Beberapa tahun terakhir, tren lari kian menjamur di kalangan anak muda, terutama sejak media sosial menjadi etalase utama gaya hidup sehat. Tak hanya sebagai ajang pamer penampilan atau prestasi jarak tempuh, lari kini menjelma sebagai simbol gaya hidup aktif dan positif. Dengan berbekal sepatu olahraga, pakaian stylish, dan aplikasi pelacak lari, generasi muda berbondong-bondong memenuhi jalanan, taman kota, hingga stadion di pagi atau sore hari.
Fenomena ini menunjukkan bahwa tren yang berasal dari media sosial ternyata bisa berdampak baik, bukan hanya secara fisik tapi juga secara mental dan sosial. Lari kini bukan sekadar olahraga, tapi sudah menjadi bagian dari identitas dan rutinitas banyak anak muda urban.
Gaya Hidup Sehat Lewat Media Sosial
Tren lari yang tengah viral ini tidak lepas dari peran media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Strava. Para pelari muda membagikan rutinitas olahraga mereka, lengkap dengan statistik jarak tempuh, waktu, bahkan pemandangan rute yang dilalui. Caption inspiratif dan tagar seperti #larihariini, #runningcommunity, atau #saturun menjadi penyemangat antar pengguna.
Alih-alih dianggap pamer, banyak warganet justru merasa termotivasi. Unggahan soal lari perlahan menjadi dorongan positif bagi orang lain untuk ikut bergerak. Mereka yang awalnya hanya menonton kini tertarik mencoba. Lari pun menjelma jadi ajang "healing" yang menyenangkan dan menyehatkan.
Lari sebagai Bentuk Self-Care
Tidak sedikit anak muda yang mengaku mulai rutin berlari sebagai bentuk perawatan diri (self-care). Aktivitas ini memberikan ruang untuk menjernihkan pikiran, mengurangi stres, dan meningkatkan suasana hati. Saat tubuh aktif bergerak, hormon endorfin meningkat, menciptakan perasaan bahagia dan tenang.
Bagi banyak pelari pemula, lari bukan soal kecepatan atau jarak, tapi soal konsistensi. Mereka berlari tidak untuk berkompetisi, tetapi untuk mencintai diri sendiri. Hal ini membuat lari terasa lebih inklusif, karena siapa pun bisa mulai kapan saja tanpa perlu peralatan mahal atau keahlian khusus.
Komunitas Lari Semakin Berkembang
Dampak positif lainnya dari tren ini adalah munculnya banyak komunitas lari di berbagai kota, termasuk di Yogyakarta. Komunitas seperti Lari Sore Jogja, Run With Us, hingga Sunday Morning Jogger aktif mengadakan kegiatan lari bareng, baik secara formal maupun informal. Kegiatan ini tidak hanya mempererat hubungan sosial antaranggota, tetapi juga menciptakan ekosistem olahraga yang mendukung.
Lewat komunitas, para pelari bisa saling menyemangati, berbagi tips, hingga mengikuti agenda lari bersama seperti fun run, charity run, atau lomba maraton. Kebersamaan dan semangat gotong royong yang terbentuk dari komunitas ini menjadi nilai lebih yang tidak bisa ditemukan saat berlari sendirian.
Lari dan Kesadaran Lingkungan
Beberapa komunitas lari bahkan menggabungkan olahraga dengan aksi lingkungan. Kegiatan plogging (berlari sambil memungut sampah) mulai digencarkan di berbagai kota. Dengan memadukan aktivitas fisik dan kepedulian lingkungan, anak muda menunjukkan bahwa tren positif juga bisa membawa dampak sosial yang nyata.
Tren ini juga menumbuhkan kesadaran akan ruang terbuka hijau. Banyak pelari yang akhirnya terlibat dalam kampanye pelestarian taman kota dan jalur pedestrian yang ramah pejalan kaki. Lari bukan hanya soal tubuh, tapi juga soal ruang publik yang sehat dan inklusif.
Tidak Sekadar Tren Sementara
Meski awalnya viral dan mengikuti arus media sosial, tren lari ternyata memiliki potensi untuk bertahan lama. Hal ini karena dampaknya yang langsung terasa: tubuh jadi lebih bugar, pikiran lebih tenang, dan kehidupan sosial lebih aktif. Banyak pelari pemula yang akhirnya menjadikan lari sebagai kebiasaan, bukan sekadar tren sesaat.