Kebiasaan kita kadang panik saat mendapatkan serangan dan berleha-leha saat keadaan berlangsung aman. Sikap waspada terhadap berbagai kemungkinan tidak pernah dibentuk sejak kecil. Kita sibuk meronda ketika ada peristiwa kemalingan dan membiarkan pos kamling kosong tanpa penjagaan saat situasi aman.
Contohnya, kita menggunakan helm karena takut ditilang, kita menggunakan safety belt saat ada operasi lalu lintas. Kalau mobilnya sudah bersistem digital, seringkali safety belt hanya dipasang di belakang punggung yang sama sekali tidak memiliki fungsi.
Negara lain selalu menciptakan adanya musuh besar di luar negaranya yang harus dilawan. Semua elemen negara akhirnya bahu membahu menghadapi musuh negaranya. Sementara kita selalu menaruh rasa saling curiga di antara saudara sekampung hanya karena perbedaan pilihan politik dan cara berpakaian.
Negara besar seperti Amerika selalu membuat persepsi bahwa dirinya memiliki musuh di luar negaranya. Situasi ini dimulai sejak perang dingin melawan Uni Soviet berlangsung. Uni Soviet bubar dan Amerika menggulirkan terorisme sebagai ancaman bagi negara.
Hal ini bukan tanpa dasar, sebuah menara menjulang hancur luluh lantak karena serangan terorisme yang membuat trauma bagi warganya. Saya tidak akan membahas teka teki di balik peristiwa 9/11. Tetapi, sikap waspada negara bernama Amerika sungguh sangat kuat.
Coba kita masuk ke negara tersebut, pemeriksaan di bandaranya begitu ketat. Semua aksesoris yang tersemat pada diri kita harus dibuka, anjing pelacaknya pun berjejer rapi. Uang dollar yang kita bawa mereka hitung dengan seksama.
Apabila kita kembali dan uang yang kita belanjakan hanya sedikit, maka kita harus bersiap menghadapi panjangnya interogasi. Silakan bandingkan dengan pemeriksaan di negara kira, perbedaannya pasti sangat terasa.
Seluruh kinerja negaranya dan kontroversi pemimpinnya berbuah keperkasaan dollar. Mata uang yang hanya memiliki dua warna itu telah berhasil membuat porak poranda mata yang lain di dunia yang lebih berwarna.
Kesibukan kita menghadapi pelemahan rupiah yang mulai berangsur normal dan mengomentari beban utang luar negeri jangan hanya terjadi saat menjelang pilpres. Justru sikap konsisten kita dibutuhkan untuk memperbaiki negara ini bersama-sama.
Ketidaksukaan bahkan kebencian kita kepada seseorang yang saat ini sedang memimpin negara tidak akan mampu mengubah negeri ini dengan hanya menyampaikan sumpah serapah setiap saat di media sosial.
Hal yang harus dilakukan adalah oposisi dan partai pendukung pemerintah mengubah paradigma menjalankan negara dengan mengubah fokus utama untuk menyelesaikan beban utang.