Kita hidup di era disruptif. Setiap hari, kita dihadapkan pada berita tentang kecerdasan buatan (AI) yang menggantikan pekerjaan, krisis iklim yang mengancam, polarisasi politik, dan ketidakpastian global. Dalam upaya mencari solusi, kita sering kali hanya terpaku pada inovasi teknologi dan kebijakan ekonomi. Namun, ada satu sumber kebijaksanaan yang justru kita abaikan: Filsafat Klasik.
Pemikiran para filsuf Yunani dan Romawi Kuno sering dianggap kuno dan usang. Padahal, di balik terminologi yang terdengar arkais, tersimpan prinsip-prinsip abadi tentang manusia, masyarakat, dan kehidupan yang baik---persis apa yang kita butuhkan untuk membangun peta jalan (roadmap) menuju masa depan yang lebih manusiawi.
Berikut adalah tiga cara berpikir filsafat klasik yang dapat menjadi solusi untuk tantangan masa depan:
1. Etika Aristoteles: Penangkal Dominasi Teknologi yang tidak Bernurani
Aristoteles menekankan pentingnya "Eudaimonia"---kehidupan yang sejahtera dan bermakna, yang dicapai dengan menjalankan fungsi khusus kita sebagai manusia, yaitu akal budi dan kebajikan (virtue). Dalam dunia yang semakin dikuasai algoritma, prinsip ini menjadi sangat krusial.
  Aplikasi untuk Masa Depan:
Tantangan terbesar kita dengan AI bukanlah pada kemampuannya, tetapi pada tujuannya. AI bisa sangat efisien, tetapi ia tidak memiliki moral. Di sinilah Etika Aristoteles berperan. Kita harus bertanya: Teknologi ini membantu manusia mencapai Eudaimonia, atau justru menjauhkannya?; Apakah inovasi ini memampukan kita untuk lebih bijaksana, adil, dan berempati, atau justru membuat kita malas, terisolasi, dan tidak kritis?
Filsafat Aristoteles mengingatkan kita bahwa kemajuan sejati bukanlah kemajuan teknis semata, melainkan kemajuan moral. Masa depan yang kita bangun haruslah sebuah peradaban di mana teknologi menjadi alat untuk mencapai kehidupan yang bermakna, bukan menggantikan makna itu sendiri.
2. Stoisisme: "User Manual" untuk Ketahanan Mental di Dunia yang Kacau
Kaum Stoa (seperti Epictetus dan Marcus Aurelius) mengajarkan dikotomi kendali: fokuslah hanya pada apa yang dapat kita kendalikan, dan serahkan apa yang tidak. Mereka juga melatih diri untuk memandang tantangan bukan sebagai bencana, tetapi sebagai kesempatan untuk berlatih kebajikan seperti keberanian dan ketabahan.
Aplikasi untuk Masa Depan: Dunia masa depan diprediksi akan penuh dengan volatilitas, uncertainty, complexity, dan ambiguity (VUCA). Stoisisme adalah "immune system" mental untuk menghadapinya.
- Menghadapi Automasi Pekerjaan: Alih-alih cemas berlebihan (hal di luar kendali), seorang Stoic akan fokus pada pengembangan diri dan pembelajaran sepanjang hayat (hal dalam kendali).
- Menghadapi Krisis Global (seperti Pandemi atau Perubahan Iklim): Stoisisme mengajak kita untuk tetap tenang, berpikir jernih, dan mengambil tindakan yang bermakna dalam kapasitas kita, daripada dilumpuhkan oleh kepanikan.
Dengan mentalitas Stoic, kita tidak lagi menjadi korban masa depan, tetapi menjadi aktor yang tangguh dan adaptif di dalamnya.
3. DIALEKTIKA SOCRATES: Senjata Ampuh Melawan Misinformasi dan Polarisasi
Di tengah banjir informasi dan ruang gema (echo chambers) media sosial, metode Socrates---berdialog dengan bertanya untuk menguji kebenaran suatu klaim---menjadi lebih relevan daripada sebelumnya. Socrates berkata, "Kehidupan yang tidak teruji tidak layak untuk dijalani."
Aplikasi untuk Masa Depan: Kemampuan untuk berpikir kritis, membedakan fakta dari opini, dan berdiskusi secara rasional adalah "vaksin" bagi tubuh sosial kita.
Sebelum menyebarkan informasi, tanyakan pada diri sendiri: "Darimana sumber ini? Apa buktinya? Apakah ada sudut pandang lain?"
Sebelum berdebat sengit, terapkan metode Socrates dengan mengajukan pertanyaan yang jujur untuk memahami, bukan sekadar untuk menjatuhkan.
Masa depan demokrasi dan masyarakat yang sehat bergantung pada warga yang melek informasi dan kritis, bukan warga yang mudah termakan hoaks dan provokasi. Dialektika Socrates adalah pelatihannya.
Kesimpulan: Masa Depan Butuh "Kearifan Kuno"
Kita tidak bisa memprediksi masa depan dengan tepat, tetapi kita bisa mempersiapkan manusia yang akan menghadapinya. Filsafat klasik tidak memberi kita jawaban teknis tentang cara membuat AI atau memerangi perubahan iklim. Ia memberi kita sesuatu yang lebih mendasar: kerangka moral, ketahanan mental, dan alat berpikir kritis.
Dengan menggali kembali kearifan ini, kita tidak sedang mundur ke masa lalu. Kita justru sedang melengkapi diri dengan fondasi yang kokoh untuk melompat ke masa depan. Teknologi memberi kita kekuatan, tetapi filsafatlah yang mengajarkan kita kebijaksanaan untuk menggunakan kekuatan itu dengan baik.
Mari kita jadikan filsafat klasik sebagai kompas, bukan sekadar relik dalam museum pemikiran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI