Mohon tunggu...
Jausyan Kabir
Jausyan Kabir Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan Masyarakat

Umur sudah kepala 4, rambut sudah memutih, dan berusaha selalu ingat kematian

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perppu Perampasan Aset: Antara Janji Keadilan dan Realita yang Tertunda

22 Mei 2025   17:38 Diperbarui: 22 Mei 2025   17:38 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketika Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, dengan tegas menyatakan bahwa pemerintah belum akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Perampasan Aset, seketika itu pula gelombang perasaan beragam mengalir di benak masyarakat. Ada yang lega, ada yang kecewa, dan tak sedikit pula yang bertanya-tanya: mengapa harus menunggu 'kegentingan yang memaksa' untuk hal yang nyaris setiap hari menjadi momok bagi bangsa ini?

Bayangkan seorang ibu sederhana yang kehilangan tanah warisan karena aset hasil korupsi disembunyikan dan tidak bisa disita. Ia hanya bisa pasrah menyaksikan keadilan yang tertunda, sementara harta negara terus menguap. Inilah wajah lain dari korupsi---racun yang meracuni tubuh bangsa, meninggalkan luka yang menganga di hati rakyat.

Pernyataan Yusril itu memang jelas---Perppu bukan sekadar alat regulasi yang bisa dikeluarkan seenaknya. Ia harus dilahirkan dari situasi yang benar-benar mendesak, keadaan yang tak bisa ditunda lagi. Prinsip itu sesuai dengan konstitusi, menjaga agar negara tidak terburu-buru mengubah aturan hukum secara sepihak. Dari sisi legal formal, ini adalah sikap yang bijak, penuh kehati-hatian.

Namun, bagaimana jika kita menengok ke wajah lain dari pemberantasan korupsi di Indonesia? Fakta di lapangan sering kali jauh dari kata efektif. Menurut laporan Transparency International Indonesia, kerugian negara akibat korupsi mencapai triliunan rupiah setiap tahunnya, dengan sebagian besar aset korupsi sulit disita dan dikembalikan ke negara. Harapan masyarakat akan kepastian hukum dan keadilan sering terkikis oleh proses hukum yang berliku dan bertele-tele. Dalam kondisi seperti ini, "kegentingan yang memaksa" bagi sebagian besar rakyat sudah terasa begitu nyata dan mendesak.

Di satu sisi, pemerintah meyakini undang-undang yang ada dan lembaga penegak hukum telah bekerja optimal. KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian dianggap sebagai benteng utama yang menjaga keadilan dan memberantas korupsi. Namun, kritik tajam datang dari berbagai sudut: aktivis anti-korupsi, akademisi, hingga kelompok masyarakat sipil. Mereka menilai bahwa tanpa regulasi khusus yang kuat seperti Perppu Perampasan Aset, upaya itu kerap terhambat oleh celah hukum dan praktik korupsi yang semakin canggih.

"Keberanian untuk bertindak tegas adalah ujian dari kesungguhan negara melawan korupsi," kata seorang aktivis anti-korupsi terkenal. Pernyataan ini menggema, mengingat banyak aset korupsi yang masih mengendap tanpa tersentuh hukum.

Pernyataan Yusril juga mencerminkan sikap yang berusaha menjaga keseimbangan. Di tengah desakan publik dan tekanan politik, pemerintah memilih jalur legislasi konvensional. Ia menyerahkan keputusan akhir kepada Presiden, membuka ruang bila situasi berubah drastis. Ini adalah sikap demokratis yang menghargai proses, namun di saat yang sama, menimbulkan pertanyaan tentang kecepatan respons negara terhadap krisis moral yang menyelimuti bangsa.

Di sinilah letak dilema yang sebenarnya: antara kebutuhan hukum yang cepat dan tegas untuk melindungi aset negara dan masyarakat, dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan prosedur hukum yang tertib. Apakah menunggu sampai ada "kegentingan memaksa" adalah pilihan tepat, atau justru itu adalah alasan untuk menunda perubahan yang sudah sangat dibutuhkan?

Apakah kita bisa diam melihat harta negara menguap tanpa pertanggungjawaban? Apakah keadilan harus terus menunggu birokrasi berjalan lambat?

Bila kita merujuk pada data dan kasus-kasus nyata, banyak aset korupsi yang terbuang begitu saja, hilang, atau sengaja disembunyikan. Ini bukan hanya soal angka, tapi juga keadilan sosial dan kepercayaan publik. Rakyat menuntut agar negara bertindak cepat dan tegas. Di mata mereka, kegentingan yang memaksa sudah terjadi sejak lama, karena setiap kerugian negara adalah luka yang menganga di hati bangsa ini.

Namun, dari sisi hukum dan kenegaraan, tindakan yang gegabah bisa berujung pada ketidakpastian hukum, bahkan membuka celah bagi penyalahgunaan kewenangan. Pengeluaran Perppu tanpa alasan yang jelas bisa menimbulkan kontroversi dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun