Dulu saat kampanye 2014 katanya BLT (Bantuan Langsung Tunai) tidak mendidik. Sekarang pada masa kampanye pilpres, Jokowi dengan terang terangan membagikan sembako di gang sempit. Tentu antara janji dan kenyataan ini dua hal yang bertentangan.Â
Aura kebohongan dan kemunafikan jelas terpancar dari paradok diatas. Jika hal kecil saja penuh aroma kebohongan, apakah mungkin infrastruktur yang nilainya ratusan trilyun tidak ada kebohongan?
Hukum Positif dan Etika
Secara hukum memang sulit untuk mendifinisikan apakah acara bagi - bagi sembako di masa kampanye pilpres bukan sebuah money politic. Apalagi era ini hukum sulit dipercaya logikanya. Ada banyak hal yang janggal dan menabrak akal sehat. Tetapi ujung ujungnya hukum tidak berpihak pada yang lemah.Â
Kasus pelecehan seksual, yang dihukum korbannya, atas nama UU ITE. Masih banyak lagi jika dicari kejanggalan hukum di jaman rezim ini. Hukum benar benar sudah terpisah dari akal sehat dan etika.
Secara etika, uang BUMN adalah uang negara, uang rakyat. Di saat utang BUMN melambung tinggi dan kinerja keuangannya mengkhawatirkan, sangat tidak masuk akal ada capres yang bagi - bagi sembako memakai uang BUMN.
CSR untuk sustainability perusahaan bukan untuk melanggengkan Rezim
Bagi perusahaan, selain faktor faktor bisnis dan ekonomi, ada faktor sosial, lingkungan, ham dll yang saat ini dianggap signifikan mempengaruhi keberlangsungan usahanya.Â
Sederhananya, perusahaan akan makin besar jika konsumennya bahagia dan makin sejahtera, karena itu artinya daya beli meningkat dan perusahaan makin besar omsetnya.Â
Jadi sangat tidak masuk akal jika CSR di arahkan untuk dukungan politik, apalagi pemilik BUMN adalah rakyat yang jelas punya banyak preferensi politik yang berbeda.