Pengetahuan seharusnya menjadi cahaya bagi masyarakat. Namun, sejarah dan kenyataan hari ini menunjukkan bahwa dalam banyak konteks, orang yang berpengetahuan justru dianggap sebagai ancaman. Membaca dan berpikir kritis bukan selalu dipandang sebagai kebiasaan terpuji, melainkan bisa dimaknai sebagai tindakan membahayakan terutama bagi kekuasaan yang dibangun atas dasar ketaatan buta.
Di Indonesia sendiri, fenomena ini tidak asing. Literasi yang rendah, pembatasan terhadap akses buku, pembungkaman terhadap suara-suara kritis, hingga budaya pendidikan yang menolak diskusi terbuka, menjadi bukti bahwa kemampuan berpikir tidak selalu dirayakan. Dalam sistem yang menuntut kepatuhan mutlak, berpengetahuan bisa dianggap dosa. Mereka yang mempertanyakan, justru dicurigai. Mereka yang tahu lebih banyak, kerap disalahkan.
Seolah-olah tidak ada gunanya jika berpengetahuan, membaca, atau bahkan sekedar berpikir untuk mempertanyakan. Kerap membungkam karena dirasa terlalu mengkritik dan lebih suka jika seseorang itu hanyalah seorang penonton yang sangat amat baik jika duduk saja dan mengamati. Jangan bersuara, tidak baik. Tidak perlu memberikan kritik, negara ini sudah sangat baik sekali tidak ada masalah apapun lagi. Dan jangan menyuarakan kebenaran, apa yang dilakukan oleh semua orang disini juga sudah benar, sudah ada di jalan yang benar.
Indonesia tidak bisa lepas dari kelamnya sejarah di masa lalu, buktinya saat ini pun masih terikat banyak gaya feodalisme dan pikiran kolot yang sungkan untuk berpikir karena takut dianggap aliran lain. Padahal justru itu yang menyelamatkan banyak pihak-pihak yang tidak bersalah untuk kebenaran.
Secara sosiologis, fenomena ini dapat dianalisis melalui teori konflik oleh Karl Marx. Dalam masyarakat, sudah pasti hukumnya ada kelompok yang menguasai alat produksi, termasuk produksi pengetahuan. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang netral
ia sering kali dijaga dan dikendalikan oleh kelompok dominan. Dengan membatasi akses masyarakat terhadap informasi dan pendidikan kritis, penguasa menjaga agar struktur kekuasaan tetap bertahan.
Michel Foucault, seorang filsuf asal jerman juga menekankan bahwa pengetahuan dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan. Siapa yang mengontrol pengetahuan, maka ia juga mengontrol "kebenaran" yang dipercayai masyarakat. Karena itu, ketika seseorang memiliki pengetahuan di luar yang ditentukan sistem, ia bisa dianggap menyimpang. Orang-orang yang membaca terlalu luas, berpikir terlalu bebas, atau berbicara terlalu jujur sering dicap sebagai pembangkang, bahkan kriminal.
Contoh nyatanya dapat dilihat dalam sejarah Indonesia maupun dunia; Pembredelan buku-buku yang dianggap "mengganggu stabilitas", Kriminalisasi terhadap peneliti, guru, jurnalis, atau mahasiswa karena menyuarakan kebenaran, dan Penolakan terhadap kurikulum yang mendorong berpikir kritis.
Dalam perspektif sosiologi pendidikan, Pierre Bourdieu juga menawarkan konsep penting tentang kekuasaan simbolik dan habitus. Bourdieu berpendapat bahwa sekolah bukanlah lembaga netral, melainkan ruang reproduksi sosial yang memperkuat dominasi kelompok tertentu. Sistem pendidikan membentuk habitus, atau kecenderungan berpikir dan bertindak, yang membuat individu secara tidak sadar menerima norma-norma yang menguntungkan kelas penguasa. Hal ini menjelaskan mengapa siswa dari kalangan tertentu lebih mudah menyesuaikan diri dengan sistem, sementara siswa dari latar belakang yang berbeda dianggap "bermasalah" atau "tidak sesuai". Literasi kritis tidak berkembang bukan karena siswa tidak mampu, tapi karena sistem tidak membuka ruang untuk itu.
Di ruang kelas pun sering terjadi: siswa diajarkan untuk menghafal, bukan memahami. Bertanya kadang dianggap mengganggu, dan berpikir beda sering disalahkan. Padahal, inilah akar dari generasi yang kehilangan keberanian untuk berpikir.