Seseorang yang tidak mampu "jaga lathi" dianggap sebagai pribadi yang tidak bijaksana dan tidak dewasa. Sebaliknya, orang yang mampu mengendalikan lisannya akan dihormati, dipercaya, dan dihargai.
Dengan "jaga lathi," seseorang dapat menjaga keharmonisan hubungan sosial, menghindari konflik, dan menunjukkan kematangan spiritual.
Keempat, dadi wong kudu gati (menjadi orang harus peduli)
Dalam falsafah Jawa, konsep "gati" memiliki makna yang sangat kaya dan sering kali digunakan bersama dengan konsep lain seperti "ngerti" dan "ati-ati."
Gati secara harfiah berarti "peduli," tetapi dalam konteks falsafah Jawa, maknanya meluas menjadi perhatian yang mendalam, keseriusan, dan kepedulian yang tulus terhadap sesuatu atau seseorang.
Makna "Gati" dalam Berbagai Konteks
Gati marang Liyan (Peduli terhadap Orang Lain)
Ini adalah inti dari sikap "gati." Orang yang "gati" memiliki empati dan kepedulian yang tulus terhadap perasaan, kesulitan, dan kebutuhan orang lain. Mereka tidak hanya mementingkan diri sendiri, tetapi juga peka terhadap kondisi di sekitar mereka. Sikap ini mendorong seseorang untuk saling tolong-menolong dan menjaga harmoni sosial.
Gati marang Gawean (Serius dalam Bekerja)
"Gati" juga berlaku untuk pekerjaan atau tugas yang diemban. Maknanya adalah melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh, teliti, dan penuh tanggung jawab. Orang yang "gati" tidak akan mengerjakan sesuatu dengan asal-asalan, melainkan memberikan perhatian penuh untuk mencapai hasil terbaik. Hal ini mencerminkan integritas dan profesionalisme.
Gati marang Kahanan (Peduli terhadap Situasi)