"Menjemput Harapan di Tengah Wabah"
Kisah drh. J, Sang Penjaga Ayam Petelur
Pagi itu, udara Air Batu Banyuasin masih berembun. Di antara deretan kandang ayam petelur yang panjang dan tertata rapi, suasana tampak muram. Ayam-ayam tampak lesu, sebagian mati mendadak tanpa tanda-tanda sebelumnya. Dari kejauhan, kendaraan Technical Service berhenti di depan gerbang peternakan.
Turunlah drh. J, dokter hewan muda namun berpengalaman dari perusahaan vaksin nasional. Langkahnya cepat namun terukur. Ia tahu --- hari itu bukan sekadar kunjungan biasa, melainkan sebuah misi penyelamatan.
Tahap Awal: Menegakkan Diagnosis di Tengah Panik
Pemilik peternakan, Pak Suharto, menyambut dengan wajah cemas.
"Dok, ayam saya mati mendadak. Produksi turun setengah, jenggernya biru, napasnya megap-megap. Saya takut ini flu burung."
drh. J menatap dengan tenang.
"Tenang, Pak. Kita akan pastikan dulu. Jangan ambil keputusan sebelum ada data."
Dengan perlengkapan biosekuriti lengkap --- coverall, sarung tangan, masker, dan sepatu boots --- drh. J mulai melakukan observasi di kandang.
Beberapa ayam terlihat sesak napas, sebagian mengeluarkan lendir dari hidung, dan jengger tampak membiru.
Satu ekor ayam yang baru mati ia bawa ke meja nekropsi. Pisau dibuka, organ demi organ diperiksa.
Trakea meradang, jantung dan ginjal penuh bintik perdarahan.
"Kuat dugaan ini Avian Influenza," ujarnya. "Tapi kita perlu bukti laboratorium."
Ia mengambil swab trakea dan kloaka untuk PCR, serta sampel darah untuk uji serologi HI test. Semua dikemas sesuai prosedur biosekuriti ketat dan dikirim ke laboratorium rujukan.
Diagnosis Pasti: Antara Ilmu dan Ketepatan Waktu
Dua hari kemudian, hasil keluar:
PCR positif H5N1 --- Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI).
Bagi peternak, itu kabar buruk.
Bagi drh. J, itu sinyal untuk bergerak cepat dan tepat.
Ia segera memimpin rapat tanggap darurat:
* Kandang yang terinfeksi diisolasi total.
* Akses kendaraan dan tamu ditutup.
* Disinfeksi intensif dilakukan di seluruh area peternakan.
* Petugas wajib ganti pakaian dan mandi setiap kali masuk kandang.
"Virus ini tak bisa diobati, tapi bisa dikendalikan. Kuncinya: disiplin dan biosekuriti," tegas drh. J.
Ia juga menjelaskan pada peternak perbedaan HPAI dan LPAI --- bahwa tipe LPAI (Low Pathogenic) bisa muncul dengan gejala ringan namun tetap berisiko berubah menjadi HPAI bila manajemen buruk. Pengetahuan inilah yang membuat tindakan pencegahan menjadi lebih bermakna.
Penanganan Lapangan: Dari Krisis ke Kendali
drh. J tak hanya memberi instruksi teknis; ia memimpin dengan contoh.
Ia ikut menyemprot disinfektan, memeriksa suhu kandang, dan berdiskusi dengan para pekerja.
Langkah-langkah penanganan dilakukan sistematis:
* Culling selektif --- ayam dengan gejala berat segera dieliminasi.
* Pemusnahan bangkai dengan dikubur dan ditutup kapur di lokasi aman.
* Desinfeksi total dan kandang rest period minimal 14 hari.
* Imunostimulan dan multivitamin diberikan untuk meningkatkan daya tahan ayam sehat.
* Antibiotik digunakan untuk mencegah infeksi sekunder seperti E. coli atau Mycoplasma.
* Program vaksinasi ulang disusun --- kombinasi AI dan ND sesuai rekomendasi teknis.
"Vaksin itu bukan jaminan tanpa penyakit," jelasnya pada pekerja.
"Tapi tanpa vaksin dan disiplin, wabah bisa jadi berulang."
Setiap langkah ia dokumentasikan untuk laporan dan evaluasi. Baginya, transparansi dan data sama pentingnya dengan obat.
Membangun Harapan: Dari Wabah Menuju Ketahanan
Tiga minggu kemudian, hasil kerja keras mulai terlihat.
Kandang yang dulu menjadi sumber wabah kini bersih dan siap diisi kembali. Produksi telur perlahan naik, ayam-ayam baru tampak sehat dan aktif.
Pak Suharto tersenyum lega.
"Saya kira habis sudah usaha ini, Dok. Tapi ternyata yang paling penting bukan obat, tapi cara berpikir."
drh. J mengangguk pelan.
"Kesehatan unggas tidak bisa dibangun dengan instan. Ia lahir dari kebiasaan --- disiplin biosekuriti, vaksinasi tepat, dan edukasi yang terus menerus."
Refleksi Seorang Dokter Hewan
Bagi drh. J, pengalaman itu bukan sekadar menekan wabah.
Itu adalah pelajaran tentang tanggung jawab profesi --- bahwa dokter hewan bukan hanya penyembuh hewan, tapi penjaga keberlanjutan pangan bangsa.
"Setiap telur yang menetas, setiap ayam yang sehat, adalah hasil kerja banyak tangan --- dari peternak, pekerja kandang, hingga dokter hewan yang berjuang di lapangan," ujarnya.
Ia menatap barisan kandang yang kini kembali ramai suara ayam.
Baginya, itu bukan sekadar hasil kerja, tapi simbol harapan --- bahwa ilmu, disiplin, dan empati bisa mengalahkan ketakutan terbesar sekalipun.
Pesan drh. J:
"HPAI mengajarkan satu hal penting --- bahwa biosekuriti bukan sekadar prosedur, tapi budaya.
Dan dokter hewan bukan sekadar profesi, tapi panggilan untuk menjaga keseimbangan antara kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI