Mohon tunggu...
Mohamad Kurniawan
Mohamad Kurniawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausahawan sosial bidang pendidikan dan pengembangan sumber daya insani.

Setiap orang adalah guru. Setiap tempat adalah sekolah. Setiap waktu adalah belajar. Menulis adalah untuk mengabadikan semuanya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Guru, Motivator dan Sekolah yang Menyenangkan

24 Agustus 2017   09:29 Diperbarui: 24 Agustus 2017   14:58 2506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Tumble House

Beberapa tahun silam seorang karyawan perusahaan pertambangan yang berkantor di Indonesia mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat. Karena masa belajarnya 4 tahun, dia pun mengajak keluarganya. Termasuk anak semata wayangnya yang masih berumur delapan tahun.

Sesampainya di AS, muncul masalah pada anak si karyawan tersebut. Anaknya tidak mau sekolah karena takut berangkat sendiri ke sekolah dan tidak mau ditinggal. Ayah atau ibunya harus menunggu di kelas. Sementara, peraturan di sekolah menyebutkan bahwa siswa-siswa tidak boleh diantar ke sekolah. Tujuannya untuk memupuk keberanian pada anak sedini mungkin.

Mengetahui masalah itu, guru kelas mengundang anak tersebut bersama kedua orang tuanya.  Mereka diajak untuk masuk ke dalam kelas. Di depan murid-muridnya -- yang hampir semuanya bule Amerika -- bapak guru tadi mengajukan 3 pertanyaan. Pertanyaan pertama, "Siapa di antara kalian di kelas ini yang pernah terbang menyeberangi Samudra Atlantik?". Tak ada satupun anak di kelas tersebut yang mengacungkan jari. Sesaat kemudian pak guru tersebut menunjuk ke anak karyawan tadi. "Temanmu ini datang dari Indonesia, negara di Asia Tenggara. Untuk bisa sampai di sini, dia harus terbang menyeberangi samudra Atlantik". Sementara seisi kelas melongo, pede si anak tadi perlahan naik.

Kemudian dilontarkanlah pertanyaan kedua, "Siapa di kelas ini yang pernah tinggal lama di luar negeri?" Kembali tak ada satu pun siswa yang mengacungkan jari. Sambil menunjuk si anak tadi guru mengatakan, "Teman baru kalian ini hebat. Dia pernah tinggal bertahun-tahun di luar negeri. Di Indonesia". Pede anak ini pun bertambah besar.

Puncaknya pada pertanyaan terakhir. Bapak guru menanyakan siapa yang bisa berbahasa asing. Dan lagi-lagi tak ada yang mengacungkan tangannya. "Teman kalian ini bisa berbahasa asing. Bahasa Indonesia. Sangat fasih malah", kata pak guru dengan antusias. Mendengar ini, seisi kelas pun bertepuk tangan. Keesokan harinya, di anak pun pergi ke sekolah dengan lebih percaya diri serta bersemangat bersekolah tanpa minta diantar.

Kisah di atas diceritakan Profesor Djamaludin Ancok, guru besar psikologi Universitas Gadjah Mada, saat beliau menjadi narasumber seminar pendidikan abad 21 beberapa waktu yang lalu di Universitas Gadjah Mada. Cerita ini menegaskan bahwa seorang guru ternyata tak hanya mempunyai peran sebagai pengajar dan pendidik semata, namun juga harus mampu menjadi motivator. Lihat bagaimana cara guru tersebut dengan cerdik sekaligus jenaka mengangkat rasa percaya diri anak baru yang datang dari Indonesia.

Tidak mudah bagi seorang anak untuk masuk ke dalam sebuah lingkungan baru. Terlebih kalau lingkungan baru mempunyai latar belakang budaya yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan lingkungan dia sebelumnya.

Hal ini pun pernah dialami oleh kedua anak saya pada saat mereka berdua masuk sekolah dasar (primary school) di Darwin, Australia. Sebagai anak dari negara yang bahasa Inggris bukan bahasa pertama, maka anak saya harus masuk ke sekolah yang menyediakan program Intensive English Unit. Tujuannya selain untuk mengasah kemampuan berbahasa Inggris, ternyata kelas ini didesain untuk menumbuhkan rasa percaya diri anak ketika masuk ke dalam sebuah sekolah di Australia. Di kelas anak-anak saya, ada banyak siswa yang berasal dari berbagai negara. India, Cina, Jepang, Korea, Rusia, negara-negara Afrika, Burma, Vietnam, dan lain-lain.

Terbayang bagaimana susahnya seorang guru yang berbahasa Inggris, harus menghadapi anak-anak yang berasal dari berbagai bangsa dan hampir semuanya tidak fasih berbahasa Inggris! Dan pada level ini, peran guru lebih sebagai motivator, pembangkit rasa percaya diri anak untuk berinteraksi dengan teman-teman lainnya tanpa terlalu fokus pada hambatan bahasa.

Saya masih ingat, ketika anak kedua saya, mempunyai pengalaman yang serupa dengan anak dalam cerita diatas. Tak mau ditinggal oleh saya atau istri saya. Dia mau sekolah dengan tetap ditunggu. Yang dilakukan gurunya adalah selalu mengajak anak saya bicara dan bermain sebelum kelas dimulai sembari memotivasinya hingga perlahan tapi pasti tumbuh keberaniannya. 

Nampak betul bila guru-guru SD di Australia secara khusus dibekali kemampuan untuk menjalankan peran sebagai motivator bagi siswa-siswanya. Kelas menjadi hidup karena setiap anak sangat termotivasi dalam mengembangkan potensinya. Ujungnya sekolah pun menjadi kegiatan yang sangat menyenangkan bagi anak-anak. "I love school!'. Begitu kata-kata yang sering keluar dari mulut anak-anak saya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun