Otonomi Khusus (Otsus) Papua bukanlah hadiah, melainkan konsekuensi politik dan moral negara untuk memperbaiki ketidakadilan sejarah yang menimpa Orang Asli Papua (OAP). Dua dekade berjalan, pertanyaan besar muncul: sudahkah Otsus benar-benar menyejahterakan OAP? Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otsus Papua (BP3OKP) hadir dengan mandat baru: memastikan janji keadilan itu terwujud, bukan hanya menjadi retorika pembangunan.
Otsus dan Harapan yang Tergadai
Sejak 2001, Dana Otsus mengalir deras ke Tanah Papua. Namun, wajah Papua masih dipenuhi paradoks: kaya sumber daya, tetapi rakyatnya miskin; dana melimpah, tapi layanan dasar terbatas. Angka putus sekolah masih tinggi, fasilitas kesehatan minim, dan pengangguran OAP tetap menjadi masalah serius.
Di banyak kampung, Otsus tidak lebih dari cerita di televisi atau papan reklame pemerintah. Sementara di tingkat elit, dana itu sering menjadi rebutan. Inilah jurang besar yang perlu dijembatani.
Mandat Moral BP3OKP
BP3OKP dibentuk bukan sekadar menjalankan fungsi teknokratis, tetapi juga membawa mandat moral: mengawal hak-hak dasar OAP. Transparansi anggaran hanyalah pintu masuk, tujuan utamanya adalah menghadirkan keadilan sosial.
Tiga hal mendasar yang harus dijaga BP3OKP adalah:
1. Hak atas Pendidikan → setiap anak Papua berhak atas sekolah yang layak, guru yang hadir, dan fasilitas yang memadai.
2. Hak atas Kesehatan → OAP tidak boleh lagi mati sia-sia hanya karena puskesmas kosong atau obat tidak tersedia.
3. Hak atas Ekonomi dan Tanah → program Otsus mesti membuka peluang usaha bagi OAP, bukan hanya untuk kontraktor atau pengusaha dari luar.
Rendahnya Serapan, Rendahnya Keadilan
Rendahnya serapan Dana Otsus dan tingginya SILPA bukan sekadar masalah teknis birokrasi, melainkan bentuk kegagalan menghadirkan keadilan. Bagaimana mungkin rakyat menderita kekurangan, sementara uang justru dibiarkan tidur di kas daerah?
BP3OKP harus menyadari bahwa setiap rupiah yang tidak digunakan adalah hak OAP yang terabaikan. SILPA bukan hanya angka di laporan keuangan, tetapi wajah anak yang tidak bisa sekolah, ibu yang tidak mendapat pelayanan kesehatan, dan petani yang gagal mendapatkan akses pasar.
Mengembalikan Otsus ke Rakyat Papua
Otsus tidak boleh lagi dikelola dengan paradigma birokrasi semata. BP3OKP perlu mendorong agar program Otsus dirancang dari bawah ke atas (bottom-up), dengan melibatkan masyarakat adat, gereja, pemuda, dan perempuan Papua. Tanpa partisipasi ini, Otsus hanya akan melahirkan program yang indah di atas kertas, tapi hampa di lapangan.
Lebih jauh, keberhasilan BP3OKP tidak hanya diukur dari laporan serapan anggaran, melainkan dari sejauh mana OAP merasakan kehadiran negara di tanahnya sendiri.
Penutup
Otsus Papua adalah janji. Janji bahwa negara hadir untuk memperbaiki ketidakadilan sejarah, janji bahwa setiap OAP berhak meraih kesejahteraan di tanah leluhurnya. BP3OKP adalah pengawal janji itu.
Namun, janji hanya tinggal janji jika tidak diwujudkan. Oleh karena itu, BP3OKP harus berani bersikap: berpihak pada rakyat kecil, mengawasi dengan ketat, dan mendorong pemerintah daerah agar serius membelanjakan Dana Otsus.
Sejarah akan mencatat: apakah BP3OKP berhasil menjadi wajah baru keadilan untuk OAP, atau sekadar nama baru dalam daftar panjang birokrasi yang gagal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI