Mohon tunggu...
Iwal Falo
Iwal Falo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan siapa-siapa, hanya berusaha menjadi yang terbaik

Menjadi diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dilema Berhenti Merokok dan Dilema Menutup Perusahaan Rokok

14 Oktober 2021   12:22 Diperbarui: 14 Oktober 2021   12:28 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Beberapa hari belakangan ini, warganet ramai memperbincangkan bahaya atau resiko merokok baik bagi perokok itu sendiri maupun bagi orang lain, perokok aktif dan perokok pasif. Istilah perokok aktif dikenakan bagi mereka yang aktif merokok. Tiada hari tanpa rokok. Sedangkan perokok pasif merupakan orang yang terkena dampak asap rokok. Biasanya dialami oleh mereka yang berada di sekitar perokok aktif.

Secara medis, merokok dianggap berbahaya karena dapat menimbulkan sejumlah penyakit. Diantaranya : gangguan paru hingga kanker paru, serangan jantung, impotensi, kanker mulut, kanker kulit dan lain sebagainya. Oleh karena itu berbagai pihak baik pemerintah maupun swasta, baik secara kelompok maupun perorangan aktif melakukan kampanye anti rokok dan bahayanya.

Kita bisa saksikan sendiri gerakan atau kampanye anti rokok di berbagai tempat melalui berbagai media. Di beberapa tempat terdapat tulisan "Dilarang Merokok atau Kawasan Tanpa Rokok". Ada juga spanduk maupun baliho yang mempromosikan produk rokok sekaligus peringatan "Merokok dapat menyebabkan serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan janin". Bahkan lebih ekstrim lagi terdapat gambar pada bungkusan rokok yang sangat menakutkan seperti gambar tenggorokan lubang, kanker mulut dan lain lagi. Singkatnya, merokok itu mematikan, merokok itu membunuh.

World Health Organization (WHO) melansir bahwa angka kematian akibat merokok mencapai 30%, atau setara dengan 17,3 juta orang. Angka kematian tersebut diperkirakan terus meningkat hingga 2030, sebanyak 23,3 juta orang. Di Indonesia sendiri masih menurut WHO, ada sekitar 225.700 orang meninggal setiap tahun akibat merokok, atau penyakit lain yang berkaitan dengan tembakau.

Walaupun demikian, angka perokok aktif tak kunjung berkurang. Seolah tidak percaya pada bahaya merokok, jumlah perokok aktif malah naik dari tahun ke tahun. Fakta mengejutkan, Indonesia berada di peringkat ketiga sebagai negara dengan jumlah perokok paling tinggi. Prevalensinya mencapai 33,8 persen atau sekitar 65,7 juta penduduk Indonesia adalah perokok.

Bila berpikir "pendek", saya mau katakan "sudah tahu merokok itu mematikan, merokok itu membunuh, mengapa tidak pabrik rokok yang ditutup sekalian?". Ini tentu sebuah dilema baik bagi pemerintah dan perusahaan rokok maupun penikmat nikotin. Pemerintah dan perusahaan mengalami dilema menutup perusahaan rokok sedangkan perokok mengalami dilema berhenti merokok.

Topik ini pun menjadi perhatian Kompasiana sehingga masuk dalam topik pilihan "Dilema Berhenti Merokok". Merokok itu gampang untuk dimulai namun sulit untuk diakhiri. Entahlah mungkin karena soal ketergantungan pada nikotin atau alasan lainnya. Faktanya memang begitu, banyak perokok mengaku kesulitan berhenti merokok.

  • Dilema menutup perusahaan rokok

Menutup perusahaan rokok merupakan sebuah dilema bagi pemerintah dan pengusaha rokok. Meskipun produk tembakau ini merusak dari sisi kesehatan maupun ekonomi namun tentu tidak mudah bagi pemerintah dan pengusaha untuk menutupnya. Padahal pemerintah dan pengusaha sama-sama tahu bahwa rokok merupakan produk yang bisa merusak generasi muda dan tua. Ini sebuah dilema. Pasalnya bila perusahaan tembakau ini ditutup, negara akan kehilangan salah satu sumber pemasukan besar. Bayangkan saja, setiap tahun negara menerima triliunan rupiah dari cukai rokok.

Dikutip dari KOMPAS.com tanggal 22 Desember 2020, Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan cukai hasil tembakau atau rokok hingga November 2020 mencapai Rp. 146 triliun atau tumbuh 9,74 persen jika dibandingkan periode sama tahun lalu mencapai Rp. 133,08 triliun. Selain aspek penerimaan negara, aspek penyerapan tenaga kerja pun menjadi pertimbangan tersendiri. Kementerian Perindustrian mencatat, total tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri rokok sebanyak 5,98 juta orang, terdiri dari 4,28 juta  adalah pekerja  disektor manufaktur dan distribusi, sisanya 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan. Logikanya bila industry rokok ditutup maka bersiaplah untuk menampung 5,98 juta pengangguran.

Salah satu cara untuk mengendalikan angka konsumsi rokok adalah menaikkan cukai rokok setinggi-tingginya. Kita ambil saja contoh, bila saat ini harga per bungkus rokok berada di kisaran Rp. 20.000.-an, bisa dinaikkan ke angka Rp. 50.000.-an. Atau solusi lain, rokok dijadikan produk khusus dan hanya dijual di tempat-tempat tertentu.

Dilema yang berikutnya adalah dilema berhenti merokok. Ini merupakan kebingungan yang dihadapi oleh rata-rata semua perokok. Merokok itu gampang untuk dimulai tetapi sulit untuk diakhiri. Entah soal ketagihan, ketergantungan atau gaya hidup. Ada perokok yang mau berhenti tetapi tidak tahu harus bagaimana karena sudah berada pada level pemadat. Ada pula yang bertahan dengan alasan biar terlihat gaul, keren dan punya banyak teman. Mau apa pun alasannya tetap saja merokok itu merugikan baik secara medis maupun secara ekonomi. Bila dikali-bagi dengan rata-rata satu bungkus perhari dengan harga Rp. 20.000.- maka setiap bulan seorang perokok akan menghabiskan uang sebanyak Rp. 600.000.-. dan setahun sebesar Rp. 7.200.000.-. Lebih naas lagi ada perokok yang menomorsatukan rokok dibanding sayur-lauk untuk makan bersama keluarga. Tidak apa-apa sih, itu pilihan pribadi.

Suatu ketika, saya bertanya pada seorang teman yang berhasil menjauhi rokok. Bagaimana caranya anda berhenti merokok? Soalnya banyak perokok mengaku kesulitan memutuskan hubungan dengan rokok. Dia jawab enteng, rokok diganti dengan permen pada awalnya. Lama-kelamaan akan hilang keinginan untuk merokok. Sambungnya lagi, berhenti merokok itu tidak mati, berhenti makan akan mati. Yang terpenting adalah niat untuk berhenti merokok dan menjauhi rokok.

Di sini saya mau katakan bahwa berhenti merokok jangan dijadikan dilema. Mau terus merokok silahkan, mau berhenti lebih bagus. Sory kawan, saya juga perokok tetapi saat menulis artikel ini, saya bukan perokok lagi.

Kesimpulan saya, bila ingin umur panjang dan hidup sejahtera, berhentilah merokok secara sadar. Jangan berharap akan berhenti merokok bila pabrik rokok ditutup. Itu tidak mungkin. Karena banyak keuntungan yang didapat oleh negara dari perusahaan rokok. Oleh karenanya, penutupan pabrik rokok sangat tidak mungkin.

SALAM SEHAT...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun