia masih doyan impor untuk kebutuhan pangan yang semestinya bisa dipasok dari dalam negeri. 

Sungguh berkebalikan dengan target Presiden Joko Widodo yang akan swasembada pangan dalam 3 tahun sejak periode pertama pemerintahannya, pada Desember 2014. Ternyata hingga lebih dari 4 tahun kemudian yang terjadi justru peningkatan nilai impor. Berbagai bahan kebutuhan pokok diimpor, mulai dari daging, garam, produk ikan, udang dan moluska dan lain-lain, padahal Indonesia adalah negara maritim.

Buah-buahan, coklat dan olahannya, kacang, minuman beralkohol bahkan cuka adalah beberapa bahan yang diimpor juga. Sayuran pun tak beda. Di tahun 2015, angkanya transaksinya masih US$ 0,66 milliar, kemudian menanjak setahun kemudian ke angka US$ 0,85 milliar, naik lagi di tahun 2017 menjadi US$ 1,19 milliar, selanjutnya menjadi US$ 1,31 milliar setahun berselang dan puncaknya tahun lalu menjadi US$ 1,49 milliar (CNBC Indonesia, 18/11/2020).

Secara logika bagaimana ketahanan pangan kita bisa kuat, karena hampir semua bahan pokok kita mengandalkan bangsa lain, produk lokal petani dalam negeri jadi hancur, hanya dengan alasan untuk keseimbangan pasar kecukupan ketersediaannya pangan kebutuhan rakyat. Rakyat yang mana? Petani menjerit tersebab panennya gagal, harga rusak dan tak bisa menyimpan untuk musim tanam berikutnya. 

Bukankah semestinya pemerintah mengadakan swasembada pangan berbasis teknologi? Negeri ini tak kurang expert di bidang pertanian, perkebunan, perikanan dan lain sebagainya. Mesti fokus pada ketahanan pangan dalam negeri, selain untuk pemerataan pangan juga untuk ketersediaan pasokan di bulan Ramadan, pemerintahlah yang semestinya mengatur distribusi barang di pasar yang dirasa mulai ada kelangkaan sehingga berakibat pada naiknya harga barang. 

Pemerintah juga harus mengedukasi rakyat untuk benar-benar cinta produk Indonesia. Dengan menjadikannya kurikulum pendidikan di setiap jenjang, sehingga muncul kesadaran untuk memikirkan masalah keumatan, menuntut ilmu tak semata untuk mendapatkan pekerjaan sebagaimana hari ini yang diwacakan Mendikbud dengan belajar merdeka dan kampus merdekanya. Jika demikian yang terjadi, justru generasi penerus kita hanya berhenti pada taraf pekerja rendahan, bukan pemilik teknologi dan pasar. 

Namun mungkinkah terjadi perubahan jika kita masih menggunakan ekonomi kapitalis sebagai aturan main berekonomi? Sementara landasan dasar sistem ekonomi ini adalah sekular, alias meniadakan hukum Allah diterapkan dalam kehidupan berekonomi?

Bagaimana Islam memandang persoalan tahunan ini? Jelas akan menerapkan keadilan dan pemerataan kesejahteraan hakiki. Dimana Islam mewajibkan negara mewujudkan suasana tenang, dengan adanya jaminan pemenuhan kebutuhan terutama menjelang Ramadhan. 

Bagaimana caranya? Pertama, negara akan memasok barang di pasar ketika dilihat ada kenaikan harga tak wajar akibat pasokan atau ketersediaannya langka di pasaran. Pemerintah akan meminta wilayah yang surplus membantu mengirim barang ke wilayah yang minus. Haram pemerintah mematok harga, cukup dengan menyeimbangkan pasokan dengan subsidi silang. 

Kedua, pemerintah akan menindak pelaku-pelaku curang di pasar seperti penimbun, pencampur barang bagus dengan barang jelek, kecurangan penimbangan, pemastian hanya barang yang halal saja yang dijual dan sebagainya. Intinya ada jaminan negara bahwa barang di pasar halalan toyyibah. Baik dari sisi kualitas barang maupun transaksinya. 

Ketiga pemerintah akan mengerahkan para Hubaro' ( ahli peneliti, insinyur dan orang-orang yang punya keahlian khusus) untuk mengembangkan teknologi terkini di bidang pertanian, perkebunan dan lainnya, termasuk menyediakan sekolah-sekolah yang mendukung terlahirnya tenaga-tenaga ahli ini. 

Keempat, pemerintah akan mengawasi pergerakan ekspor impor baik dari sisi barang atau jasa maupun dengan negara mana akan bekerja sama, sebab memang syariat melarang kaum Muslim bekerja sama dengan pihak yang secara akidah berbeda dan selalu menyerukan permusuhan dengan Islam.

Kelima, negara akan mengaktifkan Baitul Mal sebagai sistem pendanaan negara kepada seluruh urusan rakyatnya. Dimana pos pemasukan dan pengeluarannya di atur syariat. Sehingga negara bisa mandiri dan membiayai seluruh kewajiban pokok negara kepada rakyat, yaitu kebutuhan sandang, papan, pangan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. 

Sebab dalam Islam, penjaminan seseorang bisa bekerja dan menafkahi keluarganya itu dibebankan kepada negara orang perorang. Hingga mereka bisa memenuhi kebutuhan keluarganya dengan layak, bisa berupa modal, pendidikan ketrampilan dan lainnya. Hal ini masuk dalam mekanisme langsung negara dalam mengurangi pengangguran, pelonjakan harga dan yang lainnya.

Keenam, edukasi negara kepada rakyatnya bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan syariat tak akan membawa kepada kebahagiaan apalagi kesejahteraan. Kenaikan harga yang terus berulang itu adalah bagian dari pengabaian negara dalam mengurusi rakyatnya. Terlebih ini bukan Ramadan, bulan dengan penuh keberkahan, pahala dan ampunan. Maka semestinya pemerintah mendorong rakyatnya untuk beribadah dengan tenang. Sebagaimana kaedah fikih" ma laa yatimu wajibu Illa bihi fahuwa wajibun" yang artinya seandainya suatu kewajiban itu tak bisa terlaksana karena ketiadaan sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajib. 

Ketenangan ibadah tak bisa diraih jika konsentrasi rakyat beralih pada pemenuhan kebutuhan pokok yang meroket, maka menjadikannya stabil hingga ke akar itu menjadi wajib. "Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR al-Bukhari). Inilah dalil yang menguatkan fungsi seorang pemimpin bagi rakyatnya. Wallahu a'lam bish showab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun