Mohon tunggu...
Izzuddin Rifqi
Izzuddin Rifqi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Hukum yang suka Sastra

Nggak Pernah Menang Kalau Ikutan Give Away

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Hantu Anak Kecil Tanpa Bola Mata di Ruangan Belakang Rumah

16 Juli 2020   17:03 Diperbarui: 16 Desember 2021   10:17 5363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Isu tersebut bermula dari kejadian yang dialami pria bernama Brian Bethel, pada tahun 1996, ia mengaku bertemu dengan dua bocah misterius (Wikipedia via liputan6)

Sekitar pertengahan bulan April, tepatnya dua minggu sebelum bulan Ramadhan, kisah mengerikan ini saya alami.

Awal mula cerita ini berangkat dari kebimbangan saya perihal pulang ke kampung halaman. Karena saat itu, kota yang saya tempati buat kuliah tergolong kota zona merah Covid-19. Sehingga hampir setiap hari, ibu saya selalu mengkhawatirkan kondisi saya. Mulai dari menanyakan kabar kesehatan hingga jadwal makan.

Tak jarang juga ibu menyuruh saya untuk pulang saja dari pada menghabiskan waktu di sana. Tapi saya enggan untuk memenuhi permintaanya. Sebab jika saya pulang, saya nggak akan bisa tidur seenaknya dan ngerokok jebal jebul seperti berada di kontrakan. Hehehe.

Saya pun selalu mencari alibi dalam perkara ini. Entah itu bilang "Banyak tugas yang harus diselesaikan bersama teman satu kontrakan," atau "Saya takut kalau pulang, nanti sinyal di kampung berbeda dengan sinyal ketika berada di Malang." Toh, uang kiriman juga masih ada. Nggak masalah makan sehari sekali, yang penting bisa nyeruput kopi sama ngerokok. Pikir saya waktu itu.

Sayangnya alasan saya itu menjadi basi, ketika di suatu hari ibu menelepon saya dengan mengatakan bahwa ia sudah tidak bisa mengirim uang lagi. Ya mau nggak mau akhirnya saya memilih untuk pulang kampung. Masa iya, tetap cengkal milih hidup bebas. Bisa-bisa mati kelaparan dong.

Setelah memilih untuk pulang ke kampung. Pertanyaan saya hanya satu, kira-kira bisa nggak saya untuk sementara waktu mengurangi ritus ngerokok? Lebih-lebih kalo bisa libur malah baik. Sebenarnya sih orang tua saya sudah tahu kalau saya ngerokok, cuma ada rasa nggak enak aja kalau kelihatan ngerokok di depan mereka. Soalnya bapak saya sendiri sudah lama pensiun jadi perokok.

Singkat cerita, saya kuat libur ngerokok hanya tiga hari saja. Hari keempat berada di rumah, sel-sel yang ada di tubuh saya seakan mengadakan demo besar-besaran, menuntut saya untuk melanjutkan kebijakan bebas ngerokok. 

Sebagai pemilik anggota tubuh yang sah, saya merasa bingung pol-polan. Kalau ngerokok saya harus cari warkop dulu, tapi melihat situasi saat itu -- lockdown, pastinya warkop pada tutup semua. Tapi kalau saya nggak ngerokok, sel-sel tubuh saya lama-lama akan ngambek dan mogok kerja.

Saya pun muter otak untuk mencari solusi agar tetap bisa ngerokok di sekitar rumah. Akhirnya, setelah melakukan meditasi dan berdialektika, saya menemukan satu solusi agar saya tetap bisa ngerokok. Iya, solusinya hanya satu; ngerokok di ruang belakang ketika jam 11 malam. Jam di mana keluarga saya sedang tidur pulas.

Sebenarnya saya sendiri orangnya licik dan penakut. Apalagi ruang belakang rumah saya punya sejarah yang suram. Ketika masih berupa lahan kosong yang biasa digunakan ibu menjemur pakaian, ruang belakang pernah ditumbuhi satu pohon mangga yang ukurannya cukup besar. Konon kata si penjual tanah, pohon itu nggak boleh dihilangkan, sebab ada "penunggu" yang nggak mau dipindah.

Namun ketika saya menginjak kelas 6 SD, bapak saya menginginkan agar lahan kosong itu direnovasi menjadi tempat menaruh perabotan rumah yang sudah tidak terpakai. Karena bapak juga tidak ingin mengubah fungsi semula, seperempat ruangan itu didesain tidak diberi atap asbes, agar tetap bisa digunakan untuk menjemur pakaian. 

Resikonya memang ketika turun hujan, otomatis air akan membasahi sebagian ruangan itu. Tapi nggak terlalu jadi masalah, sih. Karena bapak juga membuat lubang di sudut ruangan, sehingga ketika hujan airnya nggak sampai membanjiri ruangan.

Awalnya memang ada rasa takut dan kepikiran dengan mitos masa lalu. Berhubung sudah ngempet banget pengin ngerokok. Saya pun memberanikan diri untuk ngerokok di ruang belakang setiap jam 11 malam. 

Saya selalu berpikir positif dan menghibur diri; bahwa sesungguhnya hantu itu tidak ada. Yang ada hanya pikiran negatif saya, sehingga pikiran itu sendiri yang membentuk dan menghadirkan sosok-sosok hantu yang sering kita tonton di film-film horror.

Setelah beberapa hari ngerokok di sana, saya mulai merasa nyaman. Kekhawatiran tentang hal-hal aneh mulai berkurang. Ruang belakang seakan menjelma menjadi tempat paling nyaman yang pernah saya temui; membaca buku sambil menyeduh kopi dan menghisap beberapa batang rokok. Kenyamanan itu berlanjut hingga satu minggu bahkan lebih. Meski sunyi tapi nikmat sekali.

Dua hari sebelum memasuki bulan Ramadhan, hujan mengguyur cukup deras sejak sore. Beruntungnya, sekitar pukul 10 malam hujan berangsur reda. 

Ritual ngopi di ruang belakang tetap berjalan. Namun saya harus membersihkan sebagian ubin yang basah terkena air hujan. Setelah ubin bersih, ritual ngopi dimulai; menyulut batang rokok, menyeduh kopi dan membaca buku.

Di pertengahan membaca buku, tiba-tiba ada suara keras yang menghantam atap asbes ruang belakang. Saya sontak terkejut. Jantung saya berdegup kencang. Saya pandangi seluruh sudut ruangan. Saya tajamkan pendengaran. Tetapi tidak ada apa-apa. Pengin masuk ke kamar, tapi rokok kedua baru saja saya nyalakan. Mubadzir, kan. Sekalian aja saya habisin rokoknya, setelah itu masuk ke kamar.

Saat itu, perasaan saya sudah mulai tidak nyaman sekali. Aura yang saya rasakan beda dengan sebelumnya. Pikiran saya mulai menciptakan hal-hal aneh. 

Pandangan saya merasa sensitif ketika ada tikus atau cicak yang seliweran. Baca buku pun sudah tidak fokus. Hingga akhirnya leher saya mendadak dingin sekali, dingin yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Tangan kanan saya yang sedang membawa buku gemetar hebat. Pandangan saya pun perlahan saya lemparkan tepat di sudut ruangan itu.

 "Ya Allah...Astaghfirullah!" ucap saya terkejut. Seorang anak kecil terlihat jongkok berada di sudut ruangan. Tepatnya di depan sebelah kanan saya. Jaraknya tak jauh dari tempat saya duduk. Di rongga matanya, tampak kosong tak memiliki bola mata. Rambutnya lurus panjang sepunggung. Saya hanya berani memandanginya sepersekian detik. Saya berusah menjauh dengan gerakan tiarap. Tapi rasanya sangat berat. Saking takutnya, gelas yang berisi kopi tak sengaja saya tendang hingga pecah. Saya hanya bisa berucap "Ya Allah...Astaghfirullah" itu pun bisa terucap dalam hati. Berat sekali.

Setelah beberapa menit saya lihat sosok anak kecil tersebut, ternyata sudah tidak tampak lagi. Saya pun kemudian duduk dan mengatur nafas yang ngos-ngosan. Kepala masih terasa pusing. Keringat dingin terus bercucuran membasahi dada dan punggung saya. Meski hanya kelihatan sepersekian detik, rasanya kayak mau mati aja. Batin saya waktu itu.

Belum sampai tubuh saya kembali dalam keadaan normal. Tiba-tiba ada telapak tangan yang memegang bahu saya. Seketika tubuh terasa lemas dan saya tak mampu mengontrolnya lagi. Saya pun pingsan pada malam itu tanpa sempat mengetahui sosok di balik tangan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun