Mohon tunggu...
Ivan Yusuf Faisal
Ivan Yusuf Faisal Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Bukan jurnalis, hanya sharing. Rijks Universitêit de Gröningen, Ned

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Togog Menggugat

13 November 2017   01:51 Diperbarui: 13 November 2017   02:06 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu sore yang basah dengan gerimis sisa hujan semalam, Togog menikmatinya dengan secangkir kecil kopi dan beberapa batang gulungan kertas yang berisi tembakau di dalamnya. Tidak, tembakau disini berbeda dengan yang ada di dunia manusia. Dia tumbuh liar di kaki pegunungan Gohkarna. Jangankan manusia, makhluk kahyangan saja pikir-pikir kalau mau kesana. Jangan ditanya khasiat gulungan kertas ini. Dia mampu memberi kedamaian dan menghilangkan semua masalah sebuah negara sekalipun hanya dengan dibakar salah satu ujungnya.

Ah Astina tidak pernah sedamai ini, pikir Togog.

Dengan agak nelangsa di tengah dinginnya sore, sebenarnya isi kepala Togog sedang ramai-ramainya, melebihi sidang parlemen di wilayah Saniyin, bagian dari ibukota bangsa Endanusea. Ia merasa sedih hidupnya yang hanya sekali kenapa begini amat berlangsungnya. Sudah mulut robek karena gagal menelan gunung Jamurdipa demi sayembara menjadi penguasa kayangan. Sudah begitu kalah sama adik sendiri. Dia mengutuk dalang-dalang di masa depan yang menganggap ia seumuran dengan Sang Hyang Ismaya hanya karena berasal dari telur yang sama. "Dimana-mana, cangkang telur pasti berada dibagian teluar dari telur, jadi aku dulu yang lahir", gerutu Togog. Sudah kalah menelan gunung, diturunkan ke Marcapada (Bumi), tempat kotor yang berisi manusia dan mahkluk yang tidak tahu diri lainnya padahal dirinya Sang Hyang; Dewa. Belum lagi, sang adik yang menang dalam sayembara mendapat tugas lebih mudah untuk mendidik ksatria Pandawa yang sudah berperangai baik, dan jumlahnya hanya lima. Sedangkan dirinya ditugasi membimbing Kurawa yang perangianya buruk, dan jumlahnya seratus lagi. Togog tahu di masa depan pasti namanya tidak akan seterkenal adiknya, Semar, karena citra yang dibuatnya lebih baik. Ah, pencitraan!

Mungkin kalau tahu akan begini, Togog enggan untuk berkumpul bersama saudara-saudaranya ketika dipanggil Ayahnya, Sang Hyang Tunggal di halaman Jonggring Saloka (Istana Kahyangan), untuk akhirnya menerima tantangan menelan gunung Jamurdipa sialan itu. Togog mengutuk kenapa waktu itu tidak diumumkan di Repat Kepanasan (Alun-alun Kahyangan) saja agar bisa di dengar penduduk Marcapada yang tidak bisa apa-apa itu bukannya malah di lobby Jonggring Saloka. Kayak manusia aja. Dihisapan tembakau kesekiannya dia menghisap dalam-dalam sambil terbersit pikiran kenapa waktu itu tidak menyuruh Balupata saja mewakili dirinya, toh badannya besar juga.

Togog pun meneguk kopinya yang sudah mulai dingin. Dirinya yang sebenarnya Dewa dengan nama Sang Hyang Antaga kenapa bisa bernasib sial betul. Dia menggolongkan dirinya sebagai Dewa yang serba Hampir. Hampir menang sayembara dan menjadi penguasa kahyangan, hampir bisa meluruskan tuan jahat di Marcapada yang ia asuh, dan hampir saja ia menjadi terkenal dengan citra yang mendekati sempurna untuk dikenang dengan nama besar. Tapi gimana lagi, mau bagaimana juga yang sudah ya sudah.

Togog sekarang pengangguran. Modaro. Matio. Kapok ra we. baru kali ini Punakawan yang biasa bekerja untuk kaum oposisi itu nggak ada gawean. Mulutnya yang lebih dower ketimbang rahang buaya itu makin lonjong saja. Maklum, lha wong sekarang oposisi sudah tidak ada lagi. Semua partai berubah jadi mendukung partai penguasa. Togog mengekrut to ya dab.

Tambah ngelu lagi ndas calon istrine Togog. Saben-mben hari lihat calone thengak-thenguk mbleger depan pintu rumah, dengan matanya yang kelap-kelop tapi ngantuk, dan bibir lonjongnya yang semakin ndlongop. Malu sama tetangga-tetangga. Ada tetangga yang naik sepeda sampai berhenti dan turun. Dia tanya, "Mas Togog sedang cuti po kok tiap pagi kelap-kelop di depan rumah?"

Togog sebenarnya bisa tahan disapa tetangga secara nyelekit seperti itu. Wong ya dia itu level sabarnya paripurna. Maklum dia kan Dewa. Disamping itu, dia tergolong sebagai penganut bahwa Tuhan tidak bersama orang yang sembahyang, tapi bersama orang yang sabar. Kalo ditanya sama mereka yang akidahnya mudah sekali tersulut ini itu, dia dengan santai njawab, "Wong kataNya aja Innallaha ma'ash shobirin kan?".

Tapi calon istrinya yang nggonduk bukan kepalang. Apalagi ketika ada tetangga lanjan, turun dari mobil pas mau pergi jauh atau sekedar thawaf keliling desa pamer mobil plastikannya, tanya ke istri Togog. "Permisi," sapanya, "Mbok, apa sampeyan ngga bosen punya calon kok sajake nganggur wae? Hlambok sini sama aku aja. Aku tentara Ngastina lho. Badanku kekar, kokoh, aku tampan, wanita gila kepadaku, dan aku bisa nyetir helikopter disaat calonmu itu ndloham ndlohom nyetir emosimu rono rene mung jonja janji."

Togog sajake yo mencak-mencak. Apalagi tau calonnya sajake yo mesam-mesem tertarik tawaran tadi. Njuk terus posting di media sosial tentang kekagumannya dengan Tentara Nagstina yang gagah berani itu. Wah, kalau waktu itu di Ngastina tidak ada hukum, sudah mesti ndase orang tadi dia idek-idek persis di depan rumah Togog. Mentang-mentang tentara njuk dia jadi sosok lelaki yang paripurna gitu? Ah ndak juga, Togog merasa dirinya akan jadi besar ya cuma emang gitu, sabar, kabeh ono mangsane. Sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji. Kaya tanpa harta, sakti tanpa mantra.

Togog menenteramkan hati calon istrinya. "Sudahlah, beb," kata Togog, "Jangan marah. Ndak papa calon suamimu yang dulu ngganteng ini dianggep celengan. Orang sabar itu jembar rezekinya... Kamu sabar o mbek aku. Bentar lagi kok."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun