Tulisan ini berisi tentang hasil review saya terhadap karya ilmiah yang berjudul "DENDA DALAM BAI' BITSAMAN AJIL MENURUT FIQIH DAN FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL (DSN), 2019, yang ditulis oleh Aulil Amri, Fakultas Syari'ah dan Hukum, UIN Ar-Raniry. Tujuan review karya ilimiah ini adalah untuk meninjau denda yang diberikan suatu lemabaga hukum bisnis syariah di Indonesia.
Saya sebagai mahasiswa hukum islam menemukan bahwa dalam karya ilmiah yang ditulis oleh Aulil Amri yang berjudul DENDA DALAM BAI' BITSAMAN AJIL MENURUT FIQIH DAN FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL (DSN) terdapat denda menurut ulama fiqih. Hal tersebut disampaikan pada pembahasan di halaman 65. Menurut Yusuf Qaradhawi dalam bukunya yang berjudul Fatwa-Fatwa Kontemporer mengatakan bahwa sebagian ulama abad ini berpendapat bahwa jika orang yang berutang mempunyai hutang dan mampu membayar, namun iya mengulur-ngulur pembayaran, maka boleh mengambil denda darinya dan menganggap denda tesebut sebagai sedekah.
Selain menurut ulama fikih, didalam karya ilmiah itu juga menjelaskan sisi lain dari denda menurut fatwa Dewan Syariah Nasional. Dalam denda tersebut dikatakan ada beberapa ketentuan. Terdapat beberapa ketentuan dalam menerapkan sanksi kepada nasabah yang mampu tetapi menunda-nunda pembayaran tersebut. Ketentuan-ketentuan ini dibedakan menjadi dua yaitu ketentuan umum dan penyelesaian perselisihan. Isi dari ketentuan umum tersebut adalah sebagai berikut: (Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No: 17/DSN-MUI/ IX/ 2000)
- Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan LKS kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda dengan disengaja.
- Nasabah yang tidak atau belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi.
- Nasabah yang mampu yang menunda-nunda pembayaran dan tidak mempunyai kemauan untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi.
- Sanksi didasarkan atas prinsip ta'zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.
- Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.
- Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial. (Ada pada halaman 69).
Tidak ada larangan dalam menetapkan denda dalam Islam selama sanksi berupa denda ditetapkan atas dasar untuk melindungi hak kreditur dan adanya kesepakatan antar dua belah pihak pada awal akad. Hal ini sebagaimana fatwa DSN-MUI Nomor 17/DSN-MUI/IX/2000 yang berkenaan dengan sanksi berupa pengambilan denda atas nasabah yang menunda-nunda pembayaran hutangnya.
Dalam karya ilmiah tersebut dapat disumplkan bahwa Penerapan denda pada dasarnya sangat bermanfaat bagi pihak-pihak yang bertransaksi, khususnya pihak kreditur. Hal ini dikarenakan sering kali pihak debitur inkar janji dalam pemenuhan kewajibannya. Namun, penerapan denda hanya dapat dilakukan apabila pihak debitur tidak memiliki iktikad baik dalam pemenuhan kewajibannya membayar hutang padahal ia mampu untuk membayar.
Setelah mereview karya ilmiah diatas, bahwa pembaca perlu membandingkan dengan bacaan bacaan lainnya. Dan tidak terpaku pada dua pandangan saja. Seperti apa yang dijelaskan pada karya ilmiah diatas. Maka perlu bagi setiap pembaca agar membaca beberapa literatur lainnya mengenai masalah denda dalam lembaga syariah.