Mohon tunggu...
JBS_surbakti
JBS_surbakti Mohon Tunggu... Akuntan - Penulis Ecek-Ecek dan Penikmat Hidup

Menulis Adalah Sebuah Esensi Dan Level Tertinggi Dari Sebuah Kompetensi - Untuk Segala Sesuatu Ada Masanya, Untuk Apapun Di Bawah Langit Ada Waktunya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Emansipasi Kaum Wanita, Kegagalan Kaum Pria?

5 April 2021   16:40 Diperbarui: 6 April 2021   12:29 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Soekarno mengeluarkan surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tertanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini. Peringatan Hari Kartini dengan sosok sentral Raden Adjeng Kartini dikenal sebagai pahlawan dan sosok utama wanita di Indonesia sebagai tokoh yang berjuang mewujudkan emansipasi wanita. Kartini berjuang membela hak-hak kaum perempuan untuk memperoleh kebebasan, persamaan hukum, dan pendidikan yang layak.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), emansipasi adalah pembebasan dari perbudakan, persamaan hak dalam berbagai kehidupan masyarakat (seperti persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria). Dengan sederhana emansipasi wanita adalah sebuah gerakan yang menuntut persamaan hak dan kewajiban antara kaum adam dan kaum hawa.

Sejarah Panjang Pria dan Wanita : Berbeda Namun Bukan Untuk “Dibeda-Bedakan”

Peringatan Hari Kartini setiap tahunnya di pelbagai tempat dirayakan dalam berbagai aksi dan kreasi. Dari mulai karnaval budaya, kompetisi masak-memasak, kompetisi pakaian adat dan yang paling umum adalah para wanita kantoran menghias wajah ala-ala Kartini modern dengan menggunakan pakaian kebaya tradsional. Kesemua itu dilakukan untuk membangkitkan spirit akan perjuangan Kartini yang dulu adalah hanya sebagai Ibu Rumah Tangga atau kaum wanita yang identik sebagai penghias keluarga saja berubah menjadi wanita yang tangguh dan juga adalah sebagai pekerja yang sama adanya dengan kaum pria.

Semangat Kartini modern adalah bagaimana seharusnya di masyarakat bahkan di bidang pemerintahan khususnya dapat mengakomodir hak perempuan serta memberikan persamaan derajat hak dan kewajiban yang sama dengan kaum pria. Tidak adanya pemisah antara peran yang membedakan karena masalah gender semata. Yang memang baik dari segi budaya maupun agama suka atau tidak suka keberadaan kaum perempuan masih dianggap lebih lemah dan kastanya masih dibawah kaum pria. Pada umumnya adat istiadat juga masih memiliki Konsep Patrilineal yaitu suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah (kaum pria) semakin memberikan tempat bahwa marga atau keturunan itu adalah berasal dari kaum pria bukan dari wanita.

Keberadaan anak laki-laki adalah suatu hal yang sejatinya adalah sebagai pewaris dari keturunan ayah (laki-laki) yang dianggap menjadi kesempurnaan dari sebuah keluarga. Sebuah pandangan atau konsep bukan hanya di Indonesia juga di dunia yang terkadang membuat posisi kaum wanita sepertinya masih dianggap warga kelas dua. Mungkin salah satu faktor ini pula yang mendorong emansipasi dan isu gender semakin menggema untuk tidak membedakan antara pria dan wanita. Pria dan wanita adalah sejatinya manusia yang secara fisik berbeda secara biologi satu sama lain (perbedaan jenis kelamin), namun bukan untuk dibeda-bedakan dalam peran sosialnya.

Perbedaan antara pria dan wanita bukan menjadi penghalang bila dalam praktik sosial dan hukum. Selayaknya laki-laki, kaum wanita juga adalah memiliki kesempatan yang sama dalam menjalankan perannya. Yang menjadi benang merah adalah persamaan antara hak dan kewajiban. Bukan hanya fokus pada hak tapi juga wanita wajib pula dituntut mampu melaksanakan kewajiban layaknya kaum pria. Bila hal ini bisa dilaksanakan maka antara pria dan wanita adalah masing-masing sebagai pribadi yang sama dan tidak perlu dibeda-bedakan. Perdebatan banyak terjadi jika menilik persoalan “hak” dan “kewajiban” antara kaum pria dan kaum wanita.

Di banyak kasus dan di tahap “blind spot” masing-masing punya argumentasi yang berbeda-beda terhadap fenomena antara kaum pria dan wanita seperti kaum pria di pedesaan banyak yang duduk manis di kedai sedangkan kaum wanita diluar sebagai sebagai Ibu juga menggendong anaknya untuk pergi mencangkul sawah/ladang, di perkotaan kaum pria sibuk bekerja sedangkan isteri yang tidak bekerja asyik pergi memanjakan diri menghabiskan banyak uang ke salon untuk perawatan diri, atau seorang ayah menjadi penjaga anak di rumah sedangkan isterinya bekerja (tulang punggung), dan dimensi yang lain konflik terjadi di kala suami dan isteri bekerja namun si wanita lebih tinggi jabatan dan penghasilan dibandingkan dengan sang suami, dan banyak kasus lainnya. Yang kesemuanya itu adalah terkait posisi apakah antara pria dan wanita menjalankan hak dan kewajibannya.

Pada banyak sejarah bahkan tercatat pada kitab suci di banyak agama, keberadaan antara pria dan wanita memang masih dilihat dari sisi jenis kelamin atau fisik biologis. Pria digambarkan sebagai sebagai “dewa” atau Raja yang identik dengan otoritas, tulang punggung, kekar, kuat, tahan banting dalam setiap kondisi untuk menghidupi seluruh kebutuhan anggota keluarga. Sedangkan seorang wanita adalah makhluk yang identik dengan keindahan dan kelembutan. Sifatnya yang keibuan seolah menjadikan wanita sebagai tempat bersandar paling menenangkan. Tapi, karena hal itulah wanita seringkali di tempatkan di posisi kedua setelah pria atau posisi di bawah pria yang cuman menguasai urusan sumur, kasur dan dapur.

Memang pada zamannya, pandangan seperti ini akan masuk akal sekali mengingat kondisi dahulu kala menurut saya begitulah adanya. Mengapa? Tidak perlu terlalu jauh berfantasi dengan perubahan zaman yang hampir kurang lebih selama ratusan tahun adalah zaman yang selalu dibumbui dengan perang atau konflik dimana kekuatan fisik atau otot yang menjadi penentu untuk superioritas dan inferioritas terhadap sebuah kaum. Dan tercatat mungkin hampir semua pemimpin kala itu adalah dimainkan perannya oleh kaum pria. Pemimpin yang ahli dalam bertempur, bertarung dan menggunakan senjata serta cepat dan akurat dalam mengambil keputusan. Perbedaan yang sangat mencolok bila dengan kaum wanita yang lemah yang sering menggunakan hati atau perasaan. Bagaimana bisa hati dan perasaan kita pakai untuk membunuh musuh yang brutal di medan perang? Tentunya sulit untuk dibayangkan apa yang terjadi, yang pasti akan diberangus dan mati.

Perang atau konflik sejak dahulu kala menempatkan Sang Ratu atau wanita sebagai garda kedua, bahkan pada banyak sejarah justru yang juga adalah bahagian terjadinya konflik atau perang itu sendiri. Perebutan Sang Ratu atau permaisuri tidak sedikit menjadi catatan buruk sejarah yang menimbulkan peperangan. Sebut saja diantaranya adalah Cleopatra (Mesir), Guinevere (Inggris), dan Ken Dedes (Singasari) serta banyak lainnya. Perang yang dilakoni oleh kaum pria yang tidak masuk akal yang hanya justru karena untuk memperebutkan kaum kelas dua yaitu seorang wanita. Tidak masuk akal dari pemikiran dan prilaku yang menganggap sebagai kaum kelas satu. Hmm? Konyol? Bahkan diyakini terkadang peristiwa ini pun sepertinya masih terjadi di zaman “Now”. Sehingga istilah harta, tahta dan wanita yang realita itu akan semakin panjang dan cukup menghiasi sejarah panjang peradaban dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun