Saya mengembangkan pandangan data wawancara dengan media Gerakan pada tahun 2016, tentang SDM Papua, keadilan ekonomi, masa depan yang inklusif. Harapan dan pandangan saya dalam hisl wawancara dapat saya olah dalam bentuk opini agar menjadi sumbangsi pikiran untuk pembangunan Papua kedepan.
Papua dan Pertanyaan Tentang Keadilan
Papua adalah tanah yang kaya. Di perut buminya tersimpan emas, tembaga, minyak, gas, hutan, dan sumber daya alam lainnya. Lautnya penuh ikan, dan gunung-gunungnya menjulang dengan potensi pariwisata yang tak kalah indah dibandingkan daerah mana pun di Indonesia. Tetapi, ada satu pertanyaan yang tidak pernah hilang dari benak masyarakat Papua: mengapa kami masih tertinggal?
Pertanyaan ini bukan sekadar keluhan, melainkan refleksi dari realitas sehari-hari. Jalan dan jembatan memang sudah mulai dibangun. Bandara dan pelabuhan juga berdiri. Namun, apakah semua itu otomatis membuat orang Papua hidup lebih sejahtera? Jawabannya: belum tentu.
Bagi saya, pembangunan yang hanya diukur dari beton, aspal, dan gedung-gedung tinggi tidak cukup. Yang paling mendesak adalah pembangunan manusia Papua itu sendiri. Karena tanpa manusia yang siap bersaing, semua infrastruktur hanya akan dinikmati oleh orang lain.
Mengapa SDM Papua Tertinggal?
Mari kita jujur. Papua tidak kekurangan anak muda yang cerdas. Banyak anak Papua kuliah di dalam negeri, bahkan sampai ke luar negeri. Banyak yang meraih prestasi di bidang olahraga, seni, sains, dan teknologi. Namun, mengapa ketika mereka pulang, mereka masih sulit mendapatkan pekerjaan?
Jawaban ini sederhana tetapi menyakitkan: akses terhadap kesempatan kerja masih timpang. Di kantor pemerintahan, perusahaan, bahkan proyek-proyek besar yang seharusnya untuk kesejahteraan Papua, pekerjanya justru didominasi orang dari luar.
Kondisi ini menimbulkan rasa kecewa dan bahkan iri. Masyarakat bertanya, "Apakah kami tidak mampu? Apakah tanah ini hanya untuk orang lain?"
 "Papua tidak butuh belas kasihan. Papua butuh kesempatan yang sama."
Pendidikan yang Relevan dan Terkoneksi dengan Dunia Kerja
Salah satu penyebab utama mengapa SDM Papua tertinggal adalah karena pendidikan belum terkoneksi dengan dunia kerja. Banyak lulusan sekolah atau universitas yang hanya menguasai teori, tetapi tidak dibekali keterampilan praktis yang dibutuhkan industri.
Menurut saya, ini harus segera diubah. Ada empat langkah realistis yang bisa dilakukan:
- Pendidikan vokasi yang relevan. Kurikulum sekolah dan perguruan tinggi di Papua harus disesuaikan dengan kebutuhan nyata: pertambangan, energi, kesehatan, teknologi, pertanian modern, dan pariwisata.
- Pelatihan kerja terstruktur. Pemerintah harus menyiapkan program pelatihan singkat yang fokus pada skill spesifik. Misalnya: operator alat berat, teknisi listrik, tenaga medis, atau manajemen proyek.
- Program afirmasi penempatan kerja. Perusahaan yang beroperasi di Papua, terutama tambang dan BUMN, wajib mempekerjakan anak-anak Papua. Bukan sekadar formalitas, tetapi prioritas nyata.
- Link-and-match pendidikan--industri. Dunia pendidikan harus terhubung dengan dunia kerja. Mahasiswa Papua harus punya jalur jelas: setelah lulus, langsung bekerja sesuai bidangnya.
Dengan cara ini, lulusan Papua tidak lagi menjadi penonton, tetapi pemain utama dalam pembangunan.
"Anak Papua tidak kekurangan semangat untuk belajar, tetapi mereka sering kekurangan akses untuk membuktikan kemampuan."
NKRI Harus Hadir dengan Keadilan
Dalam wawancara saya di majalah Gerakan beberapa tahun lalu, saya pernah mengatakan:
"Konsep NKRI yang benar adalah mensyaratkan dan memberi keadilan kepada setiap warga negara."
Kalimat ini saya ulang kembali karena relevansinya masih sangat kuat hingga hari ini. NKRI tidak boleh hanya dipahami sebagai kesatuan wilayah, tetapi juga sebagai kesatuan kesempatan dan keadilan.
Selama orang Papua masih merasa menjadi penonton, maka rasa keindonesiaan itu tidak akan tumbuh sempurna. NKRI harus membuktikan diri dengan keadilan ekonomi.
"NKRI sejati bukan hanya soal wilayah, tetapi soal menghadirkan keadilan di setiap jengkal tanahnya."
Empat Pilar Pembangunan Papua yang Inklusif
Menurut saya, ada empat hal mendasar yang harus dibenahi agar pembangunan Papua tidak hanya simbolik, tetapi benar-benar berpihak:
- Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah: Papua adalah salah satu daerah paling kaya SDA di Indonesia. Tetapi berapa persen hasil itu kembali ke rakyat Papua? Selama ini, transfer ke daerah sering tidak sebanding dengan yang diambil dari tanah Papua. Perimbangan fiskal harus lebih adil.
- Transparansi Pengelolaan SDA: Rakyat Papua sering tidak tahu ke mana hasil tambang, minyak, dan kayu mengalir. Transparansi mutlak diperlukan. Tanpa itu, kepercayaan publik akan terus melemah.
- Perlindungan HAM: Papua sudah terlalu sering menjadi panggung konflik. Pembangunan sejati tidak bisa dibangun di atas luka. HAM harus menjadi fondasi, bukan hambatan pembangunan.
- Infrastruktur Berbasis Kearifan Lokal: Papua tidak bisa dibangun dengan pola copy-paste dari Jawa atau Sumatra. Budaya, alam, dan cara hidup masyarakat Papua harus menjadi dasar perencanaan. Jalan, jembatan, rumah sakit, dan sekolah harus sesuai konteks lokal.
"Membangun Papua tidak cukup dengan beton dan aspal. Yang harus dibangun adalah manusianya."
Papua Bukan Objek, tetapi Subjek Pembangunan
Selama ini, Papua sering diposisikan sebagai objek pembangunan: daerah yang "kasihan", lalu dibanjiri proyek-proyek. Padahal, Papua harus menjadi subjek pembangunan: pelaku utama, bukan penonton.
Orang Papua harus diberi ruang untuk memimpin proyek, menjadi tenaga profesional, mengelola sumber daya alam, dan menentukan arah pembangunan. Jika hal ini tidak dilakukan, maka pembangunan hanya akan menjadi "panggung" untuk orang luar, bukan rumah untuk orang Papua.
"Papua bukan tanah kosong yang siap dijajah dengan proyek. Papua adalah rumah bagi manusia yang harus diberdayakan."
Refleksi: Ujian Moral Bangsa
Pembangunan Papua adalah ujian moral bagi Indonesia. Apakah negara ini benar-benar peduli pada rakyatnya di timur, ataukah hanya sibuk membangun mercusuar di Jawa?
Jika Papua dibiarkan tertinggal, maka klaim "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" hanya akan menjadi slogan kosong. Tetapi jika Papua diberi kesempatan yang sama, maka NKRI akan menjadi rumah bersama yang benar-benar adil.
"Selama Papua masih tertinggal, Indonesia tidak akan pernah benar-benar maju."
Harapan dari Tanah Papua
Saya menulis opini ini bukan untuk mengeluh, tetapi untuk mengingatkan. Bahwa Papua tidak butuh belas kasihan. Papua butuh kesempatan yang sama.
Saya percaya, anak-anak Papua akan membuktikan dirinya mampu jika diberi ruang. Mereka akan menjadi tenaga profesional, pemimpin, pengusaha, bahkan pengambil kebijakan. Mereka akan berdiri sejajar dengan saudara-saudaranya di seluruh Indonesia.
Yang dibutuhkan hanya satu: keadilan.
Dan ketika keadilan itu hadir, Papua tidak lagi dipandang sebagai "beban negara", tetapi sebagai salah satu tiang utama yang menyangga NKRI dari Sabang sampai Merauke.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI