Mohon tunggu...
Itje Chodidjah
Itje Chodidjah Mohon Tunggu... Konsultan - Pendidik

the journey of learning is as long as the road of life.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ujian Nasional, Potret Cidera Keadilan oleh Itje Chodidjah

17 Maret 2014   04:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:51 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tulisan ini pernah dimuat di media cetak beberapa saat yang lalu.

-------

Ujian Nasional wujud dari tidak terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena walau layanan pendidikan tidak merata ujian tetap sama. Selama lebih dari 30 tahun terjun di dunia pendidikan dan memberikan pelatihan di berbagai wilayah di Indonesia, saya menyaksikan sendiri fakta yang miris bahwa pertarungan antara keadilan dan diskriminasi lebih sering berakhir dengan pertimbangan-pertimbangan politis dan keengganan untuk menegakan rasa tanggung jawab memenuhi keadilan yang proporsional bagi siswa dan guru yang hidup dengan akses geografi dan ekonomi terbatas.

Sebutlah sebuah sekolah di salah satu kecamatan terjauh di Kalimantan Selatan yang dikelilingi hutan dan tambang yang beberapa kali  saya kunjungi dalam kapasitas sebagai teacher trainer. Kondisi fisik sekolah, sarana dan prasarana yang minim, serta model pembelajaran di kelas, membuat saya makin merasakan betapa tidak adilnya mengevaluasi siswanya dengan alat ukur yang sama dengan anak-anak yang menerima layanan yang jauh lebih baik. Proses belajar mengajar terkesan asal ada, karena memang hasil akhir yang utama adalah nilai Ujian Nasional. Ruang kelas rata-rata hanya sekedar berupa ruangan persegi dengan lantai kusam dan sarana penerangan yang terbatas. Perpustakaan dan fasilitas umum lainnya terlihat sangat terbatas. Dalam situasi belajar yang timpang seperti ini, Ujian Nasional merupakan sebuah kebijakan yang tidak adil bila pemenuhan standard pendidikan nasional belum terjadi.

68 tahun silam, para founding fathers kita meyakini mimpi besar bahwa dimensi keadilan sosial merupakan pilar penting penyangga keutuhan NKRI. Oleh karena itu, dalam rumusan Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dimasukan sebagai sila ke-5 sebagai salah satu dasar negara.

Ujian Nasional bukan wujud prestasi belajar

Sejak 2005 layanan pendidikan kita di sekolah bertumpu terlalu berat pada Ujian Nasional yang kemudian dianggap sebagai alat meluluskan siswa, walaupun dalam format terakhir dikompromikan persentase bobotnya menjadi 60 persen. Ujian Nasional kemudian serta merta digunakan sebagai alat untuk menstandarkan siswa di setiap jenjang pendidikan.

Sebagian besar sekolah terutama yang  dibawah kendali pemerintah menjadi berlomba-lomba untuk menyajikan nilai tinggi dari ujian nasional sebagai wujud keberhasilan sekolah. Keadaan tersebut kemudian secara kumulatif dianggap sebagai keberhasilan pemerintah kota atau kabupaten dalam membina pendidikan di wilayahnya. Di tingkat nasional, pihak kementrian pendidikan lalu seolah-olah meyakini bahwa ujian nasional adalah potret pendidikan Indonesia. Benarkah demikian? Tentu saja jawabannya adalah tidak. Kalau dianggap keberhasilan sekolah, maka itu hanyalah keberhasilan semu. Munculnya statistik yang memuat nilai anak-anak lantas menjadi sah untuk menyebutkan suksesnya pendidik di daerah-daerah.

Jika hasil nilai UN siswa dianggap sebagai gambaran kompetensi individu anak didik, maka itu berbahaya karena sebenarnya angka yang diperolehnya bukan semata-mata menggambarkan keberhasilan proses belajar mangajar yang mereka alami. Dengan adanya UN, proses belajar mengajar yang saya saksikan lebih pada menggarap ana-anak agar lulus UN. Kurikulum tidak menjadi acuan mengajar. Bahan ajar dipilih-pilih agar pas dengan soal-soal yang dimunculkan di ulangan sekolah dan Ujian Nasional. Alasannya sederhana agar nilainya anak-anak bagus. Kisi-kisi UN menjadi rujukan mengajar, Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dibuat tinggi agar nantinya ketika digabung dengan nilai UN hasil akhirnya tetap bagus. Akhirnya proses belajar mengajar menjadi lebih sebagai media mengambil nilai siswa dan bukan sarana membelajarkan siswa untuk berpengetahuan, mampu berfikir kritis, berkomunikasi, dan bertingkah laku.

Layanan Timpang

Dalam kunjungan beberapa kali ke sekolah di salah satu kecamatan terjauh di Kalimantan Selatan yang dikelilingi hutan rimba dan tambang, tampak dengan jelas fakta luputnya tanggung jawab negara dalam memenuhi keadilan layanan pendidikan negara bagi rakyat. Kondisi sarana dan prasarana yang minim tampak dari kondisi fisik ruang kelas yang rata-rata hanya sekedar ruangan petak dengan lantai kusam dan penerangan temaram yang menyulitkan mata dapat membaca dengan baik. Perpustakaan seadanya dan fasilitas umum lainnya yang di bawah standar kesehatan yang layak. Guru-guru yang saya temui masih jauh dari bermutu, sudah bersedia mengajar dengan model pembelajaran yang ala kadarnya saja sudah disyukuri. Ini lebih baik daripada sudah jumlahnya hanya segelintir malah sering tidak hadir ke sekolah dan  stengahnya enggan mengajar dalam segala keterbasan yang ada.

Fakta yang saya jumpai ini hanya sedikit contoh dari lebih banyak lagi ketidakadilan yang saya saksikan di daerah lainnya. Betapa tidak adilnya para siswa dan guru yang masih harus berjuang kepayahan di pedalaman karena tak tersentuh layanan pemerintah. Mereka belajar di sekolah sarana dan prasarananya terbatas sekali, yang atap sekolahnya bocor, papan tulis pecah, jalan menuju sekolah sulit dijangkau, namun di akhir jenjang, siswanya dipaksa distandarkan lewat Ujian Nasional (UN). Mereka diukur keberhasilannya dengan alat ukur yang sama dengan sekolah-sekolah yang sudah lama tersentuh mutu dan layanan yang memadai terutama di pulau Jawa.

Kebijakan UN tidak adil bagi anak-anak yang secara geografis, budaya, dan ekonomi kurang beruntung sebab mereka diukur dengan UN yang sama dengan anak-anak yang bersekolah dengan sarana dan fasilitas yang lebih baik. Dalam situasi belajar yang timpang seperti ini, UN sebagai penentu hasil akhir merupakan kebijakan yang tidak adil bila pemenuhan standar pendidikan nasional masih terus lalai terjadi. Jika layanan pendidikan belum dipenuhi standarnya, UN tentunya tidak bisa dijadikan alat ukur keberhasilan proses pembelajaran secara nasional yang valid.

Ketimpangan layanan pendidikan antar daerah, mengakibatkan ketimpangan hasil evaluasi dengan alat ukur UN. Ketimpangan ini tidak dapat dilestarikan dan harus segera dicari solusinya. Mestinya, pemerintah lebih fokus pada pemenuhan standar layanan pendidikan seperti diamanatkan dalam PP No. 19/2005, yang sudah direvisi melalui PP No. 32/2013.

Layanan Pendidikan

Pemerintah memiliki tanggungjawab dalam rangka memenuhi tercapainya standar dan layanan pendidikan yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas. Layanan pendidikan adalah terpenuhinya sarana dan prasarana belajar bagi siswa secara memadai, tersedianya pendidik yang berkualitas, materi pembelajaran yang mudah diakses, fasilitas sekolah, serta kualitas proses pembelajaran itu sendiri. Dengan tersedianya layanan seperti ini, proses pendidikan akan memberikan manfaat dan keuntungan bagi siswa agar dapat berperan aktif sesuai dengan tantangan zaman.

Dalam skema pendidikan yang bermutu, layanan pendidikan bermutu, akan melahirkan proses belajar mengajar yang berkualitas. Proses pembelajaran yang berkualitas membuat kegiatan pembelajaran menjadi bermakna dan menumbuhkan pemahaman, pengertian dan keterampilan, dan perubahan positif sikap siswa. Kekacauan dalam dunia pendidikan Indonesia terjadi karena evaluasi menjadi tujuan dari pengajaran dan pembelajaran. Padahal seharusnya evaluasi pembelajaran ditujukan sebagai indikator di dalam memperbaiki proses belajar dan mengajar.

Pembelajaran ini akan semakin berkualitas ketika proses belajar mengajar itu dilakukan oleh guru yang berkualitas. Artinya, guru  mampu merencanakan dan menyelenggarakan proses pembelajaran, dan mengevaluasinya secara objektif yang mewakili kemampuannya.

Sayangnya, pembelajaran yang seharusnya dapat lebih berkualitas menjadi pudar ketika kebijakan nasional mensyaratkan nilai UN menjadi faktor penentu kelulusan siswa. Sekolah tidak dinilai karena keberhasilan proses belajar mengajarnya bagi siswanya, melainkan hanya dinilai karena kuantitas tingginya jumlah kelulusan siswa semata. Perbaikan yang tidak mengarah pada keberhasilan untuk mencapai nilai UN yang tinggi menjadi terabaikan.

Padahal pendidikan sejatinya adalah hasil serangkaian proses pembelajaran siswa secara menyeluruh dalam aspek kognitif, emosi dan konatif yang yang seharusnya mutlak menjadi kewenangan sekolah di dalam memberikan penilaian.

Penuhi Kewajiban

Pemerintah perlu memacu kinerjanya untuk memenuhi tuntutan layanan standard minimal seperti yang diwajibkan dalam PP No. 32/2013 tentang Standar Nasional Pendidikan. Standar evaluasi siswa secara nasional lazimnya diselenggarakan setelah seperangkat standar penyelenggaraan pendidikan di semua sekolah dipenuhi.

Kebijakan dan peraturan yang menyangkut standar kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan harus diwujdukan melalui sistem evaluasi dan monitor yang konsisten dari pemerintah. Standar mutu pengawas, kepala sekolah dan guru harus terlebih dahulu dipenuhi agar dapat menjalankan peran dan fungsinya secara profesional.

Ketersediaan sarana dan prasarana minimal harus diwujudkan secara merata. Standar pembiayaan dan pengelolaan pun harus memenuhi unsur keadilan, di mana kebijakan pemerintah perlu difokuskan pada pendampingan dan pengelolaan sekolah-sekolah yang secara budaya, geografis dan sosial ekonomi marginal.

Proses belajar mengajar yang baik harus terjadi di kelas-kelas. Pemerintah harus memastikan kualitas pendidik yang boleh mengajar di dalam kelas, serta memberikan pengembangan profesional yang cukup agar guru semakin terampil dan mampu memenuhi standar layanan proses belajar mengajar, dari persiapan pengajaran, sampai evaluasi.

Kedelapan standar harus dilihat dalam konteks keseluruhan. Jika delapan standar sudah merata secara proporsional, barulah pemerintah bisa melakukan standar evaluasi pendidikan, berupa UN untuk mengukur kualitas pendidikan di Indonesia. Menstandarkan peserta didik melalui UN sebelum menyediakan secara nyata layanan pendidikan yang menjadi hak siswa merupakan sebuah pelestarian ketidakadilan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun