CSV (Creating Shared Value): strategi bisnis yang menciptakan nilai ekonomi sekaligus sosial.
SDGs (Sustainable Development Goals): agenda pembangunan global 2030.
Di masa lalu, ESG, CSV, dan SDGs lebih banyak dipakai sebagai jargon. Perusahaan tambang bisa menulis laporan tentang "penghijauan" meskipun di sisi lain hutan adat hilang. Perkebunan bisa memajang program pendidikan meski masyarakat adat kehilangan tanahnya.
Namun dalam logika pasar modal baru, ESG, CSV, dan SDGs tidak lagi bisa menjadi hiasan. Mereka kini adalah fondasi penilaian. Investor global menuntut data konkret: berapa jejak karbon dikurangi, berapa tenaga kerja lokal terserap, bagaimana kontribusi pada tujuan SDGs.
Papua menjadi panggung uji paling nyata: apakah perusahaan yang beroperasi di sana sungguh mengintegrasikan keberlanjutan, atau hanya melanjutkan pola lama dengan kemasan baru?
Logika Lama: Profit di Atas Segalanya
Logika lama pasar modal sederhana: siapa yang memberi keuntungan terbesar dalam waktu tercepat, dialah pemenangnya. Risiko sosial dan kerusakan lingkungan jarang masuk hitungan.
Di Papua, logika ini terlihat gamblang. Tambang emas dan tembaga terbesar dunia beroperasi di tanah Papua, menghasilkan devisa besar bagi Indonesia. Tetapi fakta lain berbicara: tingkat kemiskinan Papua masih di atas rata-rata nasional. Infrastruktur pendidikan dan kesehatan jauh tertinggal. Konflik sosial bahkan sering dipicu oleh ketidakadilan pengelolaan sumber daya.
Logika lama inilah yang kini dipertanyakan.
Logika Baru: Profit + Purpose
Pasar modal masa depan tidak hanya mengejar profit, tetapi juga purpose. Uang harus bekerja bukan hanya untuk menambah kekayaan pemilik modal, tetapi juga untuk menciptakan nilai sosial dan menjaga kelestarian lingkungan.