Mohon tunggu...
Jaid Brennan
Jaid Brennan Mohon Tunggu... Penulis Freelance -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pelangi Pucat Pasi (12) Putus Asa

12 Januari 2017   15:17 Diperbarui: 12 Januari 2017   15:23 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Bee Media blogspoot

Bagian 12. 

Putus asa 

     Malam ketika semua penghuni rumah sudah terlelap dengan mimpinya, aku masih terjaga.  Aku dilambung dilema antara mengikuti hatiku atau bertahan di sini. Sudah banyak kenangan indah yang tercipta antara aku dan teman-temanku di sekolah. Namun banyak juga luka yang sudah ditorehkan keluarga Susastio yang sudah mengoyak bagian dalam dari diriku. Kalau aku tetap berada di rumah ini mungkin aku akan bisa sekolah setinggi yang aku mau dan mungkin aku akan mendapatkan pekerjaan yang layak, mempunyai pasangan, anak dan punya sebuah rumah dan memiliki keluarga yang mungkin bahagia, mengabdikan hidupku pada pekerjaan dan istri. Itu pun kalau aku masih hidup dan tidak terbunuh karena ulah Bapak angkatku sebelum aku mencapai tahap itu.  Punya pekerjaan, istri dan anak ... haha...apakah hidup  hanya sesederhana itu? Lalu buat apa aku harus menderita seperti ini, kalau hidup cuma sesaat. Kalau hidup cuma sesederhana itu.

Namun jika akukembali ke rumah Ibu,  kemungkinan aku memang bisa sekolah tapi mungkin itu hanya sampai SMU. Lalu aku bisa apa hanya dengan ijazah SMU? Apakah cukup mampu untuk mendapatkan pekerjaan nantinya? Dan apakah bisa seandainya satu saat aku berkeluarga? Apakah nanti aku bisa menghidupi keluarga? Tapi takdir adalah milik Tuhan dan aku tidak ingin hidupkudi bawah tekanan. Siapa pun orang itu, dia tidak berhak menekanku. Mestinya akuberhak atas hidupku. Aku berhak menentukan kemana aku akan melangkah. Ya,mudah-mudahan aku bisa melewati ini semua. Tapi kalau hanya menunggu sampai akululus SMU, dua tahun bukanlah waktu yang pendek. Apakah dalam waktu sepanjang itu, aku harus merasakan penderitaan? Kurasa jika aku terus-terusan tertekanbisa jadi aku malah tidak akan berkembang dan mungkin aku akan memilikipenyakit seperti yang diderita Pak Susastio. Apakah Pak Susastio nantinya bisasembuh dan bisa hidup selayaknya orang biasa? Mungkinkah itu akan terjadi? Kurasa tidak. Kurasa untuk sembuh, harapannya sangat tipis. Butuh waktu dankesabaran yang panjang dan mungkin waktu Pak Susastio untuk menuai hidupnyatidak cukup untuk menyembuhkan penyakitnya. Mungkinkah sampai aku lulus kuliah nanti Pak Susastio masih sehat?  Bagaimana kalau di tengah-tengah dia tidak bertahan, mengingat usianya yang sudah lanjut. Ah, mestinya aku tidak berpikir demikian. Aku terdiam dan dalam diam kutapaki langkah tembus batas waktuyang membuatku terdampar di satu sisi hidup yang mengiris perih jiwaku.Entah tiba-tiba aku ingat ibu, ingat ayah yang tidak aku ketahui keberadaannya. Oh, Tuhan dimana sesungguhnya ayahku. Kalau dia ada tentunya aku tidak akan begini. Tentu aku tidak akan jadi budak keluarga aneh ini. Kupejamkan matakumencoba untuk menepis perih yang tiba-tiba menyesakkan dadaku. Aku ingat ibu,diam-diam aku merindukannya, merindukan keangkuhan Ibu, merindukan perhatiannyayang kadang malu untuk diungkapkannya padaku. Kupejamkan mataku, air beninghangat merembes dari mataku. Aku mulai menyadari semarah–marahnya Ibu, diamasih memiliki perasaan dibandingkan laki-laki bernama Susastio itu. Aku haruspulang. Aku harus pulang jeritku dalam hati. Aku menangis lemah seperti bayi yang membutuhkan tangan Ibunya. Tuhan aku ingin pulang, tapi kalau Ibu tidak menginginkan aku tolong berikan tempat agar aku tidak mengganggunya. Aku terkapar lemah tak berdaya di tempat tidur. Hatiku kosong hampa dan putus asa.Apalagi yang kuharapkan dari hidupku, apalagi… ingin rasanya malam ini akutertidur dan tidak pernah terbangun lagi. Ingin sekali malam ini Izraildatang mengambil rohku, agar lepas dari semua penderitaan hidup. Aku bangun dankubuka jendelaku lebar-lebar. Malam ini akan kutantang takdir Tuhan, malam iniaku ingin maut datang menyambutku. Aku naik ke atas jendela. Dan duduk dengankaki yang menjulur lepas keluar. Kulihat pemandangan di bawah kakiku. Haha...cukup tinggi juga. Kalaupun aku jatuh aku tidak akan peduli. Toh hidupku hanyaseperti ini. Malam ini aku mengucap sumpah serapah. Pada bulan danbintang-bintang.  Ayo Tuhan kirimkan iblis jahatmu untuk menghujamkan belati kedadaku biar memburai keluar rasa sesak yang sudah sekian lama mengendap ini …Hancurkan aku dan jangan kau tiupkan lagi nafas ke ragaku. Biarkan aku hanyamenjadi roh yang melayang di antara awan-awan di langit. Aku mulai berdiri ditepi jendela, sekali lagi aku melihat ke bawah memastikan kalau aku jatuh aku bisa langsung mati.

“Ha..ha.. takada yang menghalangiku untuk melompat dari atas jendela ini. Tidak akan ada,mungkin kematian cara yang paling baik   

untuk melepaskan semua penderitaan ini. Kubayangkan jika aku jatuh dengan kepala ke bawah, kepalaku akan pecah. Dan otakku akan ke luar terburai, leherku akan patah dan roh akan lepas dari tubuhku dan saat itulah mungkin akuakan menerima kebebasanku, bebas dari semua. bebas dari rasa sakit, bebas darirasa benci, dendam, dan aku akan melayang di antara awan-awan, bersama bidadari dan malaikat menyaksikan tingkah laku manusia dari atas sana. Tapi bukankah memutuskan takdir sendiri itu dosa, tapi adakah jalan terbaik jalan palingnyaman untuk mati. Adakah jalan lain untuk mengusir rohku dari ragaku tanpa rasa sakit. Hahaha.. kau pengecut Syan kau pengecut, untuk apa kau hidup jikaharus menderita, melompat saja dan segalanya akan menjadi beres. Hatiku…sementara sisi hatiku yang lain mengatakan kalau aku harus bertahan masihbanyak yang bisa aku lakukan. Tapi sisi gelapku lebih kuat mempengaruhiku.Kurentangkan tanganku menantang malam. Gelap menyelimutiku seperti gelapnya hatiku. Tak ada kematian yang tidak menyakitkan, pikirku. Aku harus melompat, inilah saatnya… inilah saatnya mengakhiri semua, sayup-sayup kudengar  suara pintu kamarku di ketuk-ketuk danjeritan ibu angkatku membuyarkan konsentrasiku.


“ Syan bangun..bangun Syan .. Bapak sakit. Bapak memanggil-manggil kamu”, jerit ibuang-

katku dari balik pintu. “Ayo, Syan jangan pedulikan mereka. Merekalah yang membuatmu begini, mereka membuatmu menderita, lompat Syan ... lompat.Sementara di dalam hatiku yang lain mengatakan, Bapak  sakit... Bapak sakit. Aku ingin melihat orang yang menyiksaku sakit. Aku ingin melihat orang jahat itu tak berdaya. Aku ingin ia tahu betapa lemahnya dirinya. Hatiku diselimuti kegelapan sementara telingaku mendengar jeritan Ibu angkatku memanggil-manggil aku. 

“Syan, buka Syan buka... Bapak membutuhkanmu,” suara-suara itu terus mengganggu telingaku.

“Diammm!!!”, teriakku. Aku melompat dari jendela menuju pintu dan membukanya. Namun begitu aku buka, tidak ada siapa-siapa. Tak  kulihat Ibu angkatku, tak ada siapa-siapa,sepi. Dan kulihat jam di tanganku sudah menunjukkan jam satu tiga puluh dinihari. Oh, Tuhan apakah aku berhalusinasi, pintu jendela itu pun juga masihterkunci. Bukankah aku tadi berdiri disana. Hey apakah aku sudah gila. akutidak mengerti dengan semua ini  aku tidak mengerti dengan diriku.aku lelah aku lelah dan aku hanya ingin tidur. aku ingin tidur… tidur. terus kuucapkan kata tidur sampai aku kelelahan dan benar-benar tertidur.

Pagi-pagi akusudah bangun mandi memakai seragamku dan cepat-cepat mening-

galkan rumah besar itu tanpa sarapan. Ah nanti aku bisa makan di luarpikirku. Tak seperti apa yang aku pikirkan Bapak angkatku sudah menungguku diteras.

“Syan, ikutBapak” ucapnya 

“Tapi, bukankah aku harus sekolah, Pak?”

“Ikut Bapak“,tegasnya. Tanpa banyak bicara aku segera naik ke mobil mengikuti kemana Bapak angkatku pergi, padahal mestinya aku harus sekolah.

“Kemana Pak?” tanyaku.

“Diam, kamu ikutsaja”, mobil itu melaju tenang menyusuri jalanan kota.

 Pagi matahari baru saja menampakkan sinarnyayang hangat. Ketika aku ketakutan di dalam mobil dalam kekuasaan Bapak angkatku, aku berharap jalanan tidak macet. Aku berharap Bapak angkatku tidak stress waktu berada di dalam mobil. Aku berharap dan sangat berharap. Karenakalau itu terjadi akibatnya bisa sangat fatal. Aku berusaha menjaga sikap untuktidak membuat kesalahan atau membuat Bapak angkatku stress. Kalau itu terjadibisa saja mobil yang kami tumpangi bisa ditabrakkan. Aku hanya diam. Diam karena hanya itulah yang  bisa aku lakukan.

“Syan,“ ucapnya,tanpa menoleh kepadaku.

“Iya, Pak”.

“Apa saja yangkau pelajari di sekolah?”

Aneh memang,terkadang bapak angkatku menanyakan hal-hal yang diluar dugaan dan aku harus bisa menjawabnya dengan tepat dan akurat setiap pertanyaannya. Kalau tidak dia bisa menghujatku habis-habisan. Dan aku tahu bagaimana menghadapinya, jika tidak ditanya,  diam adalah cara yang paling tepat untuk menghadapi orang seperti Bapak angkatku.Namun kali ini aku harus menjawab pertanyaannya. 

“Banyak, Pak,Syan dapat banyak hal di sekolah.”

“Banyak hal itu apa? Pelajaran Bahasa Indonesia, matematika, Bahasa Inggris, tanyakan pada gurumu. Apakah kau akan diajarkan untuk memahami orang seperti aku. Kau harustanya itu besok. Kau paham?”

“Iya, Pak akupaham”.

“Bagus kaumemang pandai”  Wow, hebat aku dapatpujian dari bapak angkatku, tidak biasanya orang gila ini memujiku. Kuberanikandiri untuk menanyakan, kemana tujuan perjalanan ini. 

“Pak kitakemana?”

“Ke sekolahmu”.Kesekolahku untuk apa? Tidak biasanya Bapak angkatku datang ke sekolahku. Danini di luar dugaan.

“Ke sekolahku,untuk apa Pak?”

“Aku ingintanyakan pada gurumu apakah kau termasuk murid yang di atas rata-rata disekolah atau sebaliknya”. Mobil kami sudah memasuki halaman sekolah dan kamikeluar. Aku mengikuti di belakang Bapak angkatku. Kami memasuki kantor sekolah itu. Tampak beberapa guru tersenyum ramah dan menunduk pada Bapak angkatku.Bukan hanya seorang tapi hampir semua guru menunduk pada Bapak angkatku.

“Saya mau bertemuGurunya Syan”. Kata Pak Susastio pada seorang Guru di kantor itu. 

“Syan, kelassatu tujuh ya…” Guru kelas dua itu menunduk ketika dia menyadari sedang bicaradengan siapa. 

“Eh, Bapakbertemu dengan Bapak Bernardus Edi saja. Silakan Pak, ruangannya sebelah sana.”Bernardus Edi adalah guru BPku. 

“Selamat pagiPak. Saya Bapak angkatnya Syan”.

“Ooh, PakSusastio, ya”. Ucap Pak Bernardus Edi dengan suka cita. Sepertinya semua orangsudah mengenal Bapak angkatku. 

“Bagaimanabelajarnya Syan di sekolah ini?”

“Bagus, Pak,sesungguhnya Syan adalah anak yang pinter. Tapi sepertinya dia tertekan. Dankurang bisa konsentrasi belajar. Apakah di rumah, Syan cukup istirahat Pak?”

“Iya, semuakebutuhan Syan tentu tercukupi. Tapi saya tidak tahu Syan tidur jam berapa tiapmalamnya. Bukan begitu, Syan?”, tutur Bapak angkatku lembut, tidak seperti saatia hanya bersama aku, seraya merangkul pundakku sok akrab. Sementara PakBernardus Edi memandangiku seperti hendak menelanjangiku.

“Jadi apasebenarnya yang terjadi Pak?” tanya Pak Bernardus Edi pada Bapak angkatku.

“Maksud Bapak?”

“Sejak masuk kesekolah ini saya tahu sesungguhnya Syan ini adalah anak yang sangat pintar,tapi ada sesuatu yang sepertinya Syan alami, sesuatu yang membuat Syan rendahdiri, bersikap seenaknya, ngantuk di kelas, memiliki anak buah, dan macam-macam. Bahkan tak jarang Syan terlihat suka menyendiri seperti tertekan.Sebenarnya apa yang terjadi dengan Syan, Pak?” Sesaat Pak Susastio terdiam,sebelum menjawab pertanyaan Pak Bernardus Edi.

“Saya rasa dirumah tidak ada masalah apa-apa kok, Pak. Mungkin berkaitan dengan masa lalu Syan sebelum aku mengangakatnya,” jawab Bapak  angkatku berbohong. Dilirikannyamatanya padaku. Seolah-olah ia ingin mengatakan awas nanti kau di rumah.Kembali Pak Bernardus menatapku. Memastikan apakah ceritaku tempo hari bohongatau tidak.

“Bagaimana Syan,apakah benar apa yang dikatakan Bapak?”, korek Pak Bernardus Edi. Pak Susastiokembali melirikku. Diinjakkannya kakinya padaku. Dan aku mengerti kalau aku

harus membenarkan ucapannnya. 

“Eh, iya Pak,benar”. Maaf Pak, saya hanya sebentar ke mari. Saya banyak urusan, saya nitipSyan ya, Pak, nitip Syan“, tutur bapak angkatku lembut seraya segera meninggalkan aku dan guru BP-ku. Setelah yakin bapak angkatku benar-benar sudahpulang Pak Bernardus Edi bicara.

“Syan,sepertinya Bapak angkatmu baik-baik saja. Sebenarnya apa yang terjadi padamu?”

“Saya tidak tahuPak, yang pasti saat berada di sini dan di rumah, Bapak angkatku sangat lain”.

“Maksudmu?”

“Saat bicaradengan Bapak ia bisa bersikap manis tapi tidak saat berada di rumah”.

“Syan, kuharapkau tidak sedang mengarang cerita. Bapak angkatmu itu mantan pejabat”.

“Pak, apakahmantan pejabat tidak bisa berbuat semena-mena. Mantan pejabat juga manusia,Pak. Baiklah, bapak percaya atau tidak itu tidak penting. Daripada nantinya aku membuat masalah di kelas, sebaiknya…”

“Sebaiknya apaSyan?”

“Sebaiknya akumenyerah saja, aku akan pindah sekolah.”

“Apakah kauyakin Syan?”

“Sebenarnya inisudah saya pikirkan lama. Tapi aku tidak berani memutuskannya. Banyak hal yangharus aku pertimbangkan. Salah satunya kesehatan Bapak angkatku jika aku tinggal, juga bagaimana masa depanku nantinya. Tapi semuanya harus diputuskan demi kebaikan bersama”. Pak Bernardus terdiam. Dan aku tahu semua orang percaya pada bapak angkatku, hanya karena dia mantan pejabat.-(JB) Bersambung 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun