Mohon tunggu...
Jelajahpedia
Jelajahpedia Mohon Tunggu... Mijelajah Tour Consultant

Teman jelajah yang menghadirkan cerita travel, kuliner, dan budaya dengan bahasa hangat nan orisinil, mengundang Anda untuk menapaki langkah, mencicip rasa, dan menyelami kisah di balik setiap destinasi—sebab kami percaya, hidup terlalu singkat untuk menua tanpa cerita.

Selanjutnya

Tutup

Surabaya

Buka Pabrik Tanpa Izin di Surabaya? Siap-Siap Digulung, Bos!

17 September 2025   21:53 Diperbarui: 18 September 2025   22:51 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Inspeksi Lapangan ke Pabrik Ilegal di Surabaya (Sumber:??https://jakarta.bpk.go.id/) 

Surabaya sedang mencoba menulis ulang bab baru dalam sejarahnya. Bukan sekadar kota dengan mal yang semakin mirip satu sama lain, gedung-gedung yang saling berebut langit, atau jalan raya yang jadi arena adu kesabaran sopir angkot dan pengendara motor.

Kali ini, ada narasi yang jauh lebih serius, yaitu perang melawan pabrik ilegal dan bangunan nakal.

Wali Kota Eri Cahyadi tampak tak ingin lagi main setengah hati. Pesan yang ia gaungkan sederhana, tapi menyengat: semua bangunan harus berizin, dan izin itu bukan hanya formalitas stempel basah, melainkan izin lingkungan yang nyata.

Saking jelasnya, kalimat itu terasa seperti garis bawah dengan tinta tebal, seolah-olah ingin berkata: "Kalau tidak ada izin, selesai. Tutup. Titik."

Kasus pabrik peleburan emas di Kandangan, Benowo, menjadi contoh paling segar. Pabrik itu nekat beroperasi tanpa mengantongi izin resmi, seolah-olah aturan negara hanyalah hiasan dinding. Respons Pemkot pun cepat; segel tanpa drama panjang.

Tidak ada kompromi ala sinetron prime time yang penuh tangisan pura-pura. Tidak ada ruang bagi pengusaha nakal yang masih menganggap izin hanyalah kertas receh birokrasi.

Tetapi, mari jujur sejenak. Pemkot Surabaya bukanlah makhluk gaib yang bisa melihat setiap lorong, setiap pojok, setiap gang kecil yang mungkin disulap jadi bengkel berasap atau pabrik rumahan penuh limbah.

Di sinilah Eri memainkan kartu jitu: ia mendorong masyarakat menjadi detektif lingkungan. Warga diminta melaporkan apa pun, mulai dari pungutan liar, bangunan liar, sampai pabrik nakal yang pura-pura tidak terlihat.

Surabaya, katanya, adalah rumah bersama. Dan rumah bersama ini tidak boleh diacak-acak oleh tamu tidak tahu diri yang hanya peduli keuntungan pribadi.

Nada sarkasme tentu tidak bisa dihindari. Sebab, mari kita tanya, apa gunanya Surabaya bersolek sebagai kota megapolitan kalau diam-diam membiarkan paru-paru warganya dipenuhi asap pabrik ilegal?

Apa gunanya membangun taman-taman cantik, lengkap dengan WiFi gratis dan lampu hias, kalau air sungai di sebelahnya berbau tajam karena limbah industri? Apa gunanya membanggakan kafe-kafe instagramable, kalau napas para pengunjungnya perlahan digerogoti polusi?

Analogi rumah yang dipakai Pemkot sebenarnya sangat tepat. Surabaya adalah rumah besar, dan siapa pun yang merusaknya sama saja seperti tamu kurang ajar yang seenaknya menendang kursi ruang tamu dan membuang sampah di lantai.

Ironisnya, masih banyak yang menganggap masalah izin lingkungan sebagai urusan belakang yang bisa dinegosiasikan dengan amplop atau sekadar senyum basa-basi.

Padahal, izin bukan sekadar lembaran birokrasi, ia adalah pagar, dinding, sekaligus atap untuk melindungi penghuni rumah dari kehancuran.

Langkah ini sekaligus menegaskan ambisi yang lebih besar, Surabaya ingin berdiri sebagai kota pelopor kepedulian terhadap AMDAL. Kota yang tidak lagi puas hanya dengan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan fisik, melainkan juga menakar keberlanjutan dan keselamatan lingkungan hidup.

Sebuah visi yang kalau berhasil bisa membuat kota lain terpaksa berkaca: "Kalau Surabaya bisa, kenapa kita tidak?"

Tentu, semua ini tidak bisa hanya bergantung pada Pemkot. Sebab, sekali lagi, pemerintah bukan malaikat penjaga dengan seribu mata.

Tanpa laporan warga, tanpa keberanian masyarakat untuk angkat suara, celah-celah itu akan terus dimanfaatkan oleh mereka yang lihai bermain sembunyi-sembunyi. Karena itulah pesan terakhir Pemkot terdengar getir sekaligus menohok; pemimpin sejati Surabaya bukan hanya wali kota, melainkan masyarakatnya sendiri.

Akhirnya, semua kembali pada pertanyaan mendasar: maukah kita menjaga rumah bernama Surabaya ini bersama-sama?

Karena jika kita memilih diam, jangan kaget bila suatu hari rumah ini benar-benar ambruk. Bukan karena badai dari luar, melainkan karena rayap dari dalam yang dibiarkan tumbuh dengan tenang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Surabaya Selengkapnya
Lihat Surabaya Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun