Dengan wajah pucat, ia berlari ke rumah.
 "Yah! Ayam-ayamku mati! Kenapa bisa begitu?"
Ayahnya datang, menatap ke kandang, lalu memegang bahu anaknya.
"Sabar, Nak. Kadang, meski kita sudah berusaha sebaik mungkin, hasilnya belum tentu seperti yang kita harapkan."
"Tapi aku sudah memberi makan, aku bersihkan kandang, Yah..."
"Aku tahu. Tapi mungkin Tuhan sedang mengajarkan sesuatu." Ayah berjongkok, menatap matanya dengan lembut.
 "Kalau kamu ingin hewan-hewan itu hidup sehat, kamu harus belajar ilmunya. Suatu hari nanti, kamu bisa jadi dokter hewan, Nak. Kamu bisa menyelamatkan hewan-hewan lain supaya tidak mati sia-sia."
Prison menatap ayahnya, air mata masih mengalir di pipi.
"Dokter hewan?"
"Ya. Dari ayam yang mati ini, lahir cita-citamu yang hidup."
Hari itu juga, dengan pensil tumpul, ia menulis di buku catatannya:
"Aku ingin jadi dokter hewan. Aku ingin menyelamatkan hewan-hewan agar tidak mati sia-sia."
Tangisnya belum reda, tapi di balik air mata itu, tumbuh keyakinan baru.
Belajar di Bawah Cahaya Lampu Aladin
Sejak saat itu, hari-harinya dipenuhi semangat baru.
Ia bangun pukul empat pagi, menyalakan lampu Aladin --- lampu minyak kecil yang cahayanya berasap tapi hangat.
Setelah menunaikan sholat tahajud, ia belajar hingga azan subuh berkumandang.
Sesudahnya, ia memasak nasi, membuat sambal kentang dan ikan bada --- menu sederhana tapi selalu mengisi perut keluarga mereka.
Sebelum berangkat sekolah, ia selalu memberi makan ayam di kandang samping rumah.
Begitulah rutinitasnya setiap hari.
Sunyi, sederhana, tapi penuh makna.
Masa Sekolah di MTs
Atas keinginan Ibu, Prison masuk Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN).
"Belajarlah di sekolah agama, Nak," kata Ibu, "biar ilmu duniamu dan akhiratmu seimbang."
Prison termasuk murid pintar. Ia selalu masuk dua besar --- kadang juara satu, kadang juara dua.
Namun, di sekolah itu ada satu guru yang sangat ditakuti semua murid. Namanya Pak N, terkenal keras dan pemarah.
Suatu pagi, Pak N masuk ke kelas dengan langkah cepat.
"Siapa yang saya tugaskan menghafal hadis minggu lalu? Ayo maju!"
Seorang siswa maju, tapi ia terdiam.
"Cepat bacakan!" bentak Pak N.
Siswa itu hanya menunduk.
Tiba-tiba --- prakkk! --- mistar panjang di tangan Pak N menghantam telapak tangannya hingga patah.
Suara kayu retak menggema di ruang kelas yang mendadak hening.
"Siapa yang hafal?" tanya Pak N dengan mata melotot.
Semua diam.
Prison memberanikan diri angkat tangan.
"Pak, sepertinya Bapak belum memberi tugas hafalan kepada kami."
Kelas terdiam.
Wajah Pak N memerah. Rupanya... beliau salah kelas.
Namun satu tangan sudah terlanjur memar karena amarah yang salah alamat.
Kesalahan yang Berulang
Beberapa hari kemudian, saat jam kosong, Prison dan teman-temannya bermain kejar-kejaran di halaman.
Tawa mereka berhenti saat langkah berat terdengar dari arah koridor.
"Hei! Kalian ngapain?!"
Pak N muncul lagi.
Sebelum sempat menjelaskan, prakkk! --- mistar kayu kembali menghantam lengan Prison.
Kayunya patah, tapi yang lebih patah adalah hatinya.
Malamnya, ia duduk di depan meja belajar kecil, menatap lampu Aladin yang bergoyang diterpa angin.
Air matanya menetes ke buku catatan yang mulai kusam.
Ayah masuk membawa segelas air hangat.
"Guru itu memukulmu lagi?"
"Iya, Yah. Aku tidak salah, tapi tetap dipukul. Nilai pelajaranku juga dibuat rendah."
Ayah terdiam lama.
"Nak, guru itu memang punya masalah dengan Ayah. Waktu itu, itik-itik kita masuk ke sawahnya. Ia marah besar. Ayah sudah minta maaf, tapi mungkin hatinya belum tenang. Mungkin... kemarahannya dilampiaskannya padamu."
Prison terdiam, menatap lantai.
Dadanya terasa sesak. Tapi ia tahu, Ayah tak bersalah.
"Jadi aku dipukul karena itik kita, Yah?"
"Ya, Nak. Tapi dengarkan Ayah baik-baik. Jangan balas kebencian dengan kebencian. Balaslah dengan prestasi. Biar waktu yang membuktikan siapa yang benar."
Prison menatap lampu Aladin. Cahayanya redup tapi tak padam.
"Aku akan buktikan, Yah. Aku akan tetap belajar, sekuat apa pun dunia mengujiku."
Cahaya Baru: Mimpi ke SMA
Menjelang kelulusan, semua siswa kelas III dikumpulkan di aula.
Kepala sekolah berdiri di depan, suaranya mantap.
"Anak-anakku, setelah lulus nanti, kalian mau melanjutkan ke mana?"
Satu per satu menjawab: ada yang ke pesantren, ada yang ingin membantu orang tua di sawah.
Ketika giliran Prison, ia berdiri dengan percaya diri.
"Saya mau melanjutkan ke SMA, Pak."
Semua kepala menoleh ke arahnya.
Beberapa teman berbisik pelan.
Kepala sekolah menatapnya heran.
"Kenapa SMA, Nak?"
"Karena saya ingin jadi dokter, Pak. Dan untuk itu, saya harus sekolah di SMA."
Kepala sekolah tersenyum kecil.
"Kalau begitu, kamu harus ikut EBTANAS. Tidak mudah, tapi kalau kamu yakin, berjuanglah. Buktikan bahwa anak madrasah juga bisa menembus SMA Negeri."
EBTANAS dan Doa
Hari ujian tiba.
Prison membawa pensil, penghapus, dan secarik kertas doa dari Ibu:
"Ya Allah, mudahkan langkah anakku. Jadikan setiap ilmunya cahaya, bukan beban."
Ia duduk di kursi kayu yang mulai rapuh.
Setiap kali ragu, ia mengingat pesan Ayah:
"Hidup bukan tentang siapa yang pintar, tapi siapa yang kuat bertahan."
Dan ia pun menjawab setiap soal dengan hati penuh keyakinan.
Kabar dari Kepala Sekolah
Beberapa minggu kemudian, Kepala Sekolah memanggilnya ke ruang kantor.
Dengan wajah tersenyum lebar, beliau berkata,
"Prison... selamat. Kamu satu-satunya siswa dari madrasah ini yang lolos ke SMA Negeri tahun ini."
Prison terdiam, matanya berkaca-kaca.
Air mata itu jatuh --- bukan karena luka, tapi karena bahagia.
"Terima kasih, Pak. Saya akan terus belajar."
"Buktikan, Nak," kata Kepala Sekolah. "Bahwa anak desa pun bisa menembus langit."
Cahaya yang Tak Pernah Padam
Ketika pulang membawa kabar itu, Ibu memeluknya erat.
Ayah menatapnya dengan mata berkilat penuh kebanggaan.
Malamnya, Prison kembali duduk di depan meja kecilnya.
Lampu Aladin menyala redup di hadapannya.
Ia menatap cahaya itu lama-lama, lalu berbisik pelan,
"Terima kasih, Ya Allah. Dari lampu kecil ini, aku belajar bahwa cahaya sejati bukan dari listrik... tapi dari hati yang tak pernah padam."
Dari ayam yang mati, lahir cita-cita yang hidup.
Dari luka, lahir kekuatan.
Dan dari cahaya kecil di rumah bambu, lahirlah sinar masa depan yang tak pernah padam.
Bersambung.....
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI