Mohon tunggu...
Jasmine
Jasmine Mohon Tunggu... Wiraswasta - Email : Justmine.qa@gmail.com

Just me, Jasmine, just a tiny dust in the wind

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

6|Bleeding Bening|

10 Mei 2013   14:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:48 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1368171932809004363

[image: rubberedendotcom]

|o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o-o|

Hari itu datang seorang lelaki. Darah Bening seketika berdesir. Dia kerap melihat lelaki itu dalam busana resmi, setelan jas berdasi, berdiri penuh wibawa di podium menyampaikan pesan Tuhan untuk para gembalanya. Tapi untuk apa dia datang ke rumahnya? Tidak mungkin Gladys mengadukan sesuatu hal lalu pria ini datang untuk konfirmasi dengan nenek. Bukan tipikal seorang Gladys. Tapi tidak mungkin juga bila si pria datang sekedar mengambil cross stitch yang dipesan istrinya kepada nenek. Lalu? Ah, mungkin saja dia punya urusan dengan nenek, mana kutahu? Dan Bening pun berlalu…

|o0o|

“Terima kasih. Ibu masih bersedia membuka pintu untuk saya,“ Pria yang usianya sudah lewat dari separuh abad namun masih nampak gagah itu berkata dengan takzim.

“Aduh nak Simon, memangnya kapan ibu menutup pintu buatmu? Nak Simon sendiri loh ya, yang ngga pernah datang kemari? Tidak sekalipun sejak peristiwa itu. Betul ndak?”

“Eh-ah, iya bu. Maafkan saya,“ Pria itu, Simon Sindua, tertunduk menyadari kesalahannya.

“Ada perlu apa nih? Pasti perkara yang penting, hingga nak Simon berkenan datang ke gubug ibu,“ lebih lanjut nenek Salmah bertanya.

“Benar, Bu. Saya datang untuk berpamitan. Ini barangkali kesempatan terakhir saya menjumpai ibu. Karena setelah ini saya akan pindah dan menetap di negeri yang jauh, tepatnya di Kanada, Bu. “

“Oh, itu ibu sudah dengar kok, dari bu Hombing, adiknya pastor Jonas yang datang mengambil kristik (cross stitch) pesanannya. Lalu bagaimana dengan Eddu?”

“Eddu akan melanjutkan kuliah kedokterannya di sana, Bu.”

“Begitu ya? Maunya dia sendiri, atau, hm begini nak Simon, ibu boleh kasih nasehat kan?”

”Silahkan, Ibu. Dengan segala senang hati,” Simon Sindua beringsut dari duduknya. Walau di atas kertas tak ada yang bisa mengkaitkannya dengan Salmah, namun berhadapan dengan wanita sepuh ini Simon tak punya pilihan lain kecuali tunduk menghamba.

”Sekarang Eddu sudah dewasa dan satu hal yang pasti, dia itu lebih bijak dari siapapun pemuda seusianya. Jadi dalam masalah ini, tolong jangan paksakan kehendak nak Simon terhadap Eddu. Jangan sampek menggunakan jalan kekerasan seperti dulu lagi.”

“Ah, tidak, Bu, sama sekali tidak. Dan sungguh saya tak pernah memaksanya ikut ke Kanada. Justru saya terkejut dengan keputusannya melanjutkan kuliah kedokterannya di sana. Awalnya saya pikir, dia akan menentang kepindahan ini. Ternyata malah dia mendukung penuh tanpa keraguan.”

“Ya jelas tho. Ibu sudah bisa menebaknya. Aduh, maaf ya, nak Simon ini bapak macam apa sih?“

“Ma-makk…sud, Ibu?“ Tanya Simon tak mengerti. Untuk pertama kalinya −sejak kedatangannya pagi tadi, ke rumah yang berpuluh tahun silam pantang disambangi− Simon Sindua baru berani mengangkat kepalanya. Ia bukan kepalang terkejut dengar tuduhan tegas dari nenek Salmah.

“Itu lebih baik daripada dia di sini menanggung luka dan sakit hati. Ibu saja tahu atau jangan-jangan nak Simon saja yang sengaja memanfaatkan kesempatan ini untuk menjauhkannya dari Bening?“

“Sa-saya tidak mengerti maksud, Ibu…,“ darah Simon berdesir. Ia segera tahu arah pembicaraan wanita tua yang sangat dihormatinya ini.

“Soal kedekatan Eddu dan Bening, nak Simon ndak usah ketakutan seperti orang dikejar penagih hutang.”

”Saya...,” Simon ragu melanjutkan kalimatnya.

“Kalau anak-anak itu mau, dari dulu mereka berdua sudah melanggar banyak batasan! Biarpun ibu ini orang tua tidak berpendidikan, orang tua jaman kolonial, tapi ibu tahu bagaimana menjaga cucu-cucu ibu. Jangan lupa, Bening itu kan masih keponakanmu sendiri, nak Simon!“

“I-iya, Bu. Sejujurnya saya memang mengkhawatirkan kedekatan mereka. Saya takut sekali kejadian masa lalu terulang kembali diantara anak-anak kami,“ Dengan berat hati Simon pun mengeluarkan isi hatinya. Kepalanya kembali terkulai, tunduk menekuni lantai yang tidak berlapis keramik.

“Itu sama artinya nak Simon nggak percaya sama ibu. Dulu itu, karena siapa coba? Dulu nak Simon tutup rapat dua telinga, ngga mau dengar nasehat mana-mana. Bukannya meredam kemarahan orang tua, nak Simon justru memperkeruh keadaan. Memaksakan keinginan, lalu main kasar. Akhirnya…, haduh, sudahlah, kok ibu jadi mengungkit masa lalu.“

“I-itu benar kesalahan saya, Ibu. Se-seumur hidup, tak akan pernah berhenti rasa penyesalan saya. Wa-waktu itu, kami semua masih anak-anak muda yang sangat mendewakan ego. Andaikan dulu saya tahu bila kekerasan hati tak seharusnya dilawan sama kerasnya, pasti tak akan terjadi peristiwa tragis itu…”

“Anak jaman sekarang ngga bisa dikekang, nak Simon. Patutnya kita orang tua yang gigih memberikan pengertian dan pengawasan. Khusus Bening, ibu percaya sama dia karena ibulah yang paling tahu watak dan perangainya. Dan lagi, biarpun mata ibu sudah lamur, tapi tak pernah berkedip demi menjaganya dari hal-hal yang tidak diinginkan.”

“Semua yang ibu katakan benar. Tapi sekali lagi saya tegaskan, keputusannya melanjutkan kuliah adalah murni idenya Eddu.”

“Baiklah, baiklah. Tapi Eddu juga berhak untuk tahu, alasan utama mengapa nak Simon menentang perasaan Eddu terhadap Bening. Itu kewajiban nak Simon untuk menjelaskan sebelum pergi ke Kanada. Jangan sampek tidak atau nak Simon akan menyesal di kemudian hari…”

“Ma-masih ada waktu kok, Bu. Saya akan cari kesempatan baik untuk mengatakannya. Saya berjanji, Bu.”

“Lebih cepat lebih baik. Tinggal tunggu visa saja, kan? Apa sudah dipikir, bagaimana caranya ngasih tau Eddu? Pelan-pelan saja, supaya Eddu ngga terlalu shock! Kasian dia…”

“Ibu benar. Itu bukan perkara yang mudah. Saya… sejujurnya ingin minta nasehat ibu, bagaimana cara memberitahunya.”

“Jadi selama ini, dia tetep ngga tahu kalau papanya punya adik perempuan yang sudah meninggal?”

“Dia tahu, Bu.”

“Lalu…”

“Namun saya hanya bilang, Simonella meninggal akibat suatu kecelakaan kendaraan di usianya yang masih muda. Itu saja…”

“Sudah ibu duga…”

“Maafkan saya, Ibu…”

“Nak Simon, mungkin ibu bukanlah siapa-siapa bagi keluarga kalian. Ibu tak punya hubungan darah apapun dengan kalian semua. Ibu tahu, ibu juga salah karena menuruti kalian menyembunyikan rahasia ini. Apapun alasannya, wes ibu memang ikut bersalah…”

“Ah, tidak Ibu. Sayalah, kami sekeluarga justru sangat sangat menghargai pengorbanan ibu selama ini. Maafkan saya dan almarhum kedua orang tua saya yang telah menyeret ibu ke dalam permasalahan keluarga kami.”

“Ibu sering nangis kalau inget si Shidiq itu, nak Simon. Sampek meninggalnya, Shidiq bahkan tidak pernah tahu kalau dia bukan anak ibu. Tapi kalau ingat kematiannya yang tragis, hati ibu teriris-iris. Bertambah perih hati ibu bila melihat anaknya, si Bening itu, yang bahkan tidak mengenal trah keluarganya, siapa bapak-ibunya. Bahkan pakdenya sendiri yang sesungguhnya tidak akan sulit dia jumpai. Oh, i-i-ibu sungguh telah berdosa, nak Simon…” nenek Salmah berurai air mata.

“Tidak, Bu. Kamilah yang patut dipersalahkan. Ah, ibu… sungguh itu semua adalah kesalahan kami,“ Simon pun mengusap airmatanya.

“Bagaimana mungkin lupa akan perbuatan bejat yang saya lakukan pada Simonella dan dek Shiddiq. Saya masih ingat, di hari terakhirnya, Simonella masih terus berupaya membujuk keluarga agar merestusi hubungannya dengan dek Shidiq. Tapi saya dengan jahatnya malah mengusirnya, tak peduli bayi merah dalam gendongannya menangis kencang sekali seolah tak terima ibundanya dimaki-maki oleh paman-tuanya sendiri. Sayalah yang patut dihukum, Ibu…”

”Weslah, sudah-sudah, nak Simon, ndak usah diperpanjang lagi, itu semua masa lalu… ”

“Sekarang, saya rasa hukuman itu tengah dijatuhkan kepada saya, Ibu… Saya menyadari betapa kasih Eddu kepada Bening sungguh luar biasa. Saya tak pernah menduga, kasih sayang itu terus menguat hingga ke masa dewasanya. Tapi, sungguh Ibu, saya bersumpah atas nama Bapa di Surga, saya tidak akan pernah melakukan hal bodoh seperti dulu lagi, seperti pernah saya lakukan kepada adik saya Simonella. Jadi mengenai kepindahan kami ke Kanada ini, bukan hendak memutus kasih sayang anak-anak, ini sungguh kebetulan saja…”

“Ya sudah. Tinggal bagaimana sekarang nak Simon menjelaskannya kepada Eddu. Jangan ada lagi yang ditutup-tutupi. Ibu sudah tua, nak Simon. Ibu ngga mau pulang ke haribaanNya dengan membawa bertumpuk dosa. Sudah lekas kasih tahu saja, ceritakan semuanya dari awal sampek akhir. Toh ini masalah antar keluarga. Ibu yakin, Eddu akan mengerti.”

“Baik, Bu, akan saya usahakan membicarakannya dengan Eddu semampu yang saya bisa. Dan saya berjanji takkan ada rahasia lagi… “

“Kasihani juga si Bening itu, nak Simon. Posisinya semangkin sulit dengan kehadiran nak Gladys. Ibu iba melihat deritanya kian hari kian bertambah. Untungnya anak itu tabah…”

“Ada apa dengan Gladys, Bu?”

“Itu loh, nak. Mata tua ibu bisa lihat, dari sorot mata dan bahasa tubuhnya jelas kalau Gladys kurang suka Eddu sering-sering mampir kemari. Anak-anak itu, Eddu, Bening dan Gladys memang ngga bisa disalahin. Karena mereka kan ngga tahu duduk perkaranya. Ibu hanya tidak mau, mereka saling menyakiti karena permasalahan orang dewasa di masa lalu yang bahkan tidak berhubungan dengan diri mereka.”

“Benar, Bu. Nanti setelah Eddu tahu duduk permasalahannya, saya pasti akan bantu dia kasih pengertian kepada Gladys…”

“Ingat nak Simon, anak-anak itu tidak bersalah sama sekali. Kita ini, para orang tua yang salah. Mereka bahkan kalau boleh ibu sebut, adalah korban dari kekerasan hati kita, korban dari keegosisan kita, korban dari kecongkakan kita. Dan pada akhirnya, mereka jugalah yang menanggung derita akibat kesalahan kita, para orang tua…”

|o0o|

Bening mengusap air matanya yang menganak sungai. Menekan dadanya yang menyesak oleh kejut-kejut menyakitkan dan timbunan segala emosi. Dia tidak pernah menduga akan ada hari seperti hari ini. Hari yang tak pernah hadir dalam angannya. Hari yang tak pernah sedikitpun terbersit dalam nalarnya.

Bening tak tahu harus merasa apa dengan shocking story yang baru didengarnya. Lega? Lara? Oh, betapa tipisnya benang yang menjembatani kata lega dan lara. Memang, sungguh melegakan bahwa akhirnya dia tahu sedikit jati diri kedua orang tuanya. Simonella? Shiddiq? Simon Sindua? Oh, nama-nama asing yang mendadak bising dan membuatnya pening.

Akhirnya, terkuaklah tanda tanya besar yang selama ini hanya mampu disimpannya karena khawatir akan menyinggung perasaan nenek bila itu ditanyakan. Ini lega berselimut lara. Sangat menyedihkan mengetahui kisah sedih sepanjang kehidupan orang tuanya hingga akhir hayat yang terenggut secara tragis dan mengenaskan. Rasanya sungguh tidak adil. Tapi kepada siapa keadilan akan dituntutnya? Bahkan hidupnya sendiri pun tak pernah dimintanya.

Bening membiarkan airmatanya terus mengalir. Tangisan tanpa suara yang sudah menjadi keahliannya.

Skenario apakah yang sebenarnya telah Kau tulis untukku, Tuhan? Batin Bening bertanya. Wajahnya perlahan tengadah. Mencari jawab di atas entah. Yang ada hanya bunyi gemuruh pesawat udara. Sebuah noktah putih di atas kanopi langit nan tinggi, agaknya asal suara itu. Muncul sekejap, lalu sembunyi lagi dibalik gumpalan awan. Hanya jejak gemuruhnya yang masih saja terdengar…

“Pesawat itu. Hm, ya, baiklah, jadi kau memilih untuk pergi. Selamat jalan Ed!” senyum perih Bening. Matanya masih mengawasi kemana pergi noktah putih itu.

“Ed? Eddu…?” tanya Bening pada dirinya sendiri diantara anak sungai yang mulai mongering di pipi. “Bukankah, mulai saat ini harus ada embel-embel di depan namanya? Ah ya, aku harus mulai membiasakan diri memanggilnya: kakak, kak Eddu,“ Bening membatin sedih. Kesedihan yang diamini oleh anggukan dedaun pohon pisang di sepanjang tepian tambak. Dan nampaknya juga direstui oleh jejerit tangis lempung-lempung yang dehidrasi karena kegarangan surya di sepanjang musim kemarau ini……

|bersambung|

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun