Mohon tunggu...
Iwan Nugroho
Iwan Nugroho Mohon Tunggu... Dosen - Ingin berbagi manfaat

Memulai dari hal kecil atau ringan, mengajar di Universitas Widyagama Malang. http://widyagama.ac.id/iwan-nugroho/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Renungan (Akhir Tahun) dari Lapak Penjual Daging

27 Desember 2015   10:08 Diperbarui: 27 Desember 2015   10:29 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="koleksi pribadi"][/caption]Penulis suka jalan-jalan dan masuk ke pasar-pasar tradisionil.  Perlunya, baik itu untuk menemani istri belanja kebutuhan dapur atau rumah tangga, atau sekedar jalan dan mengamati.  Banyak hal bisa dipelajari dari pasar tradisionil (atau pasar modern atau mall).  Pasar adalah tempat bertemunya permintaan dan penawaran barang dan jasa, dan ekonomi penunjangnya.  Karena itu pasar menjadi sinyal kehidupan ekonomi, sosial atau budaya.  Penjelasan ini bisa memakan waktu beberapa semester kuliah.

Kembali ke awal tulisan.  Di Malang, penulis sering berbelanja di pasar Merjosari, yang merupakan pengganti pasar Dinoyo.  Setiap kunjungan ke pasar, penulis selalu mencoba melihat dan mengamati perkembangan pasar.  Apakah ada yang berubah, ada yang baru, ada yang bertambah.  Memang, pasar ini dari waktu ke waktu, makin ramai saja.  Jumlah pedagangnya bertambah, mengisi lorong, atau tempat-tempat lain bahkan di luar area pasar, sehingga sering menghambat jalan pembeli.  Jumlah pembeli juga makin ramai, area parkir senantiasa penuh, jalanan macet dan nampak semrawut.

Pasar makin ramai saat liburan panjang, seperti akhir tahun ini.  Dua hari lalu, seperti biasanya penulis mengunjungi los (tempat berjualan) daging.  Kami (saya dan istri) punya langganan pada penjual daging disana, sejak awal pasar ini dibuka empat tahun lalu.  Lapak daging sesungguhnya hanya sepanjang 2.5 m, dan lebar 1.5 m.  Penjualnya adalah dua orang ibu usia muda, yang ramah, dan memberi layanan cepat. 

Harga yang ditawarkan juga bersaing, dan ‘nggak pakai nawar’.  Dua ibu itu melayani pembeli bergantian dengan cepat.  Kenyamanan layanan ini membuat banyak pembeli rela antri ke lapak ibu muda ini.  Pembelinya pun beragam, ada yang dari warung, rumah tangga atau mahasiswa.  Lokasi pasar berdekatan dengan kampus PTN/PTS di Malang.

Secara umum perkembangan lapak daging si ibu ini maju pesat.  Jumlah daging menumpuk, baik yang digantung, maupun disimpan di bawah meja lapak.  Yang dijual adalah daging, jerohan, kikil, hingga tulang (balung) iga, atau buntut.  Lapak daging ibu ini memang berbeda dibanding lapak lainnya.  Jumlah daging lebih banyak dibanding lapak lainnya.  Pembelinya juga lebih ramai.

Penulis tertegun melihat pemandangan baru di lapak ibu ini.  Apa itu? Ada sebuah tongkrongan mesin.  Mesin apakah itu. Penulis menahan diri tidak buru-buru bertanya tentang mesin itu.  Jawabannya akhirnya muncul ketika si ibu menggunakan mesin itu untuk memotong tulang-tulang iga pesanan kami.  Waaooww ... luar biasa.  Penulis mengamati detil bagaimana mesin itu bekerja.  Sebelumnya, si ibu menggunakan kapak untuk memotong tulang, kini telah berganti dengan mesin.  Suara-suara keras pukulan kapak telah berganti menjadi suara lembut mesin.

Pembaca yang budiman, penampakan mesin pemotong daging atau tulang bisa dilihat sebagai hal biasa. Mesin itu biasa terlihat di supermarket untuk memotong daging beku.   Profesi tenaga trampil lain juga menjalankan hal yang sama, misalnya tukang potong rambut menggunakan mesin mengganti fungsi gunting; tukang kayu menggunakan mesin untuk menghaluskan atau membentuk kayu, dan lain-lain profesi. 

Namun, hal itu adalah perubahan yang luar biasa bagi penjual daging, tukang potong atau tukang kayu.  Menggunakan inovasi atau teknologi baru adalah proses perubahan, membutuhkan pemikiran dan perencanaan yang matang, serta menghitung resiko-resiko usaha.  Itu bukan hal mudah bagi mereka, para pedagang kecil atau pekerja informal.

Momen akhir tahun ini, dapat menjadi pemikiran, renungan atau evaluasi diri kita semua.  Ada pelajaran berharga dari pasar dan lapak ibu penjual daging.  Pertanyaannya bukan rencana perubahan apakah yang akan kita lakukan tahun depan?  Tetapi apakah selama setahun terakhir kita sudah berubah, sudah menambah ilmu, kualitas ketrampilan dan kompetensi kita meningkat, atau kita sudah memberi manfaat kepada orang lain.  Atau kita sama seperti dahulu, malas membaca, banyak bicara, kurang ikhlas, masih mementingkan diri sendiri; sama seperti lima atau sepuluh tahun yang lalu.

Malang, 27 Desember 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun