Mohon tunggu...
Hans Christian
Hans Christian Mohon Tunggu... Psikiater; Dosen Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Seorang dosen, Seorang Psikiater, Seorang

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Self-Diagnosis = Menipu diri?

4 Maret 2025   16:00 Diperbarui: 4 Maret 2025   15:26 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Self-diagnosis (Sumber: Freepik)

"Aku ngalamin ADHD, loh!"

Dalam beberapa tahun terakhir, informasi mengenai kesehatan mental mengalami peningkatan yang luar biasa. Tidak hanya lewat artikel ilmiah, tetapi juga melalui video singkat di media sosial, banyak orang membahas dan mengedukasi tentang berbagai gejala gangguan mental. Di satu sisi, ini meningkatkan literasi masyarakat terhadap kesehatan mental. Namun, di sisi lain, fenomena ini juga membawa dampak yang tak terhindarkan: self-diagnosis.

Fenomena Self-Diagnosis: Antara Kesadaran dan Kekeliruan
Seiring dengan meningkatnya paparan informasi tentang kesehatan mental, semakin banyak orang yang mulai bertanya-tanya: Apakah saya mengalami gangguan mental? Sayangnya, pertanyaan ini tidak selalu berujung pada pencarian bantuan profesional. Sebaliknya, banyak individu menjadikan self-diagnosis sebagai justifikasi bagi perilaku atau kondisi mereka.

Seorang remaja mungkin berkata kepada orang tuanya, "Aku nggak bisa fokus belajar, ini pasti ADHD." Seorang suami mungkin berkilah, "Aku selingkuh karena trauma masa kecil." Pernyataan-pernyataan semacam ini mencerminkan bagaimana pengetahuan yang setengah matang dapat menjadi pisau bermata dua—di satu sisi meningkatkan kesadaran, di sisi lain justru memperluas interpretasi kesehatan mental tanpa batasan yang jelas.

Namun, sebelum kita terlalu jauh dalam kritik, kita perlu mendefinisikan: apa sebenarnya self-diagnosis? Secara sederhana, self-diagnosis adalah proses di mana individu menafsirkan gejala yang mereka alami berdasarkan informasi yang mereka dapatkan—baik dari teman, media sosial, atau sumber lainnya. Contohnya, seseorang yang sering mengalami kesulitan tidur bisa langsung menyimpulkan bahwa dirinya mengalami insomnia setelah menonton video TikTok yang membahas gejala gangguan tidur. Tetapi mengapa seseorang begitu yakin terhadap self-diagnosis mereka?

Manusia Itu Rasional… atau Tidak?
Bayangkan seseorang yang baru saja mengalami serangan jantung ringan dan mencari tahu gejalanya di internet. Saat ia membaca bahwa nyeri dada bisa menjadi tanda serangan jantung, ia panik, yakin bahwa dirinya mengalami kondisi yang mengancam nyawa, meskipun faktanya bisa jadi itu hanya akibat kelelahan atau gangguan lambung.

Fenomena ini dapat dijelaskan melalui penelitian Daniel Kahneman dan Amos Tversky tentang cara manusia berpikir. Dalam temuan mereka, manusia tidak selalu menggunakan logika yang rasional dalam mengambil keputusan. Sebaliknya, kita sering menggunakan heuristic—jalan pintas kognitif yang membantu kita mengambil keputusan dengan cepat, tetapi tidak selalu akurat. Salah satu jenis heuristic yang relevan dalam fenomena self-diagnosis adalah availability heuristic. Prinsipnya sederhana: manusia cenderung menilai kemungkinan suatu kejadian berdasarkan seberapa mudah mereka mengingat contoh kejadian tersebut.

Daniel Kahneman & Amos Tversky (Sumber: The Guardian)
Daniel Kahneman & Amos Tversky (Sumber: The Guardian)
Contohnya, mengapa banyak orang takut naik pesawat, tetapi tidak terlalu khawatir saat mengendarai motor di jalan raya? Karena kecelakaan pesawat lebih sering menjadi berita besar di media, sehingga lebih mudah diingat, sementara kecelakaan motor (yang justru lebih banyak menyebabkan kematian) tidak mendapat perhatian sebesar itu. Hal yang sama terjadi dalam self-diagnosis. Ketika seseorang terus-menerus terpapar konten kesehatan mental, mereka akan lebih mudah mengasosiasikan pengalaman pribadi mereka dengan gangguan tertentu, meskipun tidak ada diagnosis resmi dari tenaga profesional.


Self-Diagnosis & Bias Informasi di Media Sosial
Jika kita menerapkan pemikiran Kahneman dan Tversky pada fenomena ini, kita bisa memahami bagaimana media sosial membentuk cara kita memahami kesehatan mental. Saat seseorang berulang kali melihat video atau postingan tentang ADHD, depresi, atau gangguan kecemasan, mereka mulai merasa bahwa gejala-gejala tersebut juga ada dalam diri mereka. Namun, ada masalah besar: informasi yang beredar sering kali bersifat parsial dan simplistis.

Misalnya, sulit tidur memang bisa menjadi gejala insomnia, tetapi itu juga bisa disebabkan oleh banyak hal lain—seperti konsumsi kafein berlebih, stres sementara, atau pola tidur yang tidak teratur. Namun, karena seseorang lebih sering melihat konten tentang insomnia daripada tentang efek samping kafein, mereka akan lebih cenderung mengasosiasikan diri mereka dengan insomnia daripada mencari penyebab lain yang lebih masuk akal. Lebih parah lagi, setelah seseorang mengidentifikasi dirinya dengan suatu gangguan, mereka bisa mulai menggunakan label tersebut untuk membentuk identitas mereka. Bukan lagi "Aku sedang sedih," tetapi menjadi "Aku penderita depresi."

Kesimpulan
Fenomena self-diagnosis memang tidak bisa dihindari. Meningkatnya informasi tentang kesehatan mental membawa manfaat besar dalam meningkatkan kesadaran, tetapi juga membuka pintu bagi interpretasi yang keliru.

Oleh karena itu, ada dua hal yang perlu dilakukan:

1. Edukasi yang lebih komprehensif. Informasi yang beredar di media sosial harus diimbangi dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang diagnosis yang akurat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun