Mohon tunggu...
Iwan Nugroho
Iwan Nugroho Mohon Tunggu... Dosen - Ingin berbagi manfaat

Memulai dari hal kecil atau ringan, mengajar di Universitas Widyagama Malang. http://widyagama.ac.id/iwan-nugroho/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pantai Waha, Wakatobi

30 Juli 2012   00:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:27 973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pergi ke Wakatobi hanya dua hari memang tidak cukup.  Pernyataan itu beberapa kali disampaikan oleh setiap orang yang kami temui.  Terakhir hal itu disampaikan oleh salah seorang ibu saat kami mau kembali ke Malang.  “Datang lagi ke Wakatobi”, katanya tegas.  “Kalian harus pergi ke Kaledupa, pergi ke pulau Hoga.  Disana pemandangannya sangat bagus.  Kami punya rumah dan banyak famili disana”, lanjutnya.  Pernyataan beliau itu memiliki makna mendalam buat penulis.  Pertama, harus diakui Wakatobi memang sangat indah dan berkesan.  Wilayah ini selain memiliki keindahan ekologi juga budaya yang mendukung. Masyarakatnya sangat terbuka dan terbiasa dengan pendatang. Nampaknya memang perlu kembali lagi kesana.  Kedua, penulis menemukan kehidupan dengan ikatan persaudaraan yang tinggi.  Interaksi dengan beberapa orang memang tidak intensif, namun nampaknya ada suatu keakraban yang sangat nyata dan hangat disana.  Bahkan putri penulis terharu dan matanya berkaca-kaca saat pamit kembali ke Malang. Ke Wakatobi memang harus diving atau menyelam.  Tanpa menyelam sama dengan belum pergi ke Wakatobi.  Karena itu meski tanpa persiapan, kami paksakan untuk minimal snorkling.  Ajakan snorkling di pantai Waha oleh pak Hardin pada hari pertama kedatangan kami terima bulat-bulat.  Karena itu setelah beristirahat barang satu jam di hotel (Minggu, 15 Juli 2012), sore hari sekitar jam 16.30 kami siap dijemput untuk menuju pantai Waha.  Kami dijemput oleh pak Hardin, pak Bloro dan driver pak Cie.  Pak Bloro merupakan tokoh masyarakat dalam pengembangan wisata dari pulau Kaledupa.  Sengaja diminta datang oleh kepala Dinas Perikanan untuk sharing dalam acara diskusi, termasuk menemani kegiatan penulis.  Dari Wanci ke Waha hanya sekitar empat kilometer menuju arah utara, atau kurang dari 10 menit perjalanan mobil.  Di Waha kami bertemu dengan manajer Waha Tourism Community (WTC), bapak Sudirman.  WTC adalah forum atau organisasi masyarakat dalam mengelola wisata Waha.  Kami tidak berbincang banyak karena diarahkan langsung ke pantai.  Kami (termasuk putri penulis) di briefing oleh pak Hardin tentang cara pemakaian masker, snorkle dan sepatu katak.  Alat-alat ini tersedia di WTC dalam jumlah cukup untuk kepentingan pengunjung.

Suasana pantai Waha saat itu sangat tenang dan sepi.  Posisi Waha adalah di sisi Utara pulau Wangi-wangi, merupakan pantai terbuka atau laut lepas dari laut Banda.  Cuaca tidak berangin dan cerah, ombak hampir tenang, dan hanya kami bertiga yang masuk pantai.  Saat berjalan menuju kedalaman pantai, dasarnya bukan lagi tanah tetapi merupakan batuan karang sehingga kaki seperti tertusuk (kebetulan penulis tidak menggunakan sepatu katak).  Pada jarak dari garis pantai sekitar 50 meter, kami berhenti sejenak, dan mulai praktek memakai masker dan snorkle dengan memasukkan muka ke air laut.  Ini adalah pengalaman pertama putri penulis.  Setelah itu.. berenanglah kami ... dipandu oleh pak Hardin.  Perasaan saat itu gembira bercampur takjub luar biasa merasakan sensasi bawah laut.  Sesekali kami beristirahat sejenak untuk membetulkan letak masker dan berkomentar tentang kondisi bawah laut.
Memang luar biasa..., di bawah laut ditemukan berbagai keindahan. Kedalaman bawah laut yang kami lihat berkisar 100 hingga 150 cm.  Di bawah sana ada rumput atau lamun, batu karang, terumbu karang dan tentu saja ikan, yang semuanya beraneka warna.  Sesekali tangan mencoba mendekati meraih ikan di sekitar terumbu karang.  Ada terumbu yang berwarna putih pucat menandakan kondisi yang sudah rusak atau mati.  Sementara yang berwarna gelap, hijau, merah, kunik atau warna atraktif lainnya, menunjukkan tumbuh subur.  Ada tempat yang ditandai tegakan bambu, merupakan yang sengaja ditumbuhkan dan tidak boleh diganggu pengunjung.  Bersamaan dengan itu, pak Hardin memainkan kamera bawah laut memfoto gambar-gambar yang menarik.  Lihat galeri.
Suasana Waha saat itu sangat indah.  Senja itu bernuansa kemerahan karena matahari sedang menuju tenggelam di arah pandangan kiri menuju laut.  Paduan langit kemerahan dan laut semakin gelap menciptakan pola warna pemandangan yang khas.  Sebuah perahu ikut menciptakan siluet memberi warna yang khas.  Sore itu kami selesaikan berenang dengan kepuasan dan sensasi yang luar biasa.  Kami menuju tempat berbilas air bersih dan berganti baju. Kami melihat sekitar tiga kran air bersih terbuka dan sebuah kamar mandi.  Fasilitas ini termasuk cukup memadai untuk membersihkan badan dan menjadi segar kembali. Sejenak kami beristirahat sambil menunggu sajian makan malam khas Waha.  Kami duduk di sebuah gazebo sambil berbincang dengan pak Sudirman perihal WTC dan berbagai aktivitasnya.  WTC ini dirintis atas bimbingan proyek COREMAP sejak tahun 2006. WTC merupakan sebuah lembaga pariwisata berbasis masyarakat, didirikan pada 9 Januari 2011. WTC[1] ini melibatkan penduduk dengan mengembangkan jasa-jasa perahu, snorkling dan diving, kuliner, suvenir dan homestay.  WTC mengkoordinasikan seluruh aktivitas tersebut, ini berhasil memberdayakan ekonomi masyarakat dan sekaligus mengonservasi terumbu karang.  Masyarakat mulai paham kekayaan laut harus dikonservasi dan dikembangkan lebih produktif.  Dahulu sebelum COREMAP, banyak nelayan menggunakan bom atau bius ikan di wilayah ini.  Akibatnya, ikan-ikan banyak yang mati dan terumbu karang rusak.   Tiba-tiba penulis melihat lampu berkedip di kegelapan pantai, berasal dari perahu nelayan kecil.  Hal itu penulis tanyakan ke Pak Dirman: “Bagaimana dengan nelayan-nelayan yang masih mengambil ikan di pantai?”.  Pak Dirman menjelaskan, itu memang masih terjadi untuk mengambil udang-udang kecil.  Umumnya nelayan harus ke laut dalam untuk mengambil ikan. WTC ini sangat cocok dengan kebutuhan wisatawan donestik.  Tarif homestay di WTC sangat terjangkau berkisar 80 hingga 100 ribu rupiah per orang per malam.  Tingkat kunjungan tertinggi terutama hari libur, yakni Sabtu dan Minggu atau libur sekolah.  Pada hari libur, rombongan kantor pemerintah berkunjung ke Waha hingga seharian untuk berekreasi.  Terkadang sampai lima rombongan atau Dinas, sehingga suasananya menjadi penuh. Menurut pak Dirman, jumlah kunjungan mencapai 3000 orang per tahun dari catatan peminjaman alat-alat selam.  Lainnya tidak tercatat karena WTC belum menerapkan retribusi masuk.  “Ini yang kami pikirkan ke depan”, katanya.
Perbincangan sedikit mereda saat menu makanan berdatangan.  Ibu Sudirman sudah menyiapkan aneka makanan ikan, baik yang bakar maupun sop ikan (parende).  Ada pula sambal cair dengan campuran tomat.  Ada pula ketan singkong atau yang disebut kasuami, sebagai pengganti nasi.  Penulis coba setiap jenis menu tersebut, .. tentu dalam jumlah terbatas.. takut mabuk ikan.  Penulis tetap menghindar jenis kerang atau ikan lunak karena punya sejarah alergi.   Luar biasa nikmat. Kami meninggalkan pantai Waha sekitar jam 19.30.  Kami pamit ke bapak dan ibu Dirman dan menyampaikan ucapan terimaksih yang tak terhingga. Hari itu kami memperoleh pengalaman luar biasa, bukan hanya snorkling dan menikmati keindahan pantai, tetapi juga pengalaman akademik dari kisah WTC.  WTC mengajarkan bahwa berangkat dari konservasi akan lahir pula kesejahteraan ekonomi.  Sebagai catatan tambahan, esoknya kami juga makan malam di tempat ini dalam suasana yang tidak kalah serunya. http://widyagama.ac.id/iwan-nugroho

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun