Mohon tunggu...
Andi Sitti Mariyam
Andi Sitti Mariyam Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Seorang Ibu, peminat pendidikan dan pemerhati sekitar :)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membangun Koalisi Besar Indonesia

21 Mei 2018   22:24 Diperbarui: 21 Mei 2018   22:35 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kita bandingkan dengan definisi garis kemiskinan global (yaitu penghasilan perkapita USD $2 per hari atau USD $60 per bulan), maka jumlah penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan akan bertambah 65 juta jiwa. Ini menunjukkan bahwa hampir separuh rakyat Indonesia hidup miskin menurut definisi garis kemiskinan global atau hanya sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional.

Selain persoalan kemiskinan, ketimpangan ekonomi di Indonesia juga sangat serius. Meskipun terdapat pertumbuhan sebesar 15 persen sejak reformasi tahun 1998. Namun hanya 10-20% dari seluruh rakyat di Indonesia yang menikmati pertumbuhan tersebut (Data Bank Dunia). Rakyat di lapisan bawah hampir tidak merasakan perubahan kesejahteraan. Meskipun jumlah kelas menengah baru bertambah banyak, namun sesungguhnya mereka adalah kalangan yang rentan terhadap krisis. Patut dipertanyakan, angka-angka pertumbuhan itu untuk siapa? Jelas bukan untuk mayoritas penduduk negeri ini. Inilah ciri sebuah negara yang dikuasai oleh segelintir elit, baik secara politik maupun ekonomi.

Hari ini kita dibuai oleh berita tentang pertumbuhan ekonomi yang selalu meningkat. Pemerintah telah merasa melakukan prestasi dengan angka-angka pertumbuhan itu. Namun marilah kita memandang situasi menurut kacamata rakyat kebanyakan di pasar-pasar dan warung-warung kopi. Harga-harga terus melambung sedangkan daya beli rendah. Kasus stunting atau kurang gizi kronis yang dialami 37% balita di Indonesia adalah cermin kemiskinan dan rendahnya daya beli. Jika untuk kebutuhan dasar saja rakyat kita kekurangan apalagi untuk membeli kebutuhan-kebutuhan sekunder? 

Dalam hal pengangguran angkanya semakin parah. Jumlah pengangguran tahun 1998 di Indonesia angkanya di kisaran 5,5 juta. Namun kini angkanya di kisaran minimal 10 juta pengangguran, hampir dua kali lipat sejak tahun 1998. Itupun dengan standar pengukuran bahwa pekerja paruh waktu dan musimam dianggap bekerja atau bukan pengangguran, padahal secara umum dalam kesehariannya mereka lebih banyak tidak bekerja. Ditambah membanjirnya tenaga asing di Indonesia bahkan untuk tenaga kasar, dimana keberpihakan pemerintah pada rakyatnya sendiri?

Sebab Utama Kegagalan Negara: Institusi, Institusi dan Institusi!

Daron Acemoglu dan James Robinson, dalam sebuah buku berjudul Why Nations Fail: The Origins Of Power, Prosperity and Poverty menjelaskan bahwa kendala utama terwujudnya kemakmuran adalah  kondisi institusi politik dan ekonomi dalam sebuah negara. Kendala-kendala yang lain seperti keadaan geografis dan budaya memang mempengaruhi, tapi sekali lagi bukanlah yang utama. Bahkan juga bukan karena kebodohan para pemimpin atau politisi. 


Berbagai kebijakan ekonomi yang direkomendasikan organisasi internasional seperti IMF berikut pinjamannya bagi negara dunia ketiga seperti Indonesia seringkali hanya menambah beban hutang namun tidak menjadi solusi. Mubazirnya dana bantuan asing bukan melulu dipicu oleh tindak pidana korupsi, namun lebih dikarenakan kegagalan manajemen atau, yang lebih buruk lagi, dana asing itu menjadi lahan bisnis bagi organisasi-organisasi internasional yang mengelola dana tersebut.

Lalu bagaimana kondisi institusi politik dan ekonomi Indonesia? Institusi politik dan ekonomi hari ini dikuasai oleh elit, sebagian besar sumber dayanya dikuasai oleh kaum elit dan mengubahnya menjadi keuntungan untuk kaumnya sendiri. Ketimpangan di Indonesia yang tidak kunjung mengalami banyak perubahan sejak tahun 1998 hingga hari ini cukup menjadi indicator.

Azyumardi Azra, dalam sebuah opini berjudul 'Politik Korup' menggambarkan cacatnya demokrasi di Indonesia. Cacatnya demokrasi Indonesia terutama terkait pada kenyataan belum berkembangnya budaya politik (political culture) yang selaras dengan demokrasi. Kenyataan ini banyak terkait dengan parpol dan elite yang cenderung oligarkis dan menolak perbedaan internal sehingga sering berakhir dengan perpecahan. Budaya politik seperti ini kemudian menciptakan parpol yang tidak sehat. Parpol tidak bisa tumbuh sebagai organisasi politik modern dengan manajemen dan keuangan yang sehat.

Pendanaan parpol bergantung pada iuran anggotanya yang menjadi pejabat publik. Namun ada sumber dana utama yang lebih besar, yaitu dana yang datang dari "donatur" yang sarat dengan kepentingan bisnis dan politik. Donatur yang umumnya berasal dari dunia bisnis masuk ke parpol, baik di pusat maupun daerah. Donatur juga masuk melalui kandidat yang bertarung di pilkada atau pemilu. Donatur menjadi "investor" politik karena banyak kandidat tak memiliki dana yang memadai untuk membiayai proses politik, mulai pemilu legislatif, pilkada dan pilpres  yang terus berbiaya tinggi. Inilah politik transaksional yang menjadi salah satu akar pokok politik korup yang segera memunculkan korupsi politik.

Koalisi Besar dan Pemberdayaan Masyarakat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun