Sikap ini mengacu pada kepedulian terhadap lingkungan dan kondisi yang ada. Orang yang "gati" peka terhadap perubahan, baik itu dalam keluarga, masyarakat, maupun alam. Mereka tidak akan bersikap acuh tak acuh, melainkan berupaya untuk memahami dan memberikan kontribusi positif sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan.
Falsafah Jawa mengajarkan bahwa dengan bersikap "gati," seseorang akan menjadi pribadi yang bertanggung jawab, dapat diandalkan, dan memiliki nilai kemanusiaan yang tinggi. Sikap ini adalah perwujudan dari rasa syukur dan pengabdian.
Seseorang yang memiliki sikap "gati" akan lebih dihargai dan dihormati oleh orang lain karena ketulusan dan kepedulian mereka. Sebaliknya, orang yang tidak "gati" atau acuh tak acuh sering kali dianggap sebagai pribadi yang kurang peka dan egois.
Kelima, dadi wong kudu migunani (menjadi orang yang bermanfaat)
Â
Dalam falsafah Jawa, konsep "migunani" memiliki makna yang sangat luhur dan dianggap sebagai tujuan tertinggi dari kehidupan manusia.
Secara harfiah, "migunani" berarti bermanfaat atau berguna. Namun, dalam konteks falsafah, maknanya jauh lebih dalam, yaitu menjadikan diri sebagai sumber kebaikan dan manfaat bagi orang lain, masyarakat, bahkan alam semesta.
Makna "Migunani" dalam Kehidupan Sehari-hari
Sikap "migunani" bukan hanya tentang melakukan perbuatan baik sesekali, tetapi menjadikannya sebagai prinsip hidup yang terus-menerus. Ini bisa diwujudkan dalam berbagai cara:
Migunani marang Sesama (Bermanfaat bagi Sesama): Ini adalah esensi dari "migunani." Seseorang yang migunani akan selalu berusaha membantu orang lain, baik dengan tenaga, pikiran, maupun harta. Mereka tidak mengharapkan imbalan, karena kebahagiaan mereka berasal dari melihat orang lain terbantu. Ini bisa berupa hal-hal sederhana seperti memberikan nasihat, membantu tetangga, atau menyumbang untuk kegiatan sosial. Ini selaras dengan pesan Rasulullah SAW bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain.
Â