Pernahkah Anda membayangkan, siapa sebenarnya yang memiliki kewenangan tertinggi dalam menentukan keputusan teknis ketika terjadi wabah penyakit hewan di daerah? Siapa yang berhak menyatakan sebuah wilayah "aman dari penyakit hewan menular"?
Jawabannya: Pejabat Otoritas Veteriner (POV).
Namun perjalanan panjang eksistensi POV di Indonesia tidak selalu mulus. Dari masa Orde Baru hingga Reformasi, kewenangan profesi dokter hewan dalam struktur pemerintahan daerah mengalami pasang surut --- dan di sinilah cerita penting itu dimulai.
Ketika Dokter Hewan Menjadi Penentu Kebijakan Teknis
Pada masa Orde Baru, struktur pemerintahan daerah dibangun dengan sistem birokrasi yang kuat namun sederhana.
Di setiap kabupaten dan kota, Dinas Peternakan berdiri sendiri, dengan seorang Kepala Dinas yang wajib berprofesi dokter hewan.Â
Mengapa harus dokter hewan? Karena kesehatan hewan dan keamanan pangan asal hewan bukan sekadar urusan administratif --- ia adalah urusan ilmiah dan profesional, menyangkut nyawa hewan dan keselamatan manusia.
Kepala dinas kala itu memiliki kewenangan teknis tertinggi, mampu mengambil keputusan cepat saat terjadi kasus penyakit menular seperti anthrax, rabies, atau brucellosis.
Mereka tidak hanya duduk di balik meja, tetapi juga turun ke lapangan, memeriksa hewan, menandatangani sertifikat kesehatan, dan memastikan setiap produk asal hewan yang keluar dari wilayahnya aman untuk dikonsumsi masyarakat.
Meskipun secara struktural jabatan mereka "hanya" setingkat eselon III, tetapi wibawa dan kewenangan teknis mereka diakui secara nasional.