Pengelolaan sisa barang konstruksi dalam mendukung green building: solusi tata melola bangunan nol sampah
Bayangkan sebuah proyek pembangunan gedung megah di tengah kota beton, baja, kayu, dan berbagai bahan lain berserakan di sekitar area proyek.Â
Setelah proyek rampung, sisa materialnya menumpuk: potongan besi, puing beton, papan kayu rusak, bahkan karung semen yang tak terpakai.Â
Di balik kemegahan gedung yang berdiri, tersisa jejak "tak kasat mata" berupa limbah konstruksi yang sering kali berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA).Â
Inilah sisi gelap industri konstruksi yang jarang dibicarakan: limbah pembangunan.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2021 tercatat sekitar 29 juta ton limbah konstruksi dan pembongkaran dihasilkan di Indonesia. Ironisnya, hanya sekitar 14,96 juta ton yang berhasil dikelola.Â
Artinya, lebih dari separuh limbah konstruksi dibiarkan tanpa pengelolaan yang layak mengotori lingkungan, mencemari tanah, dan menghambat upaya pembangunan berkelanjutan.Â
Padahal, di era modern yang gencar dengan isu perubahan iklim, pengelolaan limbah konstruksi justru bisa menjadi pintu masuk menuju konsep Green Building dan bangunan Nol Sampah (Zero Waste Building).
Limbah Konstruksi: Masalah Serius yang Sering Diabaikan
Limbah konstruksi bukan hanya sekadar tumpukan puing.Â
Ia mencakup berbagai jenis material seperti beton, logam, kaca, plastik, aspal, dan kayu.Â
Jika tidak ditangani dengan benar, material-material ini dapat menimbulkan polusi udara akibat pembakaran, pencemaran air akibat rembesan bahan kimia, hingga degradasi lahan akibat penimbunan berlebihan.