Mohon tunggu...
JBS_surbakti
JBS_surbakti Mohon Tunggu... Akuntan - Penulis Ecek-Ecek dan Penikmat Hidup

Menulis Adalah Sebuah Esensi Dan Level Tertinggi Dari Sebuah Kompetensi - Untuk Segala Sesuatu Ada Masanya, Untuk Apapun Di Bawah Langit Ada Waktunya.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Tanahku Sayang, Tanahku Malang

23 Maret 2021   22:08 Diperbarui: 5 November 2021   19:38 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Benarkah demikian? Inikah pemicu mengapa orang tua mengupayakan agar setiap anaknya masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi? Dan benarkah faktor ini menjadi penghambat jiwa kewirausahaan rendah di negeri ini?

Mari kita tinggalkan data diatas dan mencoba menelusuri kisah saya dari pengalaman di lapangan. Pengalaman saya saat menemui beberapa petani atau pekebun ataupun juga para wirausahawan lainnya di beberapa daerah mendapatkan bahwa hampir sebagian besar kaum rural di pedesaan menyisakan orang-orang tua yang secara usia di kisaran umur lebih dari 50 tahunan keatas. 

Sedangkan para anak muda terkhusus generasi milenial (usia 25-40 tahun) dan generasi z (11-25 tahun) yang sangat produktif bekerja maupun bersekolah di kota-kota besar. Tampaknya daya tarik pendidikan tinggi sebagaimana data yang disajikan diatas menuju pada kebenaran.

Dari beberapa alasan orang tua yang tinggal di desa yang ”kosong” adalah menjadi hal terpenting untuk membekali pendidikan anak sampai gelar sarjana dan mereka mendapatkan pekerjaan atau gaji yang menetap. 

Dan gaji yang menetap itu identik sebagai Pegawai Negeri Sipil sebagai favorit pekerjaan yang diinginkan oleh mereka disamping pula sebagai pekerja formal lainnya di instansi pemerintah/BUMN dan perusahaan swasta bonafid. 

Mengherankan padahal diantaranya adalah para petani yang juga termasuk para “tuan tanah” atau juragan yang memiliki kebun atau ladang yang bukan hitungan meter persegi tetapi hektaran bahkan puluhan dan ratusan. Yang bila dikalkulasi penghasilan dari mengolah kebun maupun ladang bisa puluhan maupun ratusan juta per panennya.

Mari kita hitung secara sederhana saja.

Petani Padi :

Sebagai gambaran dari olahan dari data BPS (tahun 2020) bahwa rata-rata produktivitas padi adalah sebesar 5,12 ton per/ha dengan masa panen sekitar 4 bulan. Misalkan saja harga gabah Rp 5.000,-,/kg maka hasil panen (sebelum biaya produksi) untuk 1 ha sawah adalah sebesar Rp 5.000,- x 5.120 kg = Rp 25.600.000,- per 4 bulan atau disetahunkan kurang lebih Rp 76.800.000,- dengan kisaran biaya produksi 50% maka penghasilan netto akan di kisaran Rp 3.200.000,-/bulan.

Pekebun Jagung :

Rata-rata produktivitas per hektare adalah sebesar 5,07 ton per hektar dengan masa panen selama 3 bulan. Misalkan harga jagung pipil sebesar Rp 3.500,-/kg maka hasil panen per hektare adalah sebesar Rp 3.500,- x 5.070 kg = Rp 17.745.000,- per 3 bulan atau dsetahunkan kurang lebih Rp. 70.980.000,- dengan kisaran biaya produksi sebesar 50% maka penghasilan netto di kisaran Rp 2.957.500,-/bulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun