Mohon tunggu...
Ahmad J Yusri
Ahmad J Yusri Mohon Tunggu... Penerjemah - Mahasiswa Fisika UIN Malang

Mahasiswa Biofisika Succesfulness is only result from mature preparation

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Merindukan Cucu

6 Maret 2021   14:25 Diperbarui: 6 Maret 2021   14:27 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : lovepik.com

Dusun Ronggosito nama tempatnya, itu adalah alamat rumah dari kerabat ibuku. Dusun yang terkenal dengan pertaniannya yang cukup luas mencakup sayur-mayur, brambang, kentang dan tebu. 

Tak ada keramaian dan kebisingan di tempat itu. Semuanya terlihat tentram bahkan rumput liar sekalipun, merasakan kedamaian hidup disembarang tempat tanpa takut kena pijakan makhluk lain.

Tinggallah seorang nenek tua di dusun tersebut. Dusun yang dijadikan tempat bermukim purnawirawan TNI. Kebetulan beliau adalah janda dari purnawirawan TNI angkatan laut. Sudah bertahun-tahun ia kesepian sejak kepergian suaminya. Ia pun tak dikarunia anak sama sekali. Sesekali mengangkat anak orang lain sebagai momongannya lalu saat anak tersebut besar lalu pergi. Ia bahkan sudah tiga kali mengangkat anak orang lain.

Ibu Bahtiar, begitu sebutan orang setempat. Sebenarnya nama aslinya adalah Sekar Ayu Dianah berhubung suaminya lebih terpandang jadilah ia menyandang nama Ibu Bahtiar. Ia adalah sosok yang rajin dan tekun. Di usianya yang sepuh ini, dia masih sempat bekerja sebagai tukat pijat tradisional. Jika ada panggilan meskipun itu dari kota, pasti ia sanggupi.

"Dulu saya itu sering dipanggil tiap hari buat mijit, seminggu bisa dapat satu juta le, beda sama sekarang, jarang ada yang manggil" Ujar Ibu Bahtiar.

            Ilmu pijat yang ia dapat memang tergolong manjur kata orang-orang, ditambah lagi doa-doa yang beliau panjatkan menambah keampuhan penyembuhan.

            "Saya ini sebagai wasilah saja, kalo urusan sembuh itu datangnya dari gusti Allah" Ujarnya lagi.

            Sosok yang penuh kesederhanaan, begitulah pandangan tetangganya. Tinggal dirumah reot yang miring akibat pergerakan tanah yang massif. Beberapa kali ia mencoba membenahi rumahnya dengan uang pensiunan suaminya. Lagi-lagi tanah itu bergerak dan menggeser pondasi rumah. Tapi itu menjadikannya ia bersyukur karena masih diberi tempat tinggal dan tidak kepanasan akan terik matahari maupun kebasahan akan rintik air.

            Senyum Ibu Bahtiar masih merekah tiap hari serasa tak ada beban hidup, ia pun tampak sehat dan kuat ingatannya. Sembari menaruh secangkir teh, ia pun bercerita tentang masa mudanya.

            "Saya itu dulu cukup terkenal, saya pernah punya suami tiga. Tapi sayang semuanya meninggal duluan" sambil tertawa renyah Ibu bahtiar menunjuk foto masa lalunya di etalase kaca yang kusam.

            Sesosok perempuan dengan model rambut sebahu dan tersenyum memegang mikrofon di depan para purnawirawan. Nampaknya mereka sedang merayakan sesuatu. Tapi perempuan ini mirip Ibu Bahtiar.

            "Itu foto saya le!, saya sering ditunjuk menjadi biduan keroncong oleh bapak bapak TNI, sayangnya suara saya serak gara-gara wis tuek"

            Bak artis pikirku. Mungkin Ibu Bahtiar menjadi primadona pada masanya. Terkadang disela-sela kekosongan dia suka bernyanyi lagu keroncong lalu tertidur. Mungkin bernostalgia akan masa lalu. Dia juga bercerita bahwa ia sering memimpin ibu-ibu di pengajian, sekarangpun begitu katanya.

            Lalu kulihat potret hitam putih yakni dua perempuan berkebaya, satu duduk dan satunya lagi berdiri. Terlihat jumawa dengan penampilannya.

            "Itu ibu dan nenek saya le, mereka raden ayu semua" Jelas Ibu Bahtiar.

            Aku sempat terkagum saat mengetahuinya. Sang nenek masih keturunan ningrat setingkat bupati. Sambil melihat potret itu dia mulai bercerita. "Saya waktu kecil di keluarga ibu saya. Harus pake tata krama. Jalan harus jongkok dan jinjit salah dikit dicubit. Tapi kalo saya sih ndak masalah. Kita ini sama sama derajatnya di hadapan Allah. Ndak ada yang unggul. Semuanya sama" pungkasnya.

            Semua itu mengingatkanku akan Kartini, tokoh nasional yang menentang kungkungan budaya yang kolot. Ibu Bahtiar juga memberitahu bahwa orang orang keraton itu ada yang masih menganut kejawen. Mengaku adanya tuhan tapi tidak sembahyang. Ajaranya hanya berbuat baik dan beritikad baik terhadap sesama tanpa adanya ritual ibadah layaknya shalat. Ibu Bahtiar berbeda menurutku, meskipun ia keturunan ningrat tapi ia sosok yang rajin beribadah terutama membaca Al-Qur'an. Itu karena saat masih muda, beliau pernah mengaji.

            "Saya dalam hal agama, saya biasa-biasa saja. Apalagi kalo disuruh baca kitab gundul sudah pasti gak bisa padahal saya pengen tau, kalo bacaan Qur'an saya suka bingung, kalo ada pengajian tiba-tiba disuruh nyekel mikrofon, tapi alhamdulillah mulut saya lancar baca ayat",  pungkasnya sambil tersenyum.

            Mungkin maksudnya Ibu Bahtiar diminta secara baik-baik tapi karena ia agak tuli jadi dia kaget jika disodori mikrofon. Aku jadi menduga, bisa jadi rajinnya beliau dalam membaca Al-Qur'an itu menguatkan ingatannya. Ia terus bercerita kesana kemari dan akupun sampai bingung mendengar alur ceritanya.

            Kesepian sudah pasti akan melanda semua orang. Tak terkecuali Ibu Bahtiar. Tapi kali ini beliau agak lega. Bibiku dan suaminya akan tinggal disitu. Masih kerabat yaitu ibarat cucu dan nenek, tapi Ibu bahtiar ini adalah adik dari neneknya bibiku. Kalau denganku beliau itu buyut kata orang Jawa.

            Selain adanya bibiku yang menemaninya, terkadang ada cucu dari sodaranya yang suka berkunjung kerumahnya. Walau itu tak sering setidaknya cukup menghibur sang nenek dengan kehadiran bocah-bocah.

            Tiga hari sudah kunjunganku ke rumah sang nenek. Beliau bukan nenek kandung tapi ada kedekatan emosional sebagai salah satu keturunan dari saudaranya. Ucapannya lembut meski parau tapi enak didengar. Suara yang merindukan anak cucu dalam usia senja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun