Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lebaran Ini, Ayah Pulang

14 April 2024   06:38 Diperbarui: 14 April 2024   06:52 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tari sampai detik ini tak ingin melihat ayah lagi. Kehadiran ayah tak kami harapkan. Ibu dan Tari sudah menutup rapat pintu hati untuk ayah. Lelaki itu begitu tega meninggalkan kami, saat kami begitu tergantung padanya. Saat kami membutuhkan kehadirannya."

Pajar menyingsing di Sukaraja. Kampung kecil dengan segudang kenangan. Kenangan yang memenuhi tiap sudut ingatanku. Kenangan akan masa-masa awal kehidupan rumah tangga kami, aku dan Tari.

Takbir bergema seiring tarikan nafas. Berbalas, bersahutan dari tiap sudut kampung. Dari jauh terdengar suara takbir yang samar, terbawa hembusan angin. Suara yang mengiris kalbu, teringat laku diri yang kerap berkubang dalam khilaf dan salah.

Ke sebidang tanah lapang, di sisi kampung segenap  warga datang berduyun-duyun. Mengenakan pakaian terbaik yang hendak dipakai menghadap-Nya, mendirikan shalat ied.

Shalat didirikan dengan khusyu. Imam membacakan surat Al Ala pada rakaat awal dengan bacaan yang begitu baik. Membawa segenap warga diharu-biru oleh beraneka rasa dalam dada. Hari nan fitri, hari kembalinya manusia kepada fitrahnya yang suci.

Tari melangkah di sampingku. Isak tangis sesekali terdengar. Matanya sembab yang acap ia seka dengan sapu tangan di tangannya. Langkah yang kami ayun kerap terhenti oleh sapa dan uluran tangan warga yang hendak bersalaman.


Tari menarik tanganku. Langkahnya terasa lebih bertenaga. Ia seperti hendak sampai di rumah lebih awal. Lebih dulu dari ibu, Aa Ridwan, dan dua anak kami, yang berjalan di belakang.

"Ayo A, kita temui ayah" katanya singkat.

Aku menarik nafas lega. Suara Tari laksana suara merdu yang turun dari langit. Suara yang menggugurksn tembok keangkuhan diri. Suara yang membawa kesadaran bahwa sejatinya kita, manusia, tak luput dari salah.

Dan kebesaran hati untuk memaafkan adalah hal terindah. Yang lahir dari hati yang bersih. Dari sanubari yang lekat dengan cinta. Tari menarik tangan ini lebih bertenaga. Ia menarik tubuhku ke tepi tempat tidur.

Pajar satu syawal baru menyingsing. Suara takbir membangunkan kami dari peraduan. Kami bergegas membersihkan badan, menyongsong shalat ied yang akan didirikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun