Mohon tunggu...
Ahmad Jawahir
Ahmad Jawahir Mohon Tunggu... Guru - Penulis Tanggung

Biasa saja sih....

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Genre Tulisan | Berbagi Kelucuan Lewat Artikel Spoof

23 Juni 2020   06:51 Diperbarui: 23 Juni 2020   06:46 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lelah karena beban pekerjaan? Bosan dengan aktivitas monoton? Dan, penat akan rutinitas harian?

Rekan Kompasianer pasti punya tips-and-trick-nya untuk melepas kejenuhan dan kepenatan. Paling tidak dengan membaca artikel-artikel humor sesama Kompasianer membuat tersenyum dan sejenak keluar dari rutinitas.

Syukur kalau punya pengalaman unik menggelikan, mau menuangkannya dalam bentuk tulisan dan menayangkannya di kolom "Humor" Kompasiana yang beyond blogging ini. Berbagi cerita, pengalaman sekaligus hiburan yang tidak hanya positif dalam menyehatkan pikiran tapi juga bisa meningkatkan kompetensi literasi, khususnya kemampuan menulis.

Media alternatif untuk menyalurkan selera humor yang cerdas, salah satunya dengan menulis artikel ber-genre spoof. 

Apa Itu Spoof?

Spoof merupakan varian dari tulisan naratif, lebih tepatnya varian dari jenis recount (cerita ulang). Perbedaanya adalah: dalam recount rangkaian kejadian diakhiri dengan hanya reorientasi yang terasa datar dan bisa ditebak oleh pembacanya sejak di pertengahan cerita. Sementara, dalam spoof, narasi pengalaman diakhiri dengan manuver penulis yang tak disangka dan tak diduga oleh pembacanya sebelumnya.

Boleh baca: Mengenal Genre dalam Tulisan dan Genre Tulisan | Mengenang Masa Lalu melalui Recount

Bagaimana Menarasikan Spoof?

Ada 3 langkah utama dalam menulis spoof. Yaitu: menyampaikan orientasi cerita; menceritakan peristiwa demi peristiwa; dan mengakhiri cerita dengan twist.

Di langkah pertama, orientasi, penulis memperkenalkan siapa tokoh, apa yang terjadi, dimana dan kapan kejadiannya.

Pada tahap kedua, penulis menguraikan secara rinci kejadian yang dialami atau dilakukan tokoh. Kejadian-kejadian diurutkan secara kronologis dan diklaster menurut ruang atau waktu. Sebagai contoh, klasterisasi berdasar waktu: peristiwa pada Tahun 2017, peristiwa pada Tahun 2018 dan peristiwa pada Tahun 2019.  Contoh lain, klasterisasi berdasarkan ruang: masa sebelum keberangkatan, masa selama di perjalanan, masa selama di tempat tujuan dan masa di perjalanan pulang. 

Langkah terakhir tapi yang terpenting adalah twist. Yaitu: akhir cerita yang tidak disangka-sangka sebelumnya (unpredictable).

Baca juga: Pengertian dan Struktur Spoof Text

Ada 3 jenis twist yang umumnya digunakan penulis spoof. Twist bernada humor yang membuat pembaca terhibur. "This twist is funny and makes reader amused." Twist jenis ini disebut juga akhir yang menyenangkan (lighthearted).

Twist bernada ironis sering mengungkap sesuatu tentang sisi gelap sifat manusia. Twist ini sering disebut akhir yang tragis dalam sebuah cerita.

Ada juga twist yang mengungkapkan kesalahan konsepsi. Twist jenis ini mengakhiri cerita secara tak terduga dengan memperlihatkan kesalahan informasi tentang peristiwa yang telah diuraikannya.

Baca juga: Kinds of Twist in Spoof Text Ending

Belajar dari Rekan Kompasianer

Artikel Rekan Kompasianer Felix Tani yang tayang mulai tanggal 14 Juni 2020 pukul  17:48 memberi pelajaran pada kita bagaimana menulis artikel spoof.

Baca artikel Pak Felix yang berjudul: Kapan Pertama Kali Pakai Celana Dalam?

1. Orientasi

Pak Felix menhantarkan ceritanya dengan orientasi yang sangat panjang, 12 paragraf. Tokoh sentral cerita tidak langsung diperkenalkan di paragraf-paragraf awal. Paragraf 1-2 menggambarkan subjek umum, yakni para lelaki yang lahir di pedesaan khususnya luar Jawa antara tahun 1946-1976.

Ini pertanyaan untuk lelaki Generasi Jones (kelahiran 1955-1965) dan Generasi X (kelahiran 1966-1976). (Generasi Baby Boomers, kelahiran 1946-1954, boleh ikutan). Sebagian besar dari generasi ini pasti masih hidup sehat sampai hari ini.  Kalau ada yang sakit-sakitan, itu pasti karena gaya hidup dan pola makan yang jor-joran semasa muda.

Lebih spesifik lagi, pertanyaan ini ditujukan untuk lelaki Generasi Jones dan X yang lahir dan menghabiskan masa kanak-kanak di daerah pedesaan.  Kalau mau lenih spesifik lagi, ya, pedesaan Luar-Jawa.

Di paragraf berikutnya sang tokoh belum muncul juga. Paragraf 3-4 membandingkan lelaki pedesaan dan perkotaan dalam kaitannya dengan kebiasaan (tidak) memakai celana dalam.

Mengapa tidak bertanya kepada lelaki Jones dan X perkotaan?  Karena mereka sejak balita sudah dipakaikan ibunya celana dalam.  Bahkan sering berkeliaran di rumahnya hanya pakai celana dalam.  Jadi pertanyaan itu tak relevan bagi mereka.

Beda dengan lelaki Jones dan X pedesaan, terutama di luar Jawa.  Masa kanak-kanak mereka sebagian besar dihabiskan tanpa celana dalam.  Kok bisa?

Bahkan jika dibaca paragraf 5-8, siapa tokoh cerita belum jelas juga. Di keempat paragraf ini, Pak Felik masih bercerita latar: alasan mengapa orang dewasa sekalipun tidak mengenakan celana dalam; model celana yang umum dikenakan orang dewasa; dan bagaimana perasaan orang-orang lelaki pada umumnya dengan tidak mengenakan celana dalam.

Penjelasannya simpel. Teknologi celana dalam masih langka tahun 1950-an sampai 1960-an di pedesaan.  Karena itu pakai celana rangkap, luar dan dalam, jauh dari imajinasi anak kecil masa itu.

Bahkan lelaki dewasa di masa itu sebenarnya tidak pakai celana dalam seperti dikenal sekarang.  Mereka pakai celana kolor katun atau belacu yang dijahit sendiri atau beli di pasar mingguan. Bentuknya komprang, mungkin itu generasi pertama "boxer" yang populer di kalangan Generasi Y dan Z sekarang.

Kembali ke soal celana dalam yang alpa dari panggul anak lelaki Jones dan X. Lalu bagaimana jadinya? Ya, langsung pakai celana pendek luaran.  Dari bahan katun, tetoron, atau kain kepar.  

Apakah tidak risih? Ya, tidak. Kan waktu itu anak-anak belum punya aspirasi "pakai celana dalam." Pakai celana, ya, seperti itu, langsung celana luar.

Tokoh cerita baru muncul di paragraf ke 9 dengan nama lokal, lengkap dengan karakteristik, kebiasaan dan keadaan sekitarnya.

Poltak adalah anak generasi X pedesaan Tanah Batak yang kenyang dengan masa kanak-kanak tanpa celana dalam. Ke sekolah, gereja, pasar, sawah,  padang penggembalaan, ke mana saja, semuanya dilakoni tanpa celana dalam. Semua anak kecil di desanya seperti itu.

Poltak tergolong beruntung. Punya empat potong celana pendek. Ada temannya yang cuma punya dua.  Kalau celananya basah semua, kadang dia berkeliaran di sekitar rumah sambil pamer burung.

Minus celana dalam itu praktis. Kalau mau kencing tinggal angkat salah satu pipa celana, kiri atau kanan mana suka, lalu "syurrr." Setelah itu lepas saja, barang akan kembali dengan sendirinya ke posisi semula.  Begitu gaya kencing anak desa tahun 1960-an.  

Oh, ya, waktu itu teknologi retsluiting juga belum populer.  Karena itu celana masih pakai kancing.  Bagi anak kecil, buka kancing celana itu tidak praktis. Repot.  Belum lagi kalau lupa mengancingkannta kembali.  Bakalan kena "pasal pornografi."

2. Peristiwa

Pak Felix menarasikan peristiwa ceritanya dengan lebih sedikit paragraf, hanya setengahnya dibanding orientasi. Di paragraf 13-18, diceritakan pengalaman sang tokoh yang mulai memakai celana dalam, lengkap dengan alasan-alasan yang melatarbelakanginya.

Kembali ke judul, kapan pertama kali pakai celana dalam?  Tiap anak Generasi Jones dan X tentu punya jawaban sendiri-sendiri.  Poltak juga punya jawaban sendiri. Mau tahu?

Nah, menurut pengakuannya, Poltak itu untuk pertama kalinya pakai celana dalam tahun 1973. Kok bisa?  Karena tahun itu dia masuk SMP Seminari di kota Pematang Siantar.  

Tentang Siantar ini, dia memang kota yang memperkenalkan celana dalam kepada anak-anak laki remaja di kampung Poltak. Mereka sekolah SMA ke sana, lalu saat pulang liburan pamer celana dalam di pancuran desa. Wow, keren.

Kembali pada Poltak. Kata ibunya, "Poltak, kau sekarang sekolah calon pastor.  Karena itu mulai sekarang kau harus pakai celana dalam. Malulah kalau calon pastor tidak pakai celana dalam."

Poltak manggut-manggut saja.  Padahal siapa pula yang perduli, atau mau tahu, dia pakai celana dalam atau tidak.  Dia patuh saja. 

Sejak itu, mulai hari pertama di Seminari, dia selalu tertib mengekang perabotnya di balik celana dalam yang ketat.  Tidak bebas lagi berkeliaran ke kiri dan ke kanan.  Yah, nasib calon pastor.

3. Twist

Di bagian ini, Pak Felix bermanuver, melacarkan gerakan yang tak terduga, menyuguhkan kejutan bagi pembacanya.

Pembaca pasti tahu bahwa artikel yang ditulis Pak Felix adalah tulisan humor, makanya siap untuk tersenyum, bahkan mungkin sudah mempersiapkan energi untuk tertawa terbahak-bahak. 

Namun kejutan apa yang akan diberikan, tak seorang pun pembaca bisa menduganya.

Tapi ngomong-ngomong, ada apa sih kok ujug-ujug ngomongin celana dalam? Ada tiga alasan untuk bicara topik yang tak penting ini.

Pertama, alasan seadanya, ini hari Minggu, maka sebaiknya  bicara hal-hal yang ringan saja.

Kedua, alasan apa adanya, sekadar nostalgia masa kanak-kanak yang jenaka menggelikan.

Ketiga, alasan mengada-ada, sekarang banyak orang yang pakai celana dalam aja belum genah sudah teriak-teriak "Makzulkan Presiden Jokowi!"

Paragraf terakhir merupakan klimaksnya, twistnya, yang bisa ditafsirkan berbeda, tergantung oleh siapa pembacanya. Dari hasil tafsirnya, seorang pembaca bisa merasa tergelitik dan mengakhiri bacaannya dengan senang hati, tersenyum puas. Sementara, pembaca lain mungkin merasa tersinggung dan menganggapnya akhir yang tragis ditandai dengan senyuman kecut.

Semoga bermanfaat.

Cirebon, 23 Juni 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun