Surabaya sedang mencoba menulis ulang bab baru dalam sejarahnya. Bukan sekadar kota dengan mal yang semakin mirip satu sama lain, gedung-gedung yang saling berebut langit, atau jalan raya yang jadi arena adu kesabaran sopir angkot dan pengendara motor.
Kali ini, ada narasi yang jauh lebih serius, yaitu perang melawan pabrik ilegal dan bangunan nakal.
Wali Kota Eri Cahyadi tampak tak ingin lagi main setengah hati. Pesan yang ia gaungkan sederhana, tapi menyengat: semua bangunan harus berizin, dan izin itu bukan hanya formalitas stempel basah, melainkan izin lingkungan yang nyata.
Saking jelasnya, kalimat itu terasa seperti garis bawah dengan tinta tebal, seolah-olah ingin berkata: "Kalau tidak ada izin, selesai. Tutup. Titik."
Kasus pabrik peleburan emas di Kandangan, Benowo, menjadi contoh paling segar. Pabrik itu nekat beroperasi tanpa mengantongi izin resmi, seolah-olah aturan negara hanyalah hiasan dinding. Respons Pemkot pun cepat; segel tanpa drama panjang.
Tidak ada kompromi ala sinetron prime time yang penuh tangisan pura-pura. Tidak ada ruang bagi pengusaha nakal yang masih menganggap izin hanyalah kertas receh birokrasi.
Tetapi, mari jujur sejenak. Pemkot Surabaya bukanlah makhluk gaib yang bisa melihat setiap lorong, setiap pojok, setiap gang kecil yang mungkin disulap jadi bengkel berasap atau pabrik rumahan penuh limbah.
Di sinilah Eri memainkan kartu jitu: ia mendorong masyarakat menjadi detektif lingkungan. Warga diminta melaporkan apa pun, mulai dari pungutan liar, bangunan liar, sampai pabrik nakal yang pura-pura tidak terlihat.
Surabaya, katanya, adalah rumah bersama. Dan rumah bersama ini tidak boleh diacak-acak oleh tamu tidak tahu diri yang hanya peduli keuntungan pribadi.
Nada sarkasme tentu tidak bisa dihindari. Sebab, mari kita tanya, apa gunanya Surabaya bersolek sebagai kota megapolitan kalau diam-diam membiarkan paru-paru warganya dipenuhi asap pabrik ilegal?