Kampung di pinggir laut itu tampak sepi. Sudah sebulan lebih keadaan kampung Krasak seperti itu.Â
Semua dimulai dengan datangnya kematian yang mendadak di kampung itu. Kematian yang misterius yang menimpa penghuni kampung, yang tiba-tiba tubuhnya menjadi gatal. Kemudian tubuh itu muncul sisik seperti sisik ular.
Korban akan merasakan kepanasan, kegatalan dan kemudian berkelojatan, mati tidak tertolong.
Dukun dan orang pintar di sekitar kampung Krasak sudah dikerahkan, tapi mereka tidak sanggup melenyapkan pagebluk itu, akibatnya korban kembali berjatuhan. Tidak ada hari berlalu, tanpa ada penguburan orang mati.
*
Menurut penerawangan salah satu dukun, Ki Rungkat, ada kekuatan siluman yang menguasai Kampung Krasak, gara-gara keinginannya tidak terpenuhi. Siluman itu adalah Siluman Ular yang meminta tumbal penghuni kampung.
Setelah mengatakan seperti itu, esok harinya Ki Rungkat malah ditemukan tewas mengerikan. Bukan keracunan, gatal atau keluar sisik. Tapi, tubuh Ki Rungkat menjadi tidak beraturan, sepertinya tulang-belulangnya hancur diremukkan oleh belitan seekor ular raksasa. Pastinya, Siluman Ular itu yang membungkamnya.Â
Kesimpulan itu, membuat penghuni kampung itu seperti kena teror. Bayang-bayang ular dan kematian, mengisi pikiran para penghuni kampung.
Di kampung Krasak itulah, Galih Sukma menginjakan kaki kali kedua di Negeri Benua Lokananta.
*
"Paman, kampung ini terlihat sepi. Tidak ada lalu-lalang orang melaut atau melakukan kegiatan sehari-hari?" tanya Galih Sukma hati-hati kepada pemilik warung tempatnya beristirahat.
"Benar, Nak. Di sini sepi, orang ketakutan untuk keluar rumah," jawab pemilik warung hati-hati.
"Kamu bukan orang asli dari sini, ya?" gantian pemilik warung malah bertanya kepada Galih Sukma.
"Benar, Paman. Aku dari pulau seberang, di Utara Jauh sana, Paman," jawab Galih Sukma sambil menikmati singkong goreng dan teh manis yang dipesannya.
"Namaku Galih Sukma. Kalau boleh tahu, ketakutan karena apa ya, Paman?" tanya Galih Sukma wajar dan sopan. Tidak terlalu ingin tahu, sehingga tidak membuat curiga Ki Masto pemilik warung.
"Begini, Nak Galih...
"Tooooloooong Ki Masto, anakku Parjo diserang Siluman Ular," jerit minta tolong Bik Surti tetangga dari Ki Masto yang datang menghambur ke warung, memotong cerita Ki Masto dan Galih Sukma.
"Siluman Ular?" tanya Galih Sukma heran.
"Ya, Siluman Ular. Kebetulan sekali, inilah teror yang membuat kampung ini sepi, Nak Galih Sukma," tutur Ki Masto cepat.
"Toolloong, Ki... tolong anakku!" pinta Bik Surti panik dan ketakutan.
"Ada yang tidak beres di kampung ini. Aku harus menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi di sini?" batin Galih Sukma tidak tega melihat seorang ibu yang cemas mengenai keselamatan anaknya menjadi linglung dan seperti kehilangan akal.
"Ki Masto, boleh aku melihat Parjo, siapa tahu aku sedikit bisa membantunya?" pinta Galih Sukma cepat. Rasa kependekarannya terbangkitkan. Apalagi ia juga merasa menguasai ilmu pengobatan, siapa tahu bisa membantu si Parjo yang terserang penyakit?
"Ayo, cepat. Kita ke sana!"Â
Segera saja, Ki Masto dan Galih Sukma bergegas ke rumah Parjo. Bik Surti dengan tergopoh-gopoh berjalan mengikuti mereka. Sesekali terdengar suara isak tangisnya.
*
Rumah Parjo sudah penuh orang yang datang menengok. Mereka berusaha sebisa mungkin memberikan bantuan untuk meringankan beban Bik Surti meskipun tidak bisa menyembuhkan penyakit anaknya Parjo. Sakitnya Parjo adalah beban berat bagi Bik Surti yang sudah ditinggal mati suaminya Ki Pardi yang tewas lima tahun lalu tergulung ombak waktu melaut. Para tetangga bersimpati akan nasib malang anak yatim ini.
Melakukan apa yang bisa lakukan sebagai bentuk rasa gotong royong saling tolong menolong penghuni kampung di pesisir laut Utara.
"Permisi!" suara Ki Masto yang datang bersama seorang pemuda asing, berbadan tinggi besar dan berwajah tampan.
Tetangga yang semula berkerumun di depan pintu, segera menyisih melihat kemunculan Ki Masto. Ki Masto termasuk tetua yang dihormati selain Kepala Kampung Krasak sendiri. Dalam keadaan darurat seperti ini, tidak ada satu pun dari mereka membicarakan kemunculan si pemuda asing bersamanya.
Galih Sukma sedikit menunduk memasuki rumah sederhana milik Bik Surti. Ada beberapa wanita baya yang sibuk menyiapkan segala sesuatunya untuk keperluan orang banyak di depan. Ada yang menjerang air, ada yang menyiapkan makanan kecil.
Sedang Parjo si sakit, tergolek di atas dipan sederhana sambil merintih kepanasan dan kegatalan. Sesekali dia meringis menahan semua derita yang dialaminya.
"Parjo... sabar, Nak!" suara Bik Surti menahan tangis. Langsung menghambur ke arah anaknya. Bersimpuh di samping dipan, dibelainya kepala anaknya dengan penuh kasih sayang. Hanya itu, yang bisa dilakukannya untuk meringankan derita anaknya.
Dengan mata berkaca-kaca dia berpaling ke arah Ki Masto dan Galih Sukma, ada bayangan permohonan yang sangat dari sinar mata itu.
"Mohon ijin Ki Masto dan Bik Surti, boleh aku memeriksa Kang Parjo?"Â
Bik Surti tidak menjawab, hanya mengangguk kuat-kuat untuk mengungkapkan isi hatinya. Pertolongan adalah harapan terbesar hatinya.
"Ayo, Nak Galih Sukma, jangan ragu!" jawab Ki Masto cepat.
Dengan sigap Galih Sukma maju dan memeriksa Parjo dengan cepat tanpa rasa risih dan jijik melihat tubuh luka-luka karena garukan dan nyata sisik-sisik ular sudah mulai bermunculan. Ada bau amis yang mengawang samar.Â
Dibukanya pakaian yang dipakai Parjo dibantu emaknya dengan hati-hati.
Ki Masto dan beberapa tetangga yang lain, memberi ruang yang cukup bagi Galih Sukma melakukan usahanya, sambil melihat dengan rasa penasaran yang besar. Ada was-was, ada juga harapan, siapa tahu Galih Sukma benar-benar bisa menyembuhkan Parjo. Siapa tahu?
*
Setelah memeriksa dengan teliti, Galih Sukma mengerahkan kekuatan tenaga dalam panasnya untuk membuka ujung syaraf yang melemah karena serangan racun yang dikirim seseorang.Â
Galih Sukma mempunyai indera keenam yang sangat peka, punya tenaga dalam panas dan tenaga dalam dingin. Kemampuan itu diperolehnya setelah dia terlepas dari koma selama tujuh hari akibat sengatan Gurita Cincin Biru dan Sambaran Petir.Â
Dalam keadaan koma, Galih Sukma yang lemah saat itu seperti berada di alam antara, Alam Dunia dan Alam Akhirat, maka selanjutnya dia mampu melihat makhluk astral di sekitarnya setelah dirinya sembuh.
Ki Mahendra yang sakti dan Waskita bisa melihat kelebihan Galih Sukma.
Maka, dibekali muridnya itu dengan cara mengendalikan kelebihannya untuk keperluan yang bermanfaat.Â
Selain menjadi pemuda sakti mandraguna, dia juga menguasai ilmu sihir, ilmu pengobatan dan ilmu mengusir makhluk dari dunia lain.
Maka, sekali lihat saja dia tahu bahwa Parjo diserang penyakit yang tidak wajar.
Kesimpulan yang disampaikan oleh Ki Masto sebelumnya bahwa Parjo diserang oleh Siluman Ular kemunginan benar adanya.
"Bik Surti, maaf. Tolong, disiapkan lima siung Bawang Putih, lima ruas Kunyit dan 100 lembar Daun Kelor.
Rebus semua bahan itu. Jangan lupa dupa wangi juga!" pinta Galih Sukma yakin.
Tanpa bertanya lagi, Bik Surti segera menyiapkan yang diminta Galih Sukma dibantu oleh tetangga yang lain.Â
Kemudian...
"Tuhan aku mohon ijin dan kemurahan pertolongan-Mu," batin Galih Sukma berdoa.Â
Galih Sukma mengerahkan tenaga dalam dingin yang berisi racun yang dipakai untuk pengobatan dalam batas kekuatan tertentu.
"Huuuffffpp!"
Dengan dua tangan terbuka yang perlahan berubah warna biru keemasan dan terlihat berselimut uap tipis, Galih Sukma berusaha menghilangkan pengaruh racun ular.
Semua orang berharap apa yang dilakukan oleh Galih Sukma bisa menyembuhkan Parjo. Tanpa dikomando, mereka ikutan berdoa, memohon kesembuhan bagi Parjo. Siapa tahu, Galih Sukma adalah Sang Penyelamat yang dikirimkan Tuhan untuk mereka?
Mampukah Galih Sukma menyembuhkan Parjo?
Benarkah sakit yang diderita penghuni kampung berhubungan dengan Siluman Ular?
Ikuti terus petualangan Galih Sukma di novel silat Sang Penyelamat!
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H