Mohon tunggu...
Yulia Bachar
Yulia Bachar Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Multipotentialite

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Fenomena Dimas Kanjeng dan Realitas Ponzi Madoff, Sebuah Kisah Abadi

2 Oktober 2016   21:58 Diperbarui: 3 Oktober 2016   09:57 1458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dimas Kanjeng Taat Pribadi saat masih memimpin padepokan dan memiliki banyak santri. (Ist)

Dahulu kala, tersebutlah seorang pakar yang dianggap mampu menggandakan uang. Namanya Bernard Lawrence Madoff. Dia menggunakan metode perhitungan investasi yang canggih untuk mempesona para korbannya. Perusahaannya berdiri cukup lama, puluhan tahun kabarnya. Reputasinya juga luar biasa, dana yang terhimpun begitu banyaknya. Nasabahnya mencapai ribuan, mulai dari perorangan, pensiunan, sampai badan amal dari berbagai negara. Intinya mereka adalah orang-orang pintar yang ingin asetnya berlipat ganda.

Madoff sendiri bahkan pernah menduduki posisi yang cukup penting di bursa dunia. Sehingga lengkaplah sudah semua atribut/reputasi yang diperlukan untuk menarik dana. Semua percaya dan tidak ada yang curiga. Mereka tidak mengira bahwa ini adalah kebohongan belaka. Entah bagaimana, lembaga pemeriksa pun tidak menemukan hal-hal yang mencurigakan pada awalnya.

Namun seorang ahli forensic accounting & financial fraud Harry Markopolos mencurigai hasil investasi yang luar biasa dan mengungkap kemungkinan adanya skema ponzi di dalamnya. Tiga kali Markopolos memperingatkan pengawas yang berwenang pada 2000, 2001, dan 2005 dengan bukti-bukti yang ia temukan, namun tidak digubris. Tak seorang pun percaya kepada sang whistle blower, entah karena pengawasnya kurang paham atau karena semua terlena dan ingin mimpinya jadi nyata.

Apa yang kemudian terungkap di tahun 2008 menjadi sebuah realitas yang pahit. Singkat cerita, imbal hasil investasi yang dijanjikan tak sesuai dengan rencana. Investor pun mulai bertanya-tanya. Pada waktu itu, perekonomian dunia memang sedang lesu sehingga cash flow Madoff pun terganggu.

Akhirnya Madoff mengaku bahwa skema yang diadopsi untuk mengelola investasinya adalah Ponzi, sebuah modus investasi yang membayarkan keuntungan kepada investor dari uang investor sendiri atau dari uang yang dibayarkan investor berikutnya. Madoff pun diganjar hukuman 150 tahun penjara pada 2009 dengan kerugian mencapai USD 64 Milyard. Nasabahnya banyak yang bangkrut dibuatnya. Bahkan, konon ada yang terkena serangan jantung dan ada yang sampai bunuh diri karenanya.

Sekian tahun kemudian, muncul Dimas Kanjeng di Indonesia. Mungkin orang sudah lupa dengan kisah Madoff atau mungkin karena kejadiannya jauh di Amerika. Tapi fenomena Dimas Kanjeng dan Madoff ini merupakan kisah abadi. Madoff menggunakan perhitungan investasi yang canggih dan membuktikan pengembalian investasi dalam periode yang cukup lama, sedangkan Dimas Kanjeng menggunakan metode lintas dimensi (entah apa istilahnya), tapi intinya adalah meyakinkan pengikutnya secara visual sehingga mereka mau bergabung dalam kelompoknya. Keduanya berhasil menarik pengikut yang mencapai ribuan orang, menarik dana masyarakan secara masif dan memukau imajinasi pengikutnya.

Madoff bertahan hingga puluhan tahun hingga akhirnya terbuka kedoknya, bukan karena laporan Markopolos, namun karena perkembangan mekanisme penggandaan uang yang tidak sempurna hingga akhirnya kebenaran terungkap dengan sendirinya. Sementara itu, Dimas Kanjeng konon telah merekrut puluhan ribu pengikut dan mengumpulkan dana ratusan miliar rupiah, bahkan mungkin triliunan rupiah, konon Padepokannya sudah ada sejak tahun 2006. Sebelum akhirnya terungkap kasusnya baru-baru ini karena tercium kasus pembunuhan.

Pada kasus Madoff, ketika sang Whistle Blower Markopolos mencurigai kinerjanya, dengan metode ilmu pengetahuannya yang lebih canggih, melaporkannya ke otoritas pengawas terkait. Madoff diam saja, Otoritas pengawas juga tak terlalu menghiraukan laporannya. Namun pada Dimas Kanjeng, ketika dua orang pengikutnya dianggap menghambat aktivitasnya, mereka langsung dihabisi.

Imajinasi saya menduga Dimas Kanjeng juga menggunakan skema Ponzi (seperti yang dilakukan Madoff) dalam mekanisme pengadaan uangnya, atau boleh jadi dia terlibat dalam mekanisme pemalsuan uang, atau bisa juga merupakan mekanisme pencucian uang, bahkan bisa jadi ini mekanisme pengadaan uang (artinya pengadaan uang baru dengan seri yang tidak sama dengan yang pernah dikeluarkan otoritas yang berwenang). Semua wacana kemungkinan ini menjadi PR semua pihak terkait untuk mengungkap secara menyeluruh supaya menjadi pembelajaran bagi semua lapisan masyarakat. Dan mengadili pelakunya.

Terlepas dari skema apa yang diterapkan Dimas Kanjeng dalam mekanisme pengadaan uangnya, benang merah yang bisa saya tarik dari kedua kisah ini adalah betapa kecintaan pada materi telah merusak semua logika berpikir manusia. Kebuasan manusia akan materi telah menguasai nalar kritisnya melintas batas intelektual manusia maupun usia bahkan menembus batas wilayah yang tak terhingga. Mau yang amatir maupun profesional semua ikut tergoda, mau di Indonesia ataupun di Amerika juga ada. Kisah-kisah investasi kilat atau investasi bodong ini tetap ada dalam masyarakat kita sepanjang masa dan mengejawantah dalam berbagai fenomena. Mereka tidak peduli bagaimana proses penciptaan/pengadaan uang atau keuntungan terjadi, tidak peduli apakah mekanisme ini halal atau haram, yang mereka inginkan adalah banyak dan cepat.

Dan ketika itu dapat terwujud, semua dianggapnya sebagai sebuah rahmat, karunia yang layak disyukuri. Tak ada nalar kritis yang terusik untuk mempertanyakan uang siapa ini sebenarnya, dari mana asal usulnya, dan bagaimana semua ini terjadi. Cerita ini berulang dari tahun ke tahun dalam versi yang berbeda-beda dan tidak membuat jera. Apa yang salah dengan masyarakat kita? Mengapa mereka gagal paham, mengapa mereka tidak meniup alarm peringatan ketika melihat sesuatu yang janggal di sekelilingnya? Ini menjadi PR para ahli sosiologi dan psychologi mungkin juga harus melibatkan ahli antropologi untuk mengungkap perilaku masyarakat yang memprihatinkan ini.

Lalu bagaimana akhir cerita ini, nampaknya masih akan berlangsung lama. Semoga saja kita semakin cerdas menyikapi berbagai situasi dan secara sadar memilih melakukan hal yang benar dibanding yang mudah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun