Menjalani kehidupan tentu memerlukan pedoman yang baik dan benar. Sebagai seorang muslim pedoman kita bersumber dari Alqur'an dan Hadist Nabi SAW.
Tanpa bermaksud untuk ashobiyyah atau kesukuan, tulisan ini hanya mengajak kepada kebaikan yang kebetulan bersumber dari kakek nenek moyang kami yang berasal dari Jawa.
Ada lima falsafah Jawa yang sangat baik dan relevan bila diterapkan dalam kehidupan.
Pertama, dadi wong iku kudu ngerti (menjadi orang itu harus mengerti).
Dalam falsafah Jawa, konsep "ngerti" memiliki makna yang sangat mendalam dan luas, jauh lebih dari sekadar "mengerti" dalam arti harfiah.
Ngerti di sini tidak hanya tentang pemahaman intelektual, tetapi juga menyangkut kesadaran, kebijaksanaan, dan pemahaman yang utuh tentang diri sendiri, orang lain, dan alam semesta.
Secara umum, "ngerti" bisa dipecah menjadi beberapa lapisan makna:
Ngerti Diri Sendiri (Ngerti Sangkan Paraning Dumadi).Â
Ini adalah lapisan pertama dan paling fundamental. Ngerti diri sendiri berarti memahami asal-usul (sangkan) dan tujuan hidup (paran) kita. Ini melibatkan kesadaran akan siapa kita, apa kelebihan dan kekurangan kita, serta apa tujuan hidup kita yang sesungguhnya. Tanpa ngerti diri sendiri, kita akan mudah tersesat dan kehilangan arah.
Â
Ngerti Kahanan (Memahami Keadaan)
Ngerti juga berarti peka dan sadar terhadap lingkungan sekitar. Ini mencakup pemahaman tentang situasi, kondisi sosial, dan emosi orang lain. Orang yang "ngerti" tidak akan bersikap egois atau seenaknya, melainkan mampu menyesuaikan diri dan bertindak bijaksana sesuai dengan kondisi yang ada.
Â
Ngerti Wayahe (Memahami Waktunya)
Ini berkaitan dengan pemahaman tentang kapan harus bertindak, kapan harus diam, dan kapan harus sabar. Orang yang "ngerti wayahe" tahu kapan saatnya untuk berjuang keras dan kapan saatnya untuk melepaskan. Mereka memiliki insting dan kebijaksanaan untuk menempatkan segala sesuatu pada proporsi dan waktu yang tepat.
Ngerti Suba-sita (Memahami Etika dan Tata Krama)
Ngerti juga sangat terkait dengan perilaku dan etika. Ini adalah tentang memahami tata krama, sopan santun, dan bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain, terutama yang lebih tua atau yang memiliki kedudukan lebih tinggi. Ini adalah manifestasi dari pemahaman bahwa setiap orang memiliki peran dan tempatnya masing-masing.
Falsafah Jawa mengajarkan bahwa dengan menjadi "ngerti," seseorang akan mencapai keseimbangan dan ketenangan batin. Orang yang "ngerti" tidak akan mudah terombang-ambing oleh nafsu atau godaan dunia. Mereka mampu hidup dengan harmoni, baik dengan dirinya sendiri, orang lain, maupun alam.
Kedua, dadi wong kudu ati-ati (menjadi orang harus hati-hati)
Dalam falsafah Jawa, sikap "ati-ati" memiliki makna yang jauh lebih dalam dari sekadar berhati-hati dalam arti harfiah.
"Ati-ati" secara harfiah berarti "menggunakan hati," yang mengisyaratkan bahwa setiap tindakan dan keputusan harus didasari oleh pertimbangan yang matang, bukan sekadar naluri atau emosi sesaat.
Falsafah ini mengajak seseorang untuk selalu teliti, cermat, dan waspada dalam menjalani hidup.
Sikap "ati-ati" ini tidak hanya berlaku untuk hal-hal besar, tetapi juga dalam setiap langkah kecil yang diambil, setiap kata yang diucapkan, dan setiap niat yang terbesit di hati.
Ati-ati dalam Berpikir (Waspada Pikiran)
Ini adalah pondasi dari semua tindakan. Falsafah Jawa mengajarkan bahwa pikiran adalah sumber dari segala perbuatan. Ati-ati dalam berpikir berarti tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif, tidak serakah, dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Sebelum bertindak, seseorang harus "nggagas" (merenungkan) dengan hati yang jernih.
Ati-ati dalam Berbicara (Waspada Ucapan)
Lidah lebih tajam dari pedang. Pepatah ini sangat relevan dengan makna "ati-ati". Orang Jawa percaya bahwa ucapan memiliki kekuatan untuk membangun atau menghancurkan. Oleh karena itu, seseorang harus sangat berhati-hati dalam berbicara, menjaga lisan agar tidak menyakiti orang lain atau menimbulkan fitnah.
Â
Ati-ati dalam Bertindak (Waspada Perbuatan)
Ini adalah manifestasi nyata dari hati yang "ati-ati". Setiap perbuatan harus dipertimbangkan dampaknya, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Sikap ini mendorong seseorang untuk bertanggung jawab, tidak merugikan, dan selalu mengutamakan kebaikan bersama. "Alon-alon waton kelakon" (pelan-pelan asal tercapai) adalah salah satu perwujudan dari sikap ini, yang mengutamakan keselamatan dan hasil yang baik daripada kecepatan yang berisiko.
Falsafah ini menekankan bahwa setiap perbuatan, baik atau buruk, akan membawa konsekuensinya sendiri. Ada pepatah Jawa yang berbunyi, "Yitna yuwana, lena kena," yang artinya "yang hati-hati akan selamat, yang lengah akan celaka."
Ketiga, dadi wong kudu jaga lathi (menjadi orang harus bisa menjaga lisan)
Dalam falsafah Jawa, "jaga lathi" memiliki makna yang sangat mendalam dan penting, jauh melampaui sekadar menjaga ucapan.
Secara harfiah, "jaga lathi" berarti "menjaga lidah," tetapi maknanya mencakup pengendalian diri, kebijaksanaan dalam bertutur kata, dan kesadaran akan dampak dari setiap ucapan.
Makna "Jaga Lathi" dalam Falsafah Jawa
Mengendalikan Ucapan: Ini adalah makna yang paling mendasar. "Jaga lathi" berarti berpikir sebelum berbicara. Falsafah ini mengajarkan bahwa setiap kata yang keluar dari mulut harus dipertimbangkan dengan matang. Tujuannya adalah untuk menghindari ucapan yang dapat menyakiti, memfitnah, atau merusak hubungan dengan orang lain.
Â
Menghindari Kesombongan dan Pamer: Orang yang "jaga lathi" tidak akan membanggakan diri, menyombongkan kekayaan atau kedudukan, atau merendahkan orang lain. Mereka sadar bahwa pamer hanya akan menimbulkan iri hati dan kebencian.
Â
Menjaga Rahasia dan Kepercayaan: "Jaga lathi" juga berarti mampu menjaga rahasia, baik rahasia diri sendiri maupun rahasia orang lain. Ini adalah bentuk integritas dan tanggung jawab. Seseorang yang dapat menjaga rahasia menunjukkan bahwa mereka dapat dipercaya dan diandalkan.
Â
Berbicara Hal yang Bermanfaat: Falsafah ini menekankan bahwa ucapan harus memiliki nilai dan manfaat. Lebih baik diam daripada berbicara hal yang tidak penting, sia-sia, atau bahkan merugikan. "Jaga lathi" mendorong seseorang untuk hanya berbicara jika ucapan tersebut membawa kebaikan atau pencerahan.
Ada pepatah yang mengatakan, "ajining dhiri dumunung ana ing lathi," yang berarti "harga diri seseorang terletak pada lisannya." Ini menekankan bahwa ucapan adalah cerminan dari karakter dan batin seseorang.
Seseorang yang tidak mampu "jaga lathi" dianggap sebagai pribadi yang tidak bijaksana dan tidak dewasa. Sebaliknya, orang yang mampu mengendalikan lisannya akan dihormati, dipercaya, dan dihargai.
Dengan "jaga lathi," seseorang dapat menjaga keharmonisan hubungan sosial, menghindari konflik, dan menunjukkan kematangan spiritual.
Keempat, dadi wong kudu gati (menjadi orang harus peduli)
Dalam falsafah Jawa, konsep "gati" memiliki makna yang sangat kaya dan sering kali digunakan bersama dengan konsep lain seperti "ngerti" dan "ati-ati."
Gati secara harfiah berarti "peduli," tetapi dalam konteks falsafah Jawa, maknanya meluas menjadi perhatian yang mendalam, keseriusan, dan kepedulian yang tulus terhadap sesuatu atau seseorang.
Makna "Gati" dalam Berbagai Konteks
Gati marang Liyan (Peduli terhadap Orang Lain)
Ini adalah inti dari sikap "gati." Orang yang "gati" memiliki empati dan kepedulian yang tulus terhadap perasaan, kesulitan, dan kebutuhan orang lain. Mereka tidak hanya mementingkan diri sendiri, tetapi juga peka terhadap kondisi di sekitar mereka. Sikap ini mendorong seseorang untuk saling tolong-menolong dan menjaga harmoni sosial.
Gati marang Gawean (Serius dalam Bekerja)
"Gati" juga berlaku untuk pekerjaan atau tugas yang diemban. Maknanya adalah melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh, teliti, dan penuh tanggung jawab. Orang yang "gati" tidak akan mengerjakan sesuatu dengan asal-asalan, melainkan memberikan perhatian penuh untuk mencapai hasil terbaik. Hal ini mencerminkan integritas dan profesionalisme.
Gati marang Kahanan (Peduli terhadap Situasi)
Sikap ini mengacu pada kepedulian terhadap lingkungan dan kondisi yang ada. Orang yang "gati" peka terhadap perubahan, baik itu dalam keluarga, masyarakat, maupun alam. Mereka tidak akan bersikap acuh tak acuh, melainkan berupaya untuk memahami dan memberikan kontribusi positif sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan.
Falsafah Jawa mengajarkan bahwa dengan bersikap "gati," seseorang akan menjadi pribadi yang bertanggung jawab, dapat diandalkan, dan memiliki nilai kemanusiaan yang tinggi. Sikap ini adalah perwujudan dari rasa syukur dan pengabdian.
Seseorang yang memiliki sikap "gati" akan lebih dihargai dan dihormati oleh orang lain karena ketulusan dan kepedulian mereka. Sebaliknya, orang yang tidak "gati" atau acuh tak acuh sering kali dianggap sebagai pribadi yang kurang peka dan egois.
Kelima, dadi wong kudu migunani (menjadi orang yang bermanfaat)
Â
Dalam falsafah Jawa, konsep "migunani" memiliki makna yang sangat luhur dan dianggap sebagai tujuan tertinggi dari kehidupan manusia.
Secara harfiah, "migunani" berarti bermanfaat atau berguna. Namun, dalam konteks falsafah, maknanya jauh lebih dalam, yaitu menjadikan diri sebagai sumber kebaikan dan manfaat bagi orang lain, masyarakat, bahkan alam semesta.
Makna "Migunani" dalam Kehidupan Sehari-hari
Sikap "migunani" bukan hanya tentang melakukan perbuatan baik sesekali, tetapi menjadikannya sebagai prinsip hidup yang terus-menerus. Ini bisa diwujudkan dalam berbagai cara:
Migunani marang Sesama (Bermanfaat bagi Sesama): Ini adalah esensi dari "migunani." Seseorang yang migunani akan selalu berusaha membantu orang lain, baik dengan tenaga, pikiran, maupun harta. Mereka tidak mengharapkan imbalan, karena kebahagiaan mereka berasal dari melihat orang lain terbantu. Ini bisa berupa hal-hal sederhana seperti memberikan nasihat, membantu tetangga, atau menyumbang untuk kegiatan sosial. Ini selaras dengan pesan Rasulullah SAW bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain.
Â
Migunani marang Lingkungan (Bermanfaat bagi Lingkungan): Falsafah ini juga mengajarkan pentingnya menjaga alam. Manusia harus menjadi bagian yang memberikan manfaat bagi lingkungan, bukan merusaknya. Contohnya adalah menjaga kebersihan, menanam pohon, atau menggunakan sumber daya alam dengan bijak.
Â
Migunani marang Bangsa lan Negara (Bermanfaat bagi Bangsa dan Negara): Dalam skala yang lebih besar, "migunani" berarti berkontribusi positif untuk kemajuan bangsa. Ini bisa melalui pekerjaan yang jujur, menciptakan inovasi, atau berpartisipasi aktif dalam membangun masyarakat yang lebih baik.
Falsafah Jawa mengajarkan bahwa hidup yang bermakna bukanlah hidup yang hanya mementingkan diri sendiri. Manusia dianggap sempurna ketika ia bisa menjadi "manungsa," yaitu makhluk yang "migunani."
Pepatah Jawa yang terkenal, "urip iku urup," memiliki makna yang sangat erat dengan "migunani." Artinya, "hidup itu menyala," yaitu hidup harus bisa memberikan cahaya atau manfaat bagi orang lain. Hidup yang tidak "migunani" dianggap sebagai hidup yang sia-sia atau tidak memiliki arti.
Pada intinya, "migunani" adalah ajaran untuk menempatkan keberadaan diri sebagai alat untuk memberikan kebaikan, bukan untuk menumpuk kekayaan atau kekuasaan pribadi. Ini adalah panggilan untuk hidup dengan tujuan yang lebih besar dari diri sendiri.
Semoga kita bisa menjadi manusia yang pandai memahami keadaan, berhati-hati dalam hal apapun, peduli terhadap orang lain serta bermanfaat bagi sesama maupun lingkungan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI