Sore itu, dr Asa duduk di bawah pohon jati sambil membuka laptop lapangan. Ia mulai menghitung tingkat risiko.
Ia menulis di form Risk Matrix:
- Kemungkinan kejadian: Tinggi (lokasi endemis, kontak langsung sudah terjadi)
- Tingkat keparahan: Sangat berat (potensi kematian tinggi, ancaman zoonosis)
- Kategori risiko: Tinggi perlu tindakan segeraÂ
Aza menggumam pelan, "Kalau kita terlambat, bukan hanya sapi, tapi manusia bisa jadi korban."
Ia mengingat laporan tahun lalu: dua desa di kabupaten sebelah pernah kehilangan puluhan sapi karena penguburan tidak sesuai prosedur. Dari sanalah ia belajar, bahwa analisis risiko bukan hanya tentang menghitung bahaya --- tapi memutus rantai penularan sebelum terjadi.
Keesokan paginya, dr Asa memimpin rapat kecil di balai desa bersama perangkat desa, peternak, dan petugas puskeswan.
Ia menulis empat strategi di papan tulis besar:
a. Pengendalian Rekayasa
- Penguburan bangkai sedalam 2 meter, ditaburi kapur dan disegel semen.
- Desinfeksi tanah dan peralatan dengan formalin 10%.
b. Pengendalian Administratif
- Pembatasan akses ke lokasi kandang.
- Pelaporan cepat jika ada kematian mendadak pada ternak.
- Pengawasan kesehatan bagi keluarga yang sempat kontak.
c. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
- Sarung tangan, masker, pelindung wajah, dan pakaian kerja khusus.
- Prosedur dekontaminasi setelah penanganan.
d. Edukasi dan Vaksinasi
- Edukasi peternak tentang tanda-tanda anthrax dan pentingnya melapor.
- Vaksinasi rutin hewan di daerah rawan.
- Pengajuan stok antibiotik untuk kesiapsiagaan darurat.
"Anthrax bukan hanya urusan satu orang," kata dr Asa.