Dalam falsafah Jawa, "jaga lathi" memiliki makna yang sangat mendalam dan penting, jauh melampaui sekadar menjaga ucapan.
Secara harfiah, "jaga lathi" berarti "menjaga lidah," tetapi maknanya mencakup pengendalian diri, kebijaksanaan dalam bertutur kata, dan kesadaran akan dampak dari setiap ucapan.
Makna "Jaga Lathi" dalam Falsafah Jawa
Mengendalikan Ucapan: Ini adalah makna yang paling mendasar. "Jaga lathi" berarti berpikir sebelum berbicara. Falsafah ini mengajarkan bahwa setiap kata yang keluar dari mulut harus dipertimbangkan dengan matang. Tujuannya adalah untuk menghindari ucapan yang dapat menyakiti, memfitnah, atau merusak hubungan dengan orang lain.
Â
Menghindari Kesombongan dan Pamer: Orang yang "jaga lathi" tidak akan membanggakan diri, menyombongkan kekayaan atau kedudukan, atau merendahkan orang lain. Mereka sadar bahwa pamer hanya akan menimbulkan iri hati dan kebencian.
Â
Menjaga Rahasia dan Kepercayaan: "Jaga lathi" juga berarti mampu menjaga rahasia, baik rahasia diri sendiri maupun rahasia orang lain. Ini adalah bentuk integritas dan tanggung jawab. Seseorang yang dapat menjaga rahasia menunjukkan bahwa mereka dapat dipercaya dan diandalkan.
Â
Berbicara Hal yang Bermanfaat: Falsafah ini menekankan bahwa ucapan harus memiliki nilai dan manfaat. Lebih baik diam daripada berbicara hal yang tidak penting, sia-sia, atau bahkan merugikan. "Jaga lathi" mendorong seseorang untuk hanya berbicara jika ucapan tersebut membawa kebaikan atau pencerahan.
Ada pepatah yang mengatakan, "ajining dhiri dumunung ana ing lathi," yang berarti "harga diri seseorang terletak pada lisannya." Ini menekankan bahwa ucapan adalah cerminan dari karakter dan batin seseorang.