"Ki Masto, boleh aku melihat Parjo, siapa tahu aku sedikit bisa membantunya?" pinta Galih Sukma cepat. Rasa kependekarannya terbangkitkan. Apalagi ia juga merasa menguasai ilmu pengobatan, siapa tahu bisa membantu si Parjo yang terserang penyakit?
"Ayo, cepat. Kita ke sana!"Â
Segera saja, Ki Masto dan Galih Sukma bergegas ke rumah Parjo. Bik Surti dengan tergopoh-gopoh berjalan mengikuti mereka. Sesekali terdengar suara isak tangisnya.
*
Rumah Parjo sudah penuh orang yang datang menengok. Mereka berusaha sebisa mungkin memberikan bantuan untuk meringankan beban Bik Surti meskipun tidak bisa menyembuhkan penyakit anaknya Parjo. Sakitnya Parjo adalah beban berat bagi Bik Surti yang sudah ditinggal mati suaminya Ki Pardi yang tewas lima tahun lalu tergulung ombak waktu melaut. Para tetangga bersimpati akan nasib malang anak yatim ini.
Melakukan apa yang bisa lakukan sebagai bentuk rasa gotong royong saling tolong menolong penghuni kampung di pesisir laut Utara.
"Permisi!" suara Ki Masto yang datang bersama seorang pemuda asing, berbadan tinggi besar dan berwajah tampan.
Tetangga yang semula berkerumun di depan pintu, segera menyisih melihat kemunculan Ki Masto. Ki Masto termasuk tetua yang dihormati selain Kepala Kampung Krasak sendiri. Dalam keadaan darurat seperti ini, tidak ada satu pun dari mereka membicarakan kemunculan si pemuda asing bersamanya.
Galih Sukma sedikit menunduk memasuki rumah sederhana milik Bik Surti. Ada beberapa wanita baya yang sibuk menyiapkan segala sesuatunya untuk keperluan orang banyak di depan. Ada yang menjerang air, ada yang menyiapkan makanan kecil.
Sedang Parjo si sakit, tergolek di atas dipan sederhana sambil merintih kepanasan dan kegatalan. Sesekali dia meringis menahan semua derita yang dialaminya.
"Parjo... sabar, Nak!" suara Bik Surti menahan tangis. Langsung menghambur ke arah anaknya. Bersimpuh di samping dipan, dibelainya kepala anaknya dengan penuh kasih sayang. Hanya itu, yang bisa dilakukannya untuk meringankan derita anaknya.