Mohon tunggu...
ivan adilla
ivan adilla Mohon Tunggu... Guru - Berbagi pandangan dan kesenangan.

Penulis yang menyenangi fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Kurma

“Mazhab” ala Keluarga Kami

19 April 2021   22:51 Diperbarui: 19 April 2021   23:36 743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Quba dari balik daun kurma. Inilah masjid pertama yang dibangun Rasulullah menjelang memasuki Yatsrib, atau Madinah. Foto oleh Ivan Adilla .

 

Ramadhan adalah bulan yang ditunggu-tunggu. Dan tiap orang menunggu sesuai kepentingannya. Ketika kanak-kanak, yang kami tunggu adalah saat berbuka puasa. Satu-dua jam menjelang beduk Magrib dipukul, kami akan bermain ke pasar, tempat orang menjual aneka ‘pabukoan’. Aneka macam dijual orang; sejak dari candil, lepat, onde-onde, lemang tapai, hingga bika. Ada juga lauk seperti ikan bakar, dendeng, cincang, gulai kambing hingga sayur anyang. Segala jenis makanan itu begitu menggoda selera bagi kami anak-anak kampung yang tinggal jauh di desa. Sebagian dari makanan itu memang hanya muncul saat Ramadhan. Tapi uang jajan yang terbatas hanya memungkinkan kami membeli satu jenis makanan untuk berbuka saja. Kalau tak candil, tentu bika agak satu atau dua buah.

Ramadhan juga ditunggu karena musim libur. Sekolah diliburkan, agar orang dapat beribadah dengan tenang dan santai. Kami para anak lelaki akan tidur di surau. Selepas shalat tarawih, kami bertadarus sampai tengah malam. Menjelang sahur berkeliling kampung membangun warga sambil memukul apa saja sambil bersorak,’sahur..sahur..sahur’. sehabis subuh barulah kami tidur.

Kapan mulai puasa? Beberapa hari menjelang Ramadhan, para ulama dan orang siak nagari akan berkumpul di masjid untuk menentukan kapan mulai berpuasa. Setelah itu baru diumumkan kapan puasa akan dimulai. Meski begitu, ada saja jamaah surau tertentu yang memilih waktu awal Ramadhan yang berbeda. Tapi orang kampung kami tak pernah mempertengkarkannya. Semua memaklumi pilihan masing-masing.

Persoalan awal Ramadhan itu baru terasa ketika saya sudah mulai dewasa. Suatu hari saya bertanya pada Mamak- kakak lelaki Ibu- kapan beliau mulai puasa.

“Mungkin hari Senin”, jawab beliau.

”Kok Mamak yakin puasa pada hari Senin?”

“Karena menurut pengamatan saya, hilal akan muncul pada minggu sore. Sekarang bulan sudah 25, jadi tinggal empat hari lagi”.

“Tapi kan hilal belum kelihatan..”

“Tentu belum. Bagi kami orang kampung, mengamati bulan dan bintang itu tiap saat. Bukan hanya saat menjelang Ramadhan saja...”. jawab Mamak. “Kalau kamu kapan mulai puasa?”

“Saya menunggu pengumuman pemerintah saja”, jawab saya. Dan Mamak saya hanya tersenyum kecil saja mendengar jawaban itu. Bikin penasaran.

“Kenapa Mamak tersenyum?”, tanya saya.

“Yang puasa itu kamu atau pemerintah?” Mamak balik bertanya.

“Tentu saja, saya”

“Nah, kenapa kamu harus menunggu pengumuman dari pemerintah? Kamu pikir yang ditanya di akhirat itu pemerintah kamu?”.

Tak bisa lain, saya memilih diam. “Berapa umurmu sekarang?”, tanya Mamak lagi.

“Lebih tiga puluh”, jawab saya.,

“Sudah segitu usia kamu, untuk beribadah saja masih juga bergantung pada orang lain. Bagaimana kamu bertanggungjawab pada Tuhan kalau begitu?”. Kali ini jadi tercekat.

Kadang kami berbeda masa lebaran juga. Tapi kami semua selalu menghormati beliau sebagai Mamak. Kalau mamak berlebaran lebih lambat sehari atau dua hari, maka kami harus bersabar untuk menunggu duit lebaran. Jumlah duit lebaran, tak tergantung kesamaan mazhab. Tapi tergantung hasil panen. Kalau hasil panen bagus, maka banyaklah duit lebaran. Begitu juga sebaliknya.

Hal lain yang sering menjadi perbedaan adalah jumlah rakaat shalat tarawih. Ada yang memilih sebelas rakaat, tapi ada juga yang dua puluh satu rakaat. Di masjid yang tak jauh dari rumah kami, shalat tarawihnya sebelas rakaat. Orang muda dan anak-anak lebih senang shalat tarawih di masjid karena jamaahnya ramai dan jumlah rakaatnya tidak banyak. Lagi pula, di masjid banyak orang berjualan makanan. Di beberapa surau, salat tarawih diselenggarakan dua puluh satu rakaat. Jamaahnya biasanya orang-orang tua. Jadi kami menyebutnya kaum tua.

Di rumah kami, terdapat dua ‘aliran’ soal jumlah salat tarawih ini. Saya dan adik-adik shalat dan menjadi jamaah masjid. Jadi jumlah salat tarawih kami sebelas rakaat. Kalau kebetulan pulang kampung, adik saya kdang diminta menjadi imam shalat tarawih di masjid. Tapi Buya, orang tua laki-laki kami, menjadi imam di surau kaum beliau yang tarawihnya dua puluh satu rakaat.

Suatu malam, hujan turun deras sekali. Kami tak bisa salat ke masjid atau ke surau. Jadi kami salat tarawih di rumah. Setelah bersiap, Buya bertanya, ‘Siapa yang mau jadi imam?’

“Buya saja”, jawab kami.

“Baik. Kalau begitu kita shalat tarawihnya dua puluh satu rakaat ya”. Kami mengangguk.

Minggu berikutnya, terjadi hal yang sama. Kami shalat tarawih lagi di rumah. Kali ini kami sepakat adik saya yang jadi imam. Maka kami shalat tarawih sebelas rakaat. Selesai shalat, saya tanya Buya; kenapa beliau tidak keberatan dengan shalat sebelas rakaat.

“Shalat berjamaah itu mengikuti imam. Kalau imam shalat sebelas, ya Buya harus ikut ..” kata beliau.

“Sebagai orang tua, Buya kan bisa memaksa kami?”

“Tarawih itu kan shalat sunat? Kenapa Buya harus memaksa kalian? Ibadah yang baik itu ikhlas, bukan banyak atau sedikitnya..”.

Buya dan Mamak kami telah lama meninggal dunia. Dari keduanya kami diajarkan tentang pentingnya tanggungjawab dan keikhlasan dalam beribadah.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun