Generasi yang dididik tanpa adanya keberanian untuk berpikir kritis dan mempertanyakan akan berakhir menjadi manusia tanpa arah yang kerap terbawa arus sana sini, bahkan bisa mengorbankan kemanusiaannya jika sudah ada di ujung tanduk hidupnya. Ia akan menjadi sosok yang untuk mengambil keputusan bermanfaat bagi dirinya pun tidak mampu karena bekalnya saja tidak pernah diasah bahkan tidak pernah diperkenalkan karena dianggap mengancam stabilitas dan hal itu perlu di kontrol oleh atas.
Dalam konteks Indonesia, pembatasan kebebasan berpikir bukan sekadar isapan jempol. Kita bisa melihat bagaimana isu-isu sensitif seperti ketimpangan sosial, sejarah kelam bangsa, atau kritik terhadap kebijakan pemerintah seringkali ditanggapi dengan pelarangan diskusi, tekanan terhadap akademisi, atau bahkan kriminalisasi. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan masih sangat selektif dalam menentukan "pengetahuan mana yang sah" dan "pikiran mana yang dianggap berbahaya". Dalam masyarakat seperti ini, orang-orang yang mencoba menggugat ketidakadilan akan diposisikan sebagai musuh, bukan sebagai pembaharu.
Dalam masyarakat modern yang seharusnya menjunjung demokrasi, fenomena ini sangat mengkhawatirkan. Karena sesungguhnya, demokrasi tidak cukup hanya dengan pemilu atau kebebasan berserikat, tetapi juga butuh ruang-ruang aman untuk berpikir. Sekolah dan kampus seharusnya menjadi tempat paling aman untuk berbicara jujur, bukan tempat untuk ditakuti karena berpikir beda. Tapi jika para siswa dan mahasiswa dilatih untuk takut, maka mereka tidak akan pernah menjadi bagian dari perubahan hanya bagian dari pengulangan.
Semakin memikirkan kapan Negeri Ibu Pertiwi ini pulih? Dan apakah benar bisa pulih?
Pendidikan seharusnya menjadi ruang pembebasan, bukan penjinakan. Ketika seorang siswa diberi kesempatan membaca, bertanya, dan berdialog, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang sadar dan kritis. Namun kenyataannya, sistem pendidikan kita sering kali hanya menyiapkan siswa untuk mengikuti perintah, bukan menantang ketimpangan.
Literasi di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan seperti masih banyak akses yang timpang antara kota dan desa, antara kaya dan miskin, kerap praktik Budaya belajar yang pasif yang mengutamakan nilai daripada pemahaman, Minimnya keberanian guru untuk mendukung kebebasan berpikir karena takut dianggap "melawan arus".
Pendidikan yang anti-kritis akan menciptakan masyarakat yang mudah diatur, namun juga mudah dibohongi. Ketika siswa tidak diajarkan cara berpikir, maka dewasa nanti mereka tidak tahu bagaimana mempertanyakan ketidakadilan. Jika kita berefleksi terkait pentingnya membaca dan berpikir itu apa yang akan mengubah hidup kita? Mungkin sebagian masyarakat di indonesia merasa bahwa "bekal bertanya dan berpikir" itu tidak penting karena tidak diajarkan oleh sekolah dan di dunia kerja tidak dipakai, lebih baik menjadi orang yang nurut-nurut saja dan ikut apa kata orang supaya hidup aman tentram tidak ada salah.
Lucu sekali, jika melarat nanti mereka akan teriak-teriak menyalahkan orang lain. Memang ada salah di orang lain yaitu pemerintah yang salah fokus pada targetnya dan sibuk membesarkan kekuasaan yang malah menghancurkan banyak aspek hidup.
"Pendidikan yang sehat harus mengakui bahwa membaca dan berpikir bukan ancaman, tetapi kebutuhan. Guru bukan penguasa kebenaran, melainkan pembimbing pencarian. Sekolah bukan pabrik nilai, tetapi tempat menumbuhkan kesadaran" ini adalah harapan dari setiap orang dan siapapun yang memperjuangkan pendidikan dan makna akan kebenaran itu sendiri. Sebuah kalimat yang cantik dan menghangatkan hati, akan tetapi dikhawatirkan akan sosok-sosok generasi yang mengancam stabilitas yang sudah susah payah dibangun untuk kenyamanan sebagian pihak, mereka tidak peduli bagaimana sebagian yang bukan dari mereka hidup tapi perlawanan yang sadar harus memperjuangkan kebenaran realita.
Apa daya Indonesia teriak keras toleransi dan menghargai perbedaan? Tapi kenyataanya tidak! Banyak yang tidak menghargai perbedaan pikiran, langsung di cap aliran tertentu dan tidak nasionalis! Bukan warga negara indonesia yang berbakti mencintai negaranya. Lebih baik seragam padahal ada slogan indonesia keberagaman, mengapa oh mengapa? Kondisi ibu pertiwi seperti ini.
Mungkin itulah sebabnya banyak orang pandai justru kehilangan keberanian untuk jujur. Karena sejak kecil, kita dibiasakan diam, bukan bersuara.